Saatnya Perempuan Menyerukan Khilafah
Dunia kapitalistik tidak pernah adil dan selalu memihak kepada para pemodal. Kapitalisme melihat manusia sebagai faktor produksi. Kapitalisme memandang perempuan harus diberdayakan (baca: dieksploitasi) demi menggerakkan roda ekonomi dunia. Ketika penerapan sistem Kapitalisme telah menciptakan kesenjangan, dan perempuan semakin jauh dari kesejahteraan, syariah Islam yang dituduh sebagai sumber masalah. Syariah dianggap merenggut kebebasan perempuan dalam meraih kesetaraan di seluruh bidang. Islam dianggap melanggengkan budaya patriarki yang menormalisasi perilaku misogini (membenci perempuan) dan seksisme. Inilah gagasan feminisme.
Konsep kesetaraan gender diaruskan menjiwai pembangunan ekonomi. Disuarakanlah berbagai ide. Di antaranya partisipasi penuh perempuan dalam angkatan kerja, pekerjaan yang layak dan kesetaraan gaji; juga pengasuhan alternatif untuk anak. Demikian pula pengarusan afirmasi 30% dalam parlemen dan kepemimpinan perempuan dalam politik dan publik. Semua itu diyakini akan lebih mudah membawa kesejahteraan bagi perempuan. Bahkan dimunculkan adanya hak seksual dan reproduksi yang memberikan kebebasan kepada perempuan dalam menentukan kapan menikah, kapan melahirkan dan jumlah anak yang diinginkan, termasuk pilihan aborsi aman dan lain-lainya. Tujuannya agar tidak menghambat produktivitas ekonominya. Di sisi lain, dimunculkan narasi negatif atas peran perempuan dalam keluarga sebagai ‘unpaid work’ yang dianggap tidak bernilai ekonomi.
Alih-alih menjadi lebih baik, kehidupan perempuan di seluruh dunia semakin jauh dari jaminan kesejahteraan. Padahal kaum perempuan telah mengikuti arahan feminisme, berbondong-bondong memenuhi ruang publik untuk bekerja. Kini beban perempuan bertambah. Perempuan menjadi tulang rusuk sekaligus tulang punggung keluarga.
Tuduhan berulang dialamatkan pada Islam. Hukum mubah perempuan bekerja dinilai mengakibatkan perempuan mengalami apa yang mereka sebut sebagai beban ganda. Feminis memformat ulang model baru kesetaraan gender. Feminisme menghendaki transformasi. Ketika perempuan terjun ke ranah publik, maka seluruh tanggung jawabnya di ranah domestik juga harus diambil alih oleh laki-laki. Laki-laki harus bertukar peran dengan perempuan. Mereka berdalih kesetaraan gender tidak bisa dicapai hanya dengan membolehkan perempuan bekerja, tetapi harus mengubah perspektif laki-laki bahwa perempuan adalah manusia. “Transformasi nilai atau pemahaman kepada laki-laki berarti mendorong laki-laki agar memiliki empati, baik secara biologis maupun sosial yang dimiliki kaum laki-laki. Kedua adalah berbagi ruang, dalam arti berbagi kekuasaan dengan kaum perempuan, baik di sektor ekonomi, politik, dan sosial. Ketiga, laki-laki harus berhenti memonopoli ruang. Keempat, berbagi peran dan tanggung jawab, baik di sektor publik maupun domestik,” ungkap Nur Hasyim, Dosen UIN Walisongo sekaligus Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru. (Kemenpppa.go.id, 23/4/2021).
Rupanya kaum feminis telah mengalami denial syndrome (pengabaian realitas situasi untuk menghindari kecemasan) akibat mandulnya gagasan kesetaraan gender menyolusi problem perempuan yang diciptakan sistem Kapitalisme.
Proyek Global Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender bukan gagasan yang murni untuk memperjuangkan hak asasi perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Kesetaraan gender diramu untuk melanggengkan hegemoni negara-negara adidaya. Mereka membutuhkan pasokan bahan mentah, sumberdaya manusia (buruh murah) dan jaminan stabilitas politik di tangan perempuan yang berpikiran inklusif sehingga proyek-proyek mereka lebih mudah beroperasi.
Berbagai kesepakatan internasional mendorong pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, politik dan keamanan. The United Nations Fourth World Conference on Women, di Beijing (1995) telah merancang cetak biru progresif untuk pemberdayaan perempuan. Dalam The Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA) tujuan dan tindakan strategis serta indikator telah ditetapkan untuk pencapaian kesetaraan gender di 12 bidang kritis. Upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender makin nyata ketika PBB mengadopsi The UN Millennium Declaration, dengan 8 tujuan pembangunan (MDGs) yang akan dicapai pada tahun 2015. Kegagalan MDGs membuat UN Women mencanangkan kampanye baru Planet 50-50 by 2030 dan Step It Up guna mempercepat kesetaraan gender yang belum juga tercapai.
PBB mengadopsi The 2030 Agenda for Sustainable Development (SDGs) yang memperpanjang pencapaian pada 2030. Sebelumnya, dunia sudah membuat berbagai upaya untuk ‘memajukan dan membebaskan perempuan’, termasuk mengadopsi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada tahun 1979, yang diklaim menjadi instrumen internasional paling komprehensif untuk melindungi hak asasi perempuan.
Rentetan perjuangan panjang ini berujung kesia-siaan. Lebih dari 25 tahun paska Deklarasi Beijing belum ada satu negara pun yang mampu mewujudkan kesetaraan gender meski telah merujuk pada indikator yang telah dibuat sendiri oleh para penggagasnya. Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka pada pertemuan negara-negara G7 (2019) menyatakan, “ No country in the world has achieved gender equality. No country. And this is nearly 25 years after the adoption of the Beijing Declaration and Platform for Action. Do you remember that in Beijing we thought that we were going to achieve gender equality in the year 2000?”
Perempuan dan Khilafah
Setelah tampak kegagalan, narasi gender dipaksa bersanding dengan narasi radikalisme. Sebuah pengaitan yang sungguh amoral. Pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi penting dilakukan dalam mencegah keterlibatan perempuan dalam radikalisme. Alasannya, karena terorisme kerap memanfaatkan kaum perempuan yang mengalami tekanan ekonomi. Budaya patriarki yang mengharuskan perempuan berumah tangga taat pada perintah suami (tanpa boleh ditentang), termasuk (mempermudah perempuan dilibatkan) dalam aksi radikalisme dan terorisme, menjadi (bentuk) jihad. (Jatengprov.go.id, 8/4/2021).
Faktanya sistem Kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia. Sistem ini sangat eksploitatif. Politik demokrasinya menumbuhkan rezim oligarki. Akibatnya, kemiskinan terus meluas, dan kesewenang-wenangan meningkat. Kondisi ini memicu munculnya ketidakpuasan masyarakat termasuk perempuan. Lantas mengapa Islam dikambing-hitamkan?
Padahal Allah SWT telah menurunkan syariah untuk menjaga kehormatan perempuan. Allah SWT memerintahkan untuk menegakkan Khilafah agar perempuan memiliki institusi pelindung. Allah SWT mensyariatkan jihad untuk membebaskan perempuan dari kungkungan sistem kufur.
Kaum perempuan tidak boleh lupa. Tahun 837, Khalifah al-Mu’tasim Billah mengumumkan perang untuk menyahut seruan seorang budak Muslimah dari Bani Hasyim. Saat itu ia yang sedang berbelanja di pasar. Ia lalu meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi.
Bahwa jaminan Islam akan kemuliaan dan kesejahteraan perempuan adalah satu kenyataan, yang bahkan diakui oleh Barat. Julia Pardoe, penyair dan sejarahwan Inggris abad ke-19, dalam bukunya, The City of the Sultan and Domestic Manners of the Turks, menuliskan, “Jika seperti yang cenderung kita yakini, kebebasan adalah kebahagiaan, maka perempuan Turki adalah orang yang paling bahagia karena mereka individu paling bebas di dalam Kekaisaran (Utsmaniyah). Sudah menjadi kebiasaan di Eropa untuk mengasihani perempuan Timur. Namun, ketidaktahuan akan posisi mereka yang sebenarnya sajalah yang dapat menimbulkan sebuah pertunjukan sentimen yang salah tempat.”
Juga dari Memoirs of Barones Durand de Fontmagne, kerabat dubes Prancis untuk Istanbul selama masa Khilafah Utsmaniyah, “Kaum perempuan Turki (yaitu Utsmaniyah) benar-benar bebas. Kebenaran ini dapat dilihat dengan mudah. Orang-orang yang mengatakan bahwa perempuan Turki adalah budak, pantas ditertawakan.”
Jadi, memberikan ruang pada propaganda kesetaraan gender akan menjauhkan perempuan dari gambaran kemuliaan syariah dan Khilafah. Tentu ini hanya akan memperpanjang penderitaan perempuan di bawah penindasan sistem Kapitalisme. Kini saatnya perempuan menyuarakan Khilafah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Endiyah Puji Tristanti]