Tafsir

Persiapan Menerima Perkataan Yang Berat (3)

إِنَّ لَكَ فِي ٱلنَّهَارِ سَبۡحٗا طَوِيلٗا  ٧ وَٱذۡكُرِ ٱسۡمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلۡ إِلَيۡهِ تَبۡتِيلٗا  ٨

Sungguh pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang panjang. Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada Dia dengan sepenuh hati. (Tafsir QS al-Muzzammil [73] 7-8)

 

Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan alasan lainnya tentang mengapa shalat malam diperintahkan.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

إِنَّ لَكَ فِي ٱلنَّهَارِ سَبۡحٗا طَوِيلٗا  ٧

Sungguh pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang panjang.

 

Ayat ini menerangkan keadaan manusia pada siang hari. Secara bahasa, kata ٱلنَّهَارِ berarti waktu terang mula terbit fajar hingga terbenam matahari.1

Kalimat dalam ayat ini tidak diawali dengan huruf ‘athaf (kata penghubung). Menurut Ibnu ‘Astur, fashl (pemisahan) kalimat ini, yang tidak disertai dengan kata penghubung dengan kalimat sebelumnya, meniscayakan kandungannya tidak sama dengan jenis hukum kalimat sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud bukanlah shalat pada siang hari. Sebabnya, menurut pendapat yang masyhur, shalat lima waktu ketika itu belum difardhukan; belum ada yang difardhukan kecuali shalat malam. Yang tampak pada kalimat ini adalah menjadi ‘يllah (penyebab) terhadap apa yang disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Kalimat sebelumnya menyebutkan bahwa bangun malam itu lebih kuat dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.

Dalam kaitannya dengan penyebab mengapa malam hari dipilih untuk mendirikan shalat, maka kalimat memberikan faedah sebagai ta’kîd (penguat) untuk menjaga shalat malam. Sebabnya, pada siang hari tidak cukup. Dengan demikian maknanya: “Dirikanlah shalat pada malam hari karena mendirikan shalat malam hari itu lebih  kuat dan lebih berkesan bacaannya; juga karena pada siang hari ada kesibukan yang sangat agung, yang tidak bisa membuat engkau menyendiri.”2

Menurut Ibnu ‘Asyur, kesibukan Nabi saw. pada siang hari adalah adalah berdakwah mengajak kepada Allah SWT, menyampaikan al-Quran, mengajarkan agama, mengetengahkan argumentasi kepada orang-orang musyrik dan menyambangi kaum Mukmin yang tertindas. Semua itu diungkapkan sebagai as-sabh ath-thawîl. 3

Secara bahasa, kata السَّبْحُ merupakan bentuk mashdar dari kata (سَبَح – يَسْبَحُ) . Menurut ar-Raghib al-Asfahani kata tersebut berarti المَرّ السَّريعُ  (berlari atau melintas dengan cepat) di air (berenang) dan di udara (terbang). Dikatakan: سَبَحَ سَبْحاً وسِبَاحَةً (dia benar-benar berenang). Kata tersebut juga digunakan secara isti’ârah untuk menunjuk pada perjalanan bintang di orbitnya (QS al-Anbiya‘ [21]: 33).4

Penjelasan serupa juga dikemukakan al-Qurthubi dan asy-Syaukani. Menurut keduanya makna as-sabh adalah aktivitas untuk memenuhi keperluan-keperluanmu, pulang-pergi dan hilir-mudik. Juga berarti berlari dan berputar. Di antaranya ada kata  (yang berenang di air), karena membolak-balikkan badan, kaki dan tangannya. Juga ada kata وَفَرَسٌ سَابِحٌ yang berarti kuda berlari kencang.5

Ada yang mengatakan bahwa السَابِح berarti الْفَرَاغ (kosong, luang, senggang).6 Penyebutan waktu luang sebagai as-sabh karena keadaan tersebut menjauh dari kesibukan.

Dengan demikian  kata as-sabh dapat mengandung dua arti yang bertolak-belakang, yaitu kesibukan atau aktivitas yang padat dan keluangan waktu. Kedua makna tersebut juga yang disampaikan oleh para ulama tafsir dalam memahami ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa pengertian as-sabh dalam ayat ini adalah aktivitas, usaha dan kesibukan. Di antaranya adalah Ibnu Qutaibah. Ia berkata, “Maknanya, kegiatan hilir-mudik dalam memenuhi berbagai kebutuhanmu dan pekerjaanmu.”7

Penjelasan senada juga disampaikan oleh al-Baghawi.

Tentang ayat ini, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam juga berkata, “Kamu memiliki berbagai keperluan. Karena itu luangkanlah untuk agamamu pada malam hari.”8

Ia mengatakan bahwa hal ini dikemukakan pada saat salat malam hari difardukan. Kemudian Allah SWT memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya, lalu Dia memberikan keringanan dengan menghapuskan sebagiannya. 9

Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi السَّبْحُ juga bermakna pelaksanaan berbagai kesibukan dan pekerjaan. Karena itu curahkanlah malam hari untuk ibadah kepada Tuhanmu.10

Fakhruddin ar-Razi berkata, “Sesungguhnya pada siang hari engkau memiliki aktivitas dan kesibukan dalam tugas-tugasmu sehingga engkau tidak bisa meluangkan untuk berkhidmat kepada Allah kecuali pada malam hari. Oleh karena itu, Kuperintahkan engkau untuk shalat pada malam hari.”11

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata. “Sesungguhnya pada siang hari engkau melakukan banyak aktivitas dan kesibukan yang sangat banyak untuk hidupmu. Karena itu jadikanlah malam untuk tahajud dan ibadahmu.”12

Wahbah az-Zuhaili juga memaknai kata ini sebagai kesibukan dalam mengerjakan tugas-tugasmu dan pekerjaanmu. Karena itu engkau harus mengerjakan tahajud. Sebabnya, bermunajat kepada Yang Mahabenar menghendaki keluangan waktu, sementara engkau tidak meluangkan waktu pada siang hari untuk membaca al-Quran dan beribadah.13

Penafsiran senada juga dikemukakan oleh banyak mufassir lainnya, seperti az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, an-Nasafi. al-Khazin, Abu Su’ud dan lain-lain.14

Ada juga sebagian ahli tafsir yang menafsirkan ayat ini dengan waktu luang. Ibnu Abbas ra, ‘Ikrimah dan ‘Atha` bin Abu Muslim mengatakan bahwa maksud as-sabh adalah waktu luang dan tidur.15 Demikian  juga menurut Abu al-‘Aliyah, Mujahid, Abu Malik, ad-Dahhak, al-Hasan, Qatadah, ar-Rabi’ bin Anas dan Sufyan ats-Tsauri mengatakan bahwa makna sabh[an] thawîl[an] adalah waktu luang yang panjang.16

Tentang makna ayat ini, az-Zajjaj berkata, “Jika ada sesuatu yang tidak sempat engkau lakukan pada malam hari, maka pada siang hari engkau memiliki waktu luang untuk menggantikannya.”17

Menurut al-Harari, penafsiran ini dinilai sejalan dengan hadis dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَين صَلاَة الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنْ اللَّيْلِ

Siapa saja yang ketiduran dari hizib (bacaan al-Quran) atau sesuatu darinya, lantas ia membacanya ketika di antara shalat fajar (subuh) dan shalat zhuhur, maka akan dicatat bagi dia sebagaimana ia membacanya ketika malam hari (HR Muslim).18

 

Kata طَوِيلا merupakan shifah musyabbahah dengan فَعِيْلٌ. Ini menunjukkan ats-tsubût (permanen) dari kata طالَ، طوَل، يَطول yang bermakna اِمْتَدَّ (panjang, luas), lawan dari kata قَصُرَ (pendek, singkat).19 Dalam konteks ayat ini kata tersebut berkedudukan sebagai sifat kata سَبْحًا (urusan).20

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَٱذۡكُرِ ٱسۡمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلۡ إِلَيۡهِ تَبۡتِيلٗا  ٨

Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada Dia dengan sepenuh hati.

 

Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah-kan dua hal. Pertama, adz-dzikr. Kedua, at-tabattul.21

Perintah pertama disebutkan dalam firman-Nya: وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ (Sebutlah nama Tuhanmu). Kata اُذْكُر merupaka fi’l al-amr (kata perintah) dari kata ذَكَرَ – يَذْكُرُ (mengingat, menyebut). Menurut Ibu ‘Asyur, yang diperintahkan ayat ini adalah dzikr al-lisân (zikir atau menyebut dengan lisan).22 Dengan demikian ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. beserta umatnya untuk berzikir dan menyebut nama Allah SWT.

Menurut al-Qurthubi, maksud ayat ini adalah: “Serulah Dia dengan nama-nama mulia-Nya (asmâ’-ul-husnâ) agar bersama shalat, engkau mendapat kesudahan yang terpuji.”23

Sahal berkata, “Bacalah dengan menyebut Nama Tuhanmu di permulaan shalatmu. Berkah bacaannya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu dan akan memutusmu dari semua selain-Nya.” 24

Beberapa mufassir lainnya menyampaikan bahwa ayat ini memerintahkan untuk melanggengkan zikir. Az-Zamakhsyari berkata, “Teruslah berzikir pada waktu malam dan siangmu serta bersemangatlah melakukannya.”

Zikir kepada Allah SWT ini mencakup semua zikir yang baik seperti tasbih, tahlil, takbir, tamjid, tauhid, shalat, membaca al-Quran, mengkaji ilmu, dan lain-lain. Demikian sebagaimana dilakukan Rasulullah saw. dalam menghabiskan waktu malam dan siangnya.25

Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, al-Baidhawi, Abdurrahman as-Sa’di. dan lain-lain.26

Pendapat lain menyatakan, “Sebutlah nama Tuhanmu, dalam janji-Nya dan ancaman-Nya, supaya engkau senantiasa menaati Dia dan menjauhi maksiat kepada-Nya.”

Ada yang mengatakan bahwa maknanya: “Senantiasalah menyebut Nama-Nya siang dan malam serta perbanyaklah penyebutan-Nya.”

Al-Kalbi berkata: “Shalatlah untuk Tuhanmu,” yakni pada siang hari. 27

Menurut Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah: “Perbanyaklah berzikir kepada-Nya dan curahkanlah seluruh waktumu untuk beribadah kepada-Nya jika kamu telah selesai dari kesibukanmu dan menyelesaikan urusan duniawimu, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain (QS al-Insyirah [94]: 7). .28

Artinya, jika kamu telah selesai dari kesibukanmu, maka curahkanlah dirimu untuk mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya, agar kamu menjadi orang yang berlapang dada. Ibnu Zaid telah mengatakan hal yang semakna atau mendekatinya.29

Perintah kedua disebutkan dalam firman-Nya:

وَتَبَتَّلۡ إِلَيۡهِ تَبۡتِيلٗا  ٨

Beribadahlah kepada Dia dengan sepenuh hati.

 

Secara bahasa, kata التَّبَتُّل berarti الانْقِطَاعُ (terpotong, terputus). Dikatakan: بَتَّلْتُ الشَّيْءَ, artinya: قَطَعْتُهُ وَمَيَّزْتُهُ مِنْ غَيْرِهِ (saya memotong sesuatu tersebut dan memisahkannya dari yang lain). Sedekah disebut juga بَتْلَةٌ karena مُنْقَطِعَةٌ مِنْ مَالِ صَاحِبِهَا (terputus dari harta pemiliknya). Rahib (dalam Nasrani) juga disebut مُتَبَتِّلٌ disebabkan karena keterputusan-nya dengan manusia.30 Maryam juga disebut sebagai  (perawan) karena memutuskan diri hanya fokus untuk ibadah kepada Allah SWT.31

Bertolak dari pengertian tersebut, terdapat berbagai penjelasan tentang makna at-tabattul dalam ayat ini. Menurut al-Farra’, ketika seorang hamba meninggalkan semua urusan lainnya dan fokus untuk beribadah, maka dia telah tabattal. Maknanya, terputus dari semua urusan untuk fokus kepada perintah Allah SWT dan  ketaatan kepada-Nya.32

Ibnu Abbas, Mujahid, Abu Shalih, Athiyyah, adh-Dahhak dan as-Saddi  mengatakan bahwa ayat ini bermakna, “Ikhlaslah kamu dalam beribadah kepada-Nya.”33

Al-Hasan berkata, “Bersungguh-sungguhlah kamu dan tekunkanlah dirimu dalam beribadah kepada-Nya.” 34

Secara keseluruhan, menurut Wahbah al-Zuhaili, bermakna, “Perbanyaklah berzikir dan senantiasa melakukannya, baik malam maupun siang jika kamu mampu. Ikhlaskanlah ibadah hanya karenaTuhanmu. Fokuskanlah dirimu hanya kepada Allah dengan sibuk beribadah kepada-Nya. Mencari apa yang ada di sisi-Nya jika kamu telah selesai dari kesibukan-kesibukanmu dan kebutuhan-kebutuhan duniamu, sebagaimana diperintahkan dalam QS al-lnsyirah [94]: 7-8. Jika kamu telah selesai dari berbagai kesibukan, berusahalah untuk selalu taat dan beribadah kepada-Nya supaya pikiranmu tenteram. Jadikanlah keinginanmu hanya kepada Allah semata. Kemudian Allah SWT menjelaskan sebab perintah beribadah dan pendorong untuk tekun beribadah.”35

Jika dalam ayat sebelumnya diperitahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada waktu malam karena malam adalah waktu yang tepat dan lebih sesuai untuk maksud tersebut karena keheningannya, lalu diterangkan bahwa siang adalah waktu kesibukan. Meskipun demikian, itu bukan berarti bahwa pada siang hari boleh melupakan Allah. Tidak! Ayat di atas memerintahkan ingat dan menyebut Nama-Nya serta beribadah dengan penuh ketekunan.

Demikianlah. Manusia diberi kesempatan untuk mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan pada siang hari. Lalu ia diperintahkan untuk mengisi malam-malamnya dengan beribadah. Jika pada malam harinya ada yang terlewat, hendaknya menggantinya pada siang hari dengan mengerjakan ibadah dan berbagai ketaatan lainnya. Selain itu, juga tetap terus berzikir kepada Allah SWT dengan semua jenisnya pada semua waktu dan keadaan, serta benar-benar fokus dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Semoga kita semua dapat melaksanakannya.

WalLâh a’lam bi al-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan Kaki:

1        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 2292

2        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263

3        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 264

4        al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 392

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 42; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380. Lihat juga al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 254

6        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 42; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

7        al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

8        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 252

9        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 252

10      Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam, 1996), 442

11      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 686

12      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 442

13      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 190

14      al-Zamakhsyari, al-Kasyasyîf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983), 639; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 256; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta`wîl, vol. 3, 556; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 357; Abu al-Su’ud, Irsyâd ‘Aql al-Salîm ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm, vol. 9 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt) , 51

15      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 252.

16      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 252. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 42

17      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 686; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 42; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380. Lihat juga al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 351

18      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 351

19      Lihat Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 1427; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur`ân, vol. 29, 134

20      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 134

21      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 686

22      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 264

23      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 43. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

24      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 43.

25      al-Zamakhsyari, al-Kasyasyîf, vol. 4, 639

26      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 315; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 256; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 893

27      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 43. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

28      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255

29      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255

30      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

31      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 687

32      Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 687

33      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255

34      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 255

35      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 194

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 2 =

Back to top button