Kemerdekaan Hakiki
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang ke-74 telah berlalu. Berbagai semarak lomba menyambut Peringatan 17 Agustus pun ramai diberitakan baik di televisi maupun media masa lainnya. Pertanyaannya, “Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?”
Mungkin pertanyaan serupa telah sering kita dengar setiap momen Peringatan 17 Agustus. Namun, bukan sekadar jawaban ya atau tidak yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang lebih penting, tindakan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki.
Merdeka, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah bebas dari penjajahan; tidak terikat dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia layak dikatakan merdeka? Tentu telah kita ketahui sejak duduk di bangku SD hingga SMA. Dalam pelajaran sejarah dijelaskan bahwa Indonesia telah merdeka dengan keberhasilannya mengusir para penjajah seperti Portugis, Belanda, maupun Jepang. Karena itu mudah saja bagi kita menyimpulkan bahwa Indonesia telah merdeka karena telah terbebas dari negara penjajah.
Ya, memang secara fisik Indonesia pantas dikatakan merdeka. Tidak ada peperangan bersenjata. Masyarakat bebas untuk beribadah. Negara berdaulat untuk mengatur urusan masyarakat. Selain banya kebebasan lainnya. Namun, zaman terus maju. Teknologi terus berkembang. Arus globalisasi semakin kencang. Penjajahan model baru pun menyerang Indonesia. Itulah neo-imperialisme.
Jika penjajahan zaman dulu dikenal 3G (Gold, Gospel, Glory), sekarang penjajahan oleh negara asing ditempuh melalui 3F (Food, Fashion, Fun). Makanan dengan merek asing lebih banyak diminati oleh masyarakat khususnya para pemuda. Alasannya, lebih praktis dan rasanya yang enak. Padahal banyak makanan merek asing yang tidak bersertifikasi halal dari MUI. Banyak pemuda yang ingin eksis di hadapan teman-temannya dengan mengikuti perkembangan mode yang sedang nge-hits, tanpa mengindahkan apakah tren ataupun pakaian yang mereka gunakan telah memenuhi standar syariah atau belum. Pemuda saat ini disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang sia-sia. Masa muda dianggap masa dimana waktunya untuk bersenang-senang. Pendidikan ditempuh sebagai formalitas belaka. Terciptalah masyarakat yang individualis tak lain memikirkan urusan diri sendiri tanpa memikirkan masalah di sekelilingnya. Jika pemuda sebagai generasi penerus bangsa sudah rusak, bermental lemah, acuh tak acuh, lalu bagaimana nasib bangsa Indonesia ke depannya?
Mari kita pikirkan sejenak. Dari mana munculnya segala permasalahan yang tiada henti menimpa masyarakat Indonesia. Apa tujuan manusia diciptakan telah tegas Allah sampaikan dalam firman-Nya QS aDz-Dzariyat ayat 56 (yang artinya): Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Namun, secara fakta manusia sekarang mulai jauh dari pemahaman Islam. Islam hanya sebatas pada ritual ibadah semata. Syariah Islam yang ditetapkan Allah untuk kemaslahatan manusia justru ditinggalkan. Bahkan dihina dan dianggap mengekang hak asasi manusia. Bagaimana Allah tidak turunkan peringatan bagi manusia?
Melalui masalah yang terus ada, bahkan bencana alam yang silih berganti melanda berbagai daerah di Indonesia, seakan itu merupakan bentuk peringatan dari Allah bagi manusia agar kembali mengabdi kepada-Nya. Lalu dimana kesadaran kita? Jangan hanya diam menunggu peringatan-peringatan Allah selanjutnya. Mari ikut berjuang untuk menyadarkan umat saat ini akan pentingnya menegakkan syariah Allah di muka bumi ini. Itulah puncak perjuangan kita sesungguhnya. Itulah kemerdekaan hakiki yang masih menjadi PR besar bagi kita bersama. Allahu akbar! [Azma Azizah Nurul Ummah; Mahasiswi Pendidikan Biologi UNY]