Siyasah Dakwah

Menghadapi Kriminalisasi Ajaran Islam

Ajaran Islam adalah seluruh pemikiran Islam yang mencakup dimensi hubungan manusia dengan Allah SWT (seperti akidah dan ibadah), dimensi hubungan dengan diri sendiri (hukum islam terkait makanan, minuman, pakaian dan akhlak) dan dimensi hubungan dengan sama manusia yang mencakup muamalah dan ‘uqubat (sistem sanksi).

Saat ini ajaran Islam tengah dikrimanalisasi. Ajaran Islam yang saat ini menjadi objek kriminalisasi adalah khilafah. Secara aturan perundang-udangan tidak ada satu pun produk hukum yang secara tegas/tekstual yang menyatakan bahwa khilafah adalah ajaran terlarang. Namun kenyataannya, kriminalisasi khilafah sebagai ajaran Islam ini benar-benar terjadi. HTI sebagai kelompok yang getol menyuarakan khilafah dicabut badan hukumnya. Ustadz Ismail Yusanto dipolisikan. Postingan di sosial media yang mengkampanyekan khilafah bisa dimejahijaukan seperti yang terjadi pada Saudara Despianoor di Kotabaru Kalimantan Selatan. Pengajian yang menyampaikan khilafah dipersekusi dan dibubarkan. Materi khilafah di buku Madrasah ‘Aliyah dihapuskan atau setidaknya digeser ke tema sejarah semata. Dalihnya khilafah adalah kewajiban historis, bukan kewajiban secara fikih. Namun, saat viral film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang fokus mengkaji aspek sejarah, filmnya di-banded saat penayangan perdana. Alasannya, ada konten yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan negara.

Kriminalisasi ajaran Islam adalah bagian dari proyek deradikalisasi atau perang terhadap radikalisme. Perang terhadap radikalisme sejatinya adalah perang terhadap Islam. Pernyataan ini tidak berlebihan. Buktinya, proyek deradikalisasi sering dikaitkan dengan  istilah atau terma Islam. Terbaru Menteri Agama menyebutkan cara paham radikal masuk ke masjid-masjid melalui imam masjid yang “good looking” (berpenampilan menarik), hapal al-Quran dan fasih berbahasa Arab (Rabu, 2/9/2020).

Sebelumnya viral istilah “masjid radikal” dan “ustadz radikal”. Saat yang sama, tidak pernah kita mendengar istilah “gereja radikal” dan “pendeta radikal”. Demikian pula ASN yang panjang jenggotnya, bercelana cingkrang, perempuannya bercadar. Mereka dianggap telah terpapar paham radikal. Sebaliknya, kelompok bersenjata “Papua Merdeka” yang jelas membahayakan negara tidak pernah dicap radikal.

Sederet fakta ini sudah menjadi bukti yang cukup bahwa perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam.

 

Proyek Global

Perang terhadap radikalisme tidak hanya muncul di Indonesia. Ini adalah proyek global. Setelah Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump, slogan “Global War on Terrorism” diubah menjadi slogan “Global War on Radicalism”, karena “Global War on Terrorism” tidak lagi bisa menjangkau kelompok-kelompok Islam yang ingin penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah yang menggunakan metode dakwah non kekerasan. Karena itu digunakanlah proyek “Global War on Radicalism”. Dewan Keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan “terorisme radikal Islam”, atau “Islam radikal”, atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti “Islamisme.”

Mereka menggambarkan perang ini sebagai perjuangan ideologis untuk melestarikan/mempertahankan peradaban Barat, seperti perang melawan Nazisme dan Komunisme. Mereka menyebut, perang ini tidak terbatas pada Muslim ekstremis Sunni atau Syiah ekstremis, tetapi Islam secara menyeluruh, khususnya mereka yang ingin mengambil kekuasaan negara (Achmad Fathoni dalam Al-Wa’ie).

 

Mendudukkan Istilah Radikal

Sebenarnya, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices. Artinya, akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. Hal ini yang kemudian besar kemungkinan akan menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21).

Menurut The Concise Oxfort Dictionary (1987), radikal berarti akar atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan istilah radical, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reachine or through (berhubungan atau yang mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir dan bertindak”. Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial.

Berdasarkan konotasi yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik dan ilmu sosial. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal dengan istilah radikal bebas. Adapun istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. Th.1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional. Dalam hal ini, kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekular, saintifik maupun keagamaan.

Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Namun, kini istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll. Semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan. Pasalnya, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Penggunaan istilah “Islam radikal” sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk. Istilah radikal menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat. Wajar jika ada kesimpulan di masyarakat bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.

 

Sikap Rasulullah saw. Menghadapi “Kriminalisasi”

Sepanjang sejarah dakwah Islam, Rasulullah saw. adalah orang pertama yang mengalami “kriminalisasi”. Sebabnya, risalah Islam yang beliau dakwahkan dianggap bertentangan dengan aturan dan tradisi bangsa Arab jahiliah. Saat bangsa Arab menyekutukan Allah dengan menyembah berhala, beliau menyampaikan ajaran tauhid yang mengesakan Allah semata. Saat bangsa Arab terbiasa curang dalam timbangan, mempraktikkan riba, biasa berzina dan membunuh bayi perempuan hidup-hidup, Nabi saw. diutus untuk mengubah tatanan ideologi, politik, ekonomi dan sosial saat itu. Akibatnya, beliau mengalami kriminalisasi dengan berbagai bentuknya seperti persekusi, stigma negatif yang menuduh beliau memecah-belah, sebutan majnûn (gila), sâhirul bayân (menyihir dengan kata-kata), hingga embargo dan rencana pembunuhan.

Apakah Rasulullah dan para Sahabat surut dari dakwah? Tidak. Sama sekali tidak. Satu inci pun beliau tidak mundur. Beliau bahkan menyatakan:

يَا عَمّ، والله لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الْأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ الله أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُه

“Pamanku, demi Allah, seandainya mereka (mampu) meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, tidak akan aku tinggalkan dakwah ini hingga Allah berikan kemenangan atau aku binasa karenanya.” (Sirah Ibnu Hisyam).

 

Rasulullah saw. tetap saja menjelaskan keburukan pemikiran dan tradisi jahiliah. Bahkan ayat al-Quran turun dengan menyebut nama gembong kemusyrikan yang jadi penentang dan penghalang dakwah, Abu Lahab. Menjelaskan kerugiannya di dunia dan akhirat akibat penentangan terhadap dakwah. Tenaga, pikiran dan harta yang ia dan istrinya curahkan untuk menentang dakwah hanya akan jadi kesia-siaan dan bahan api neraka yang bergejolak.

Rasulullah saw. juga terus melakukan aktivitas thalab an-nushrah untuk meng-akselerasi capaian dakwah. Belasan kali beliau melakukan aktivitas ini. Beliau tak pernah bergeser. Tetap melakukan aktivitas ini meski mendapatkan penolakan dari yang halus hingga yang kasar.

Akhirnya, pertolongan datang dari dua kabilah kuat, Aus dan Khazraj di Yatsrib. Secara internal beliau terus menguatkan para Sahabat dengan menyampaikan semakin dekatnya pertolongan Allah. Beliau memotivasi para Sahabat dengan kisah-kisah para nabi terdahulu yang disiksa, digergaji tubuhnya hingga terbelah, disisir tubuhnya hingga terlihat putih tulangnya (QS al-Baqarah [2]: 214). Hal inilah yang menjadikan hizb ar-Rasul tetap solid meski badai kriminalisasi makin menjadi-jadi. Satu lagi, Rasulullah saw. tak Lelah berdoa agar Islam dikuatkan dengan orang yang saat itu menjadi penentang dakwah. Akhirnya, Umar bin al-Khaththab ra. masuk Islam dan menjadi pembelanya.

Berdasarkan sirah (perjalanan) dakwah Nabi saw. dapat kita simpulkan beberapa aktivitas penting yang beliau lakukan saat mendapat kriminalisasi dakwah:

  1. Tidak mundur dari dakwah sedikit pun. Inilah contoh terbaik yang wajib untuk kita teladani. Kita tak boleh surut dalam dakwah karena sejatinya kesulitan dakwah ini hanya sebentar. Paling lama hingga ajal menjelang. Adapun pahala yang akan diraih kekal abadi, insya Allah.
  2. Mengokohkan kesolidan hizb ar-Rasul, yaitu para Sahabat, di antaranya motivasi kemenangan yang makin dekat serta kisah-kisah nyata dari para nabi dan rasul terdahulu yang mengalami kriminalisasi saat berdakwah. Termasuk yang tidak kalah penting adalah terus menancapkan keyakinan tentang rezeki, tawakal dan ajal. Intinya, dakwah tidak akan mengurangi jatah rezeki dan tidak akan mempercepat kematian.
  3. Terus menjelaskan Islam sebagai solusi yang lurus atas berbagai kebobrokan dan kebengkokan sistem jahiliyah. Inilah yang harus kita lakukan saat ini.Dengan itu makin terang-benderang bahwa problem dunia saat ini hanya akan bisa diatasi dengan Islam.
  4. Terus melakukan aktivitas thalab an-nushrah untuk akselerasi dakwah. Aktivitas ini wajib dilakukan karena inilah thariqah dakwah Nabi saw. sekaligus untuk menolong aktivis dakwah dan dakwah itu sendiri.
  5. Senantiasa berdoa agar kemenangan Islam segera terwujud. Semoga pihak-pihak yang menjadi penentang berbalik arah menjadi pembela. [Wahyudi Ibnu Yusuf]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + 2 =

Back to top button