Soal Jawab

Siapakah Pahlawan Yang Sebenarnya?

Soal:

Siapakah pahlawan yang sebenarnya dalam pandangan Islam? Apa jasa mereka yang membuat mereka layak disebut pahlawan?

 

Jawab:

Pahlawan adalah pejuang yang gagah berani dalam membela kebenaran. Untuk itu ia telah mengorbankan tenaga, pemikiran, waktu bahkan nyawa. Istilah pahlawan juga digunakan untuk siapa saja yang berjasa meski “tanpa tanda jasa”, seperti guru, dan sebagainya.

Hanya saja, dalam pandangan Islam, tentu semuanya itu demi meninggikan kalimah Allah (li I’la’i kalimati-lLâh). Tentu dengan cara yang benar (syar’i). Dua hal inilah yang menjadi syarat, apakah amal kita diterima oleh Allah SWT atau tidak.

Allah SWT berfirman:

تَبَٰرَكَ ٱلَّذِي بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ  ١ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ  ٢

Mahaberkah Zat Yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun (QS al-Mulk [67]: 1-2).

 

Makna, “ahsanu ‘amalâ” adalah amal yang paling sempurna, yaitu amal yang diterima oleh Allah. Para ulama menjelaskan ukurannya. Pertama, harus paling ikhlas (akhlashuhu). Kedua, harus paling benar (ashwabuhu). Ukuran paling benar adalah mengikuti ketentuan hukum syariah. Bukan berdasarkan yang lain. Dua standar inilah yang juga dijadikan standar oleh Allah SWT dalam menentukan amal setiap hamba-Nya; diterima atau tidak.

Karena itu, bisa dikatakan, siapa saja yang telah berjasa kepada Islam, untuk meninggikan kalimah Allah, yang dilakukan ikhlas semata karena Allah, dan dengan cara yang benar, menurut syariah Islam, dia layak disebut sebagai pahlawan. Pada zaman permulaan Islam, Nabi saw. dan para Sahabat ra. adalah pahlawan yang telah berjasa mendakwahkan Islam, membangun umat Islam, sehingga menjadi umat terbaik. Mereka juga berjasa mendirikan Negara Islam sebagai metode satu-satunya untuk menerapkan Islam, menjaga dan menyebarkan Islam.

Mereka tidak hanya berjasa dalam peperangan, baik untuk mempertahankan Islam, umat, negara maupun wilayahnya. Mereka juga menyebarkan Islam ke luar wilayah mereka. Seluruh Jazirah Arab—yang meliputi 7 negara (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Yaman, Qatar dan Kuwait)—berhasil mereka taklukan dalam waktu 9 tahun. Mereka juga berjasa membukukan al-Quran dan mentranmisikan Hadis Nabi saw.

Ketika mereka menyebarkan Islam ke luar Jazirah Arab, mereka membawa al-Quran di tangan kanan, dan bahasa Arab di tangan kiri. Karena itu wilayah-wilayah yang asalnya tidak berhasa Arab itu akhirnya berhasil dilebur dan menjadi satu wilayah, dengan bahasa, tsaqâfah dan hadhârah yang sama.

Karena itu sejarah Islam tidak hanya diisi dengan sepak terjang para Mujahidin, seperti Khalid bin al-Walid, Saad bin Abi Waqqash. Ada juga sejarah para pengemban dakwah dan syuhada yang hebat, seperti Mushab bin Umair. Juga sejarah para pengemban dakwah, pejuang dan ulama dalam berbagai bidang keilmuan, seperti Sayidina ‘Ali bin Abi Thalib, Sayidina ‘Abdullah bin ‘Abbas. Sejarah Islam juga diisi dengan sejarah para khalifah dan banyak lagi yang lain.

Mereka semuanya adalah pahlawan Islam yang telah berjasa mengemban, menjaga dan menerapkan Islam di tengah-tengah kehidupan. Umat Islam adalah umat yang tinggi, umat terbaik yang pernah dihadirkan di muka bumi ini. Dengan akidah dan syariah Islam yang luar biasa, dan sempurna, umat Islam telah melahirkan tokoh-tokoh hebat sekelas Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan sebagainya.

Abu Bakar as-Shiddiq berjasa menghimpun al-Quran, yang telah dibukukan sejak turun pertama kali pada zaman Nabi saw. Orang yang berjasa mengetuai penghimpunan al-Quran adalah Zaid bin Tsabit. Pada zaman Utsman bin Affan, Mushhaf inilah yang dijadikan sebagai patokan oleh sang Khalifah untuk diduplikasi, sehingga kemudian dikenal dengan Mushhaf atau Rasm ‘Utsmani. Setelah itu, Mushhaf Ahad yang lain dimusnahkan. Mushhaf ‘Utsmani ini digandakan menjadi lima. Ada yang mengatakan tujuh. Inilah yang disebut Mushhaf Imam (Mushaf Standar). Masing-masing disebar ke wilayah yang berbeda. Ada yang di Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam dan wilayah lain.

Dalam bidang hadis, Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dianggap sebagai orang yang berjasa memulai pekerjaan besar di bidang hadis. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Begitu seterusnya sehingga hadits berhasil dihimpun. Ilmu di bidang hadis pun kemudian berkembang. Imam Malik (w. 174 H/795 M) menulis kitab Al-Muwatha’ di bidang hadis, yang kemudian disyarah 276 tahun kemudian oleh al-Hafidz Ibn ‘Abd al-Barr (w. 1071 M), selama 30 tahun dengan judul, At-Tamhîd.

Kitab Al-Muwatha’ ini dihapal oleh Imam Syafii (w. 204 H/820 M) pada usia 10 tahunan, sebelum berguru kepada Imam Malik. Imam Syafii sendiri mempunyai kitab hadis, Musnad al-Imâm asy-Syâfii. Setelah itu, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), yang juga murid Imam Syafii, menulis Magnum Opus-nya, Musnad Ahmad bin Hanbal, setelah dua kali perjalanannya mencari ilmu ke berbagai penjuru dunia.

Hanya saja, secara keilmuan, Imam al-Bukhari (w. 256 H), dengan Shahîh al-Bukhâri, dan Imam Muslim (w. 261 H), dengan Shahîh Muslim-nya dianggap sebagai orang yang pertama merumuskan hadis shahîh dan dha’îf dengan kriteria yang jelas dan terukur.

Setelah itu, murid Imam Bukhari, Imam at-Tirmidzi (w. 279 H/892 M), merumuskan kriteria ketiga, selain shahîh dan dha’îf, yaitu hasan. Mereka inilah yang dianggap berjasa dalam bidang hadis pada masa-masa awal. Akhirnya, hadis dan keilmuannya berkembang menjadi seperti sekarang. Dengan jasa-jasa mereka, pemalsuan hadis pun dengan mudah bisa dideteksi, dan para pemalsunya berhasil dieksekusi.

Dalam bidang al-Quran, selain jasa Khalifah Utsman melakukan pembakuan Mushhaf, sehingga menjadi Mushhaf ‘Utsmani, tokoh yang berjasa membuat tanda baca pada Mushhaf ‘Utsmani di masa permulaan adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 64 H/670 M). Ketika itu beliau hanya meletakkan titik pada huruf hijaiyah. Setelah itu, tanda baca tersebut disempurnakan oleh generasi berikutnya, sampai menjadi seperti sekarang.

Tidak hanya di bidang penulisan al-Quran, tetapi juga bacaannya, hingga menjadi sebuah ilmu tersendiri, yaitu Ilmu Qirâ’at. Dari sana lahir para ulama Qirâ’at, Qirâ’at Sab’ah (Tujuh Bacaan), Asyrah (Sepuluh Bacaan) hingga Arba’ah ‘Asyar (Empat Belas Bacaan). Dalam ‘Ulûm al-Qur’ân, ilmu ini juga berkembang, dari 48 cabang, menjadi 80 cabang. Belum lagi, Ushûl Tafsîr, juga berkembang menjadi ilmu tersendiri, di samping Tafsir al-Quran itu sendiri.

Dalam bidang Ushul Fiqih dan Fiqih, Imam Syafii berjasa merumuskan Ushul Fiqih, dengan kitabnya, Ar-Risâlah. Kaidah ini menjadi pedoman para mujtahid dalam menggali hukum, dari berbagai mazhab yang berbeda.

Di bidang fikih sendiri, dua mazhab utama, Ahli Hadis dan Ahli Ra’yi telah berkembang. Ahli Ra’yi kemudian diwakili oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) dengan mazhab Hanafi-nya. Ahli Hadis diwakili oleh Imam Malik, dengan mazhab Maliki-nya. Kemudian datang Imam Syafii, yang berguru kepada dua mazhab sebelumnya, Hanafi dan Maliki. Beliau berhasil memadukan dua mazhab ini.

Bidang akidah, ulama’ Ahlussunnah, seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 323 H/935 M), Abu al-Manshur al-Maturidi (w. 333 H/944 M) dan Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) juga mempunyai jasa besar dalam mempertahankan akidah kaum Muslim.

Dalam bidang bahasa, para ulama ahli bahasa tidak kalah besar jasanya dalam menjaga Islam dan tsaqâfah-nya.

Dalam Ilmu Nahwu, ada Imam Sibawaih (w  180 H/796 M), dengan Kitab-nya, yang merupakan Qur’an-nya Ilmu Nahwu. Kitab tertinggi di bidang Nahwu. Selain itu, ada guru beliau, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 173 H/789 M), yang dikenal sebagai penemu Ilmu ‘Arudh dan Qawafi. Ilmu bahasa Arab ini ada 12 cabang.

Semuanya ini hidup di era Khilafah Islam. Mereka semua saling bahu-membahu, bekerjasama satu sama lain dan saling melengkapi. Apa yang dibutuhkan untuk menjaga Islam, tsaqâfah dan hadhârah-nya, akan mereka berikan. Mereka telah mengorbankan waktu, pikiran dan harta mereka hingga Islam benar-benar dapat mereka jaga.

Ketika Khilafah Islam dan kondisi kaum Muslim mulai merosot, mereka pun menulis kitab untuk membangkitkan kemerosotan umat. Sebut saja, Imam al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), telah menulis kitab di bidang pemerintahan Islam yang sangat penting, Al-Ahkam as-Sulthâniyyah. Diikuti kemudian oleh al-Farra’ (w. 458 H/1066 M), dengan judul yang sama. Mereka ini berjasa membuat pakem di bidang pemerintahan, agar tidak menyimpang dari rel yang seharusnya.

Lalu ada Imam al-Ghazali (w. 555 H), dengan Ihyâ’ Ulumiddîn-nya. Kemudian diikuti oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M). Ketika itu, dengan Madrasah Nizhamiyyah-nya. Dari sana lahir generasi Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193 M), yang kemudian berhasil membebaskan al-Quds.

Mereka semuanya mempunyai jasa besar terhadap Islam, umat Islam, termasuk tsaqâfah dan hadhârah Islam. Pada saat akhir Khilafah ‘Utsmaniyah pun para ulama dengan seluruh kemampuan mereka telah berjuang mempertahankan eksistensi Khilafah ini. Bahkan, setelah Khilafah Islam ini dinyatakan bubar, 3 Maret 1924 M, mereka pun terus berjuang, bagaimana agar Khilafah ini berhasil mereka tegakkan kembali, sebagaimana saat Khilafah ‘Abbasiyah diluluhlantahkan oleh pasukan Tatar dan pengkhianatan Wazir al-Qumi, penganut Syiah Rafidhah.

Saat itu umat ini berhasil mengalahkan Tatar, dalam Perang Ain Jalut, dengan jasa Sultan Qutuz (w. 1260 M), dan peran Sulthan Ulama’, Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam (w. 660 H/1262 M). Khilafah Islam pun berhasil diselamatkan. Namun, setelah runtuhnya Khilafah, kondisinya berbeda. Pasalnya, racun pemikiran Barat dan kufur telah berkembang di negeri-negeri kaum Muslim. Kondisi ini membuat tubuh kaum Muslim sakit dan lemah, meski tidak sampai mati. Karena itu upaya membangkitkan mereka saat ini jauh lebih sulit ketimbang membangkitkan mereka setelah Bagdad diluluhlantakkan oleh Tatar.

Hanya saja, bangkitnya sejumlah ulama alumni al-Azhar yang dipimpin oleh al-‘Allamah al-Qadhi Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M). Beliau merupakan mujtahid mutlak, pemikir, politikus dan pemimpin gerakan politik yang handal, zuhud, wara’ dan mempunyai karamah yang luar biasa. Beliau telah berhasil mendirikan partai politik. Tujuannya untuk membebaskan negeri-negeri kaum Muslim, dan membangkitkan umat, dengan cara melanjutkan kembali kehidupan Islam, di bawah naungan Khilafah.

Sejak runtuh 1924, umat tidak lagi mempunyai gambaran yang jelas tentang Khilafah. Dengan izin Allah, setelah 1953 M, gerakan ini lahir, dan terus menerus melakukan edukasi di tengah-tengah umat, maka Islam, syariah dan Khilafah itu telah kembali ke dalam diri umat, menjadi cita-cita dan harapan umat. Tidak hanya master plan. Road map-nya pun sangat jelas dan telah mereka pahami dengan baik.

Mereka semuanya ini bisa dikatakan sebagai para pahlawan. Mereka telah berjasa menerapkan, menjaga, mengemban Islam. Mereka semuanya adalah anak kandung dari umat Islam, yang lahir dari rahim umat ini. Mereka adalah para rijâl, yang telah memberikan komitmen, dan jasanya untuk kemuliaan Islam.

مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٞ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلٗا  ٢٣

Di antara kaum Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya) (QS al-Ahzab [33]: 23).

 

Mereka semuanya telah mengorbankan harta, waktu, tenaga hingga nyawa mereka untuk Allah, Rasul dan agama-Nya. Semata berharap ridha-Nya, ikhlas semata karena-Nya, dan terikat sepenuhnya dengan syariah-Nya.

Adapun mereka yang telah diracuni dengan tsaqâfah dan hadhârah Barat, kemudian bekerjasama dengan para penjajah Barat dan Timur untuk membunuh ibu mereka, dan memotong-motong tubuhnya, hingga umat ini terpecah-belah menjadi 60 lebih negara boneka, meski mereka disebut pahlawan, sesungguhnya dalam pandangan Islam, mereka bukanlah pahlawan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 + 17 =

Back to top button