Takrifat

Redaksi Larangan

Redaksi larangan (shîghatu an-nahyi) adalah susunan kata, yakni tarkîb atau jumlah (kalimat), yang secara bahasa dibuat untuk menunjukkan makna larangan.

Secara bahasa, ahlu al-lughah telah menetapkan redaksi tertentu untuk menyatakan larangan. Imam  al-Ghazali (w. 505 H) di dalam Al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl menyatakan, “Adapun redaksi larangan adalah ucapannya: Lâ taf’al.”

Az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fi Ushûl al-Fiqhi menyatakan, “Untuk larangan ada redaksi yang dibangun untuk menunjukkan dengan sendirinya pada larangan, yaitu ucapan orang yang berkata: Lâ taf’al.”

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menyatakan, “Redaksi yang ditetapkan untuk larangan secara bahasa adalah redaksi “lâ taf’al” dan “lâ yaf’al”, yakni lâ an-nâhiyah yang masuk pada fi’il mudhari’… Inilah redaksi yang ditetapkan untuk larangan dan tidak ada redaksi lainnya. Asy-Syâri’ tidak menetapkan istilah syar’i untuk redaksi larangan. Apa yang ditetapkan secara bahasa, itulah yang mu’tabar (diakui) secara syar’i.”

‘Abdul Karim an-Nimlah di dalam Al-Jâmi’ li Masâ`il Ushûl al-Fiqhi wa Tathbîqâtihâ ‘alâ al-Madzhab ar-Râjih memberikan alasan untuk adanya redaksi larangan secara bahasa itu, “Karena ijmak ahlu al-lughah bahwa “lâ taf’al” merupakan redaksi untuk larangan. Seorang tuan, misalnya, andai dia berkata kepada budaknya: Lâ tadkhulu hadzihi ad-dâra (Janganlah kamu memasuki rumah ini).  Andai dia memasuki rumah tersebut maka dia layak mendapat sanksi menurut ijmak orang-orang berakal di kalangan ahlu al-lughah tanpa ada yang mengingkari. Dengan demikian ini merupakan ijmak dari mereka bahwa lafal itu ditetapkan untuk larangan.”

Redaksi larangan itu, sebagai redaksi yang ditetapkan untuk larangan, apakah otomatis memberikan faedah larangan saja? Para ulama ushul menyatakan bahwa redaksi larangan tidak hanya memberi faedah makna larangan, tetapi juga memberi faedah makna lainnya.

Para ulama ushul berbeda pendapat tentang faedah makna-makna dari redaksi larangan itu. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ (w. 457 H) di dalam Al-‘Iddah fî Ushûl al-Fiqhi, Imam al-Ghazali (w. 505 H) di dalam Al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl, Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) di dalam Al-Ibhâj fî Syarhi al-Minhâj dan lainnya, menyatakan bahwa redaksi larangan yang dinyatakan di dalam nas memberikan tujuh faedah makna. Menurut Qadhi Abu Ya’la makna itu adalah: ar-raghbah wa as-su`âl (keinginan dan permintaan), at-taqrîr, at-tahdzîr, al-istiqlâl, at-taskîn, al-amân min al-khawf dan li al-‘izhzhah.

Menurut Imam al-Ghazali tujuh makna itu adalah: li at-tahrîm (pengharaman), li al-karâhah (kemakruhan), li at-tahqîr (merendahkan), li bayâni al-‘âqibah (menjelaskan akibat), li al-ya`si (menyatakan keputusasaan), li al-irsyâd (untuk arahan).

Az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi menyatakan empat belas makna, yaitu: li at-tahrîm (pengharaman), li al-karâhah (kemakruhan), al-adab (tata krama), at-tahqîr bi sya’ni al-manhiy ‘anhu (merendahkan perkara yang dilarang), at-tahdzîr (peringatan), bayân al-‘âqibah (menjelaskan akibat), al-ya`su (keputusasaan), al-irsyâd ilâ al-ahwath bi at-tarki (arahan kepada yang lebih baik dengan meninggalkan), ittibâ’u al-amri min al-khawf (mengikuti perkara karena takut), ad-du`â’ (doa), al-iltimâs (harapan), at-tahdîd (ancaman), al-ibâhah (kemubahan) yakni dalam larangan setelah pewajiban, dan al-khabar (berita).

‘Ala`uddin al-Mirdawi al-Hanbali (w. 885 H) di dalam At-Tahbîr Syarhu at-Tahrîr fî Ushûl al-Fiqhi menyebutkan lima belas makna, yaitu at-tahrîm, al-karâhah, at-tahqîr, bayânu al-‘âqibah, ad-du’â’, al-ya`su, al-irsyâd, al-adab, at-tahdîd, ibahah at-tarki, at-tashabbur (menguatkan kesabaran), îqâ’u al-amni (memberikan keamanan), at-tahdzîr dan at-taswiyah (penyamaan).

Adapun al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menyatakan bahwa redaksi larangan dinyatakan untuk sembilan makna. Pertama: At-Tahrîm (pengharaman), seperti firman Allah SWT:

لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ

Janganlah kalian memakan riba.

 

Kedua: Al-Karâhah (kemakruhan), seperti dalam sabda Rasul saw.:

إِذَا تَوَضَأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُم خَرَجَ عَامِدًا إِلى الصَّلَاةِ فَلَا يُشَبِّكُ بَيْنَ يَدَيْهِ

Jika salah seorang kalian berwudhu, lalu dia memperbagus wudhunya, kemudian keluar pergi untuk shalat (ke masjid), maka janganlah dia menjalinkan jari-jemarinya (HR Ahmad).

 

Ketiga: At-Tahqîr (merendahkan), seperti firman Allah SWT:

لَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ ٨٨

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (QS al-Hijr [15]: 88).

 

Keempat: Bayânu al-‘Aqibah (menjelaskan akibat), seperti firman Allah SWT:

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱللَّهَ غَٰفِلًا عَمَّا يَعۡمَلُ ٱلظَّٰلِمُونَۚ ٤٢

Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh kaum yang zalim (QS Ibrahim [14]: 42).

 

Kelima: Doa, seperti firman Allah SWT:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ ٢٨٦

Duhai Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Duhai Tuhan kami, janganlah Engkau membebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami (QS al-Baqarah [2]: 286).

 

Keenam: Al-Ya‘su (keputusasaan), seperti firman Allah SWT:

لَا تَعۡتَذِرُواْ ٱلۡيَوۡمَۖ ٧

Janganlah kalian mengemukakan uzur pada hari ini (QS at-Tahrim [66]: 7).

 

Ketujuh: Al-Irsyâd (arahan), seperti firman Allah SWT:

لَا تَسۡئَلُواْ عَنۡ أَشۡيَآءَ ١٠١

Janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) tetang berbagi hal (QS al-Maidah [5]: 101).

 

Kedelapan: At-Tasliyah (penghiburan), seperti firman Allah SWT:

وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ ٧٠

Janganlah kamu berdukacita terhadap mereka (QS an-Naml [27]: 70).

 

Kesembilan: Asy-Syafaqah (belas kasihan), seperti sabda Rasul saw.:

لَا تَتَّخِذُوْا الدَّوَابَ كَرَاسِيَ

Janganlah kalian menjadikan hewan tunggangan (layaknya) kursi (HR Ahmad).

 

Dari semua itu tampak bahwa redaksi larangan itu digunakan pada banyak makna. Redaksi larangan tidak menunjukkan semua makna itu secara musytarak, sebab redaksi larangan tidak ditetapkan untuk semua makna itu.

Tampak pula bahwa redaksi larangan tidak otomatis bermakna larangan (an-nahyu) secara hakiki. Redaksi larangan (shîghatu an-nahyi) tidak lain ditetapkan untuk makna tuntutan (thalab). Qarînah yang menyertai redaksi larangan itulah yang menentukan atau menunjukkan jenis dari tuntutan (thalab) yang dimaksudkan; apakah untuk larangan tegas (at-tahrîm), larangan tidak tegas (al-karâhah), at-tahqîr, bayânu al-‘âqibah, al-ya`su, al-irsyâd, at-tasliyah atau asy-syafaqah.

Dalam hal ini harus dibedakan redaksi larangan (shîghatu an-nahyi) dengan larangan (an-nahyu) itu sendiri. Larangan (an-nahyu) tidak selalu dinyatakan dengan menggunakan redaksi larangan. Namun, larangan (an-nahyu) juga dinyatakan menggunakan uslûb-uslûb lainnya, yakni ditunjukkan oleh kalimat di dalam nas syariah secara manthûq atau kadang ditunjukkan oleh makna kalimat nas syariah secara mafhûm.

Ini sama seperti dalam hal perintah. Harus dibedakan redaksi perintah (shîghatu al-amri) dengan perintah (al-amru) itu sendiri. Redaksi perintah tidak selalu berfaedah makna perintah, yakni tuntutan melakukan perbuatan (thalab al-fi’li). Redaksi perintah dinyatakan di dalam nas untuk memberikan faedah salah satu dari enam belas makna. Perintah (al-amru) tidak selalu dinyatakan dengan menggunakan redaksi perintah. Namun, makna perintah itu juga ditunjukkan menggunakan uslûb lainnya. Adakalanya ditunjukkan oleh lafal atau kalimat secara manthûq. Adakalanya ditunjukkan oleh makna kalimat nas secara mafhûm.

Larangan baik yang diungkapkan menggunakan redaksi larangan atau dengan uslûb lainnya, dalam makna hakikatnya menunjukkan tuntutan meninggalkan (thalab at-tarki) perbuatan. Inilah makna asal larangan. Jadi al-ashlu fi an-nahyi li thalab at-tarki (hukum asal larangan adalah untuk tuntutan meninggalkan). Qarînah yang menyertai larangan itulah yang menunjukkan maksud dari larangan itu apakah dimaksudkan sebagai larangan bersifat tegas sehingga hukumnya haram; atau sebagai larangan yang tidak bersifat tegas sehingga hukumnya makruh.

Ini juga sama seperti dalam hal perintah. Perintah (al-amru) itu—baik yang dinyatakan menggunakan redaksi perintah, atau makna perintah itu ditunjukkan oleh lafal atau kalimat nas secara manthûq, atau ditunjukkan oleh makna kalimat secara mafhûm—secara hakiki menunjukkan makna tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al-fi’li). Jadi asal dari perintah adalah untuk tuntutan melakukan perbuatan (al-ashlu fi al-amri li thalab al-fi’li). Qarînah yang menyertai perintah itulah yang menunjukkan maksud dari perintah itu: apakah dimaksudkan sebagai perintah yang tegas sehingga hukumnya wajib; atau sebagai perintah yang tidak tegas melainkan anjuran sehingga hukumnya sunnah atau mandûb; atau dimaksudkan sebagai pilihan sehingga hukumnya mubah.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 + 18 =

Back to top button