Tafsir

Ancaman Bagi Orang Yang Mendustakan Nikmat-Nya

(Tafsir QS ‘al-Mursalat [77]: 25-28)

أَلَمۡ نَجۡعَلِ ٱلۡأَرۡضَ كِفَاتًا * أَحۡيَآءٗ وَأَمۡوَٰتٗا * وَجَعَلۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ شَٰمِخَٰتٖ وَأَسۡقَيۡنَٰكُم مَّآءٗ فُرَاتٗا * وَيۡلٞ يَوۡمَئِذٖ لِّلۡمُكَذِّبِينَ *

Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati, Kami pun telah menjadikan di bumi itu gunung-gunung yang tinggi dan Kami beri minum kalian dengan air tawar? Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan (QS al-Mursalat [77]: 25-28).

 

Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah SWT telah mengingatkan kita tentang asal-usul manusia. Mereka semua diciptakan dari air yang hina. Air yang hina itu pun diletakkan dalam tempat yang kokoh, yakni rahim, hingga waktu yang telah ditentukan. Lalu Allah SWT membuat ketetapan dengan ketetapan yang paling baik. Kemudian Allah SWT mengancam orang-orang yang mendustakan, bahwa mereka mendapatkan kecelakaan besar.

Ayat-ayat ini kembali mengingatkan kita tentang beberapa kenikmatan lain yang telah dianugerahkan kepada manusia. Kemudian disebutkan ancaman terhadap orang-orang yang mendustakan, bahwa mereka akan mendapatkan kecelakaan yang besar.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Alam Naj’al al-ardh kifât[an] (Bukankah Kami menjadikan bumi [tempat] berkumpul). Ayat di awali dengan huruf istifhâm, al-hamzah, kemudian diiringi dengan huruf lam yang bermakna an-nafi. Sebagaimana telah diterangkan, susunan demikian menghasilkan makna untuk mengukuhkan kalimat yang akan disebutkan sesudahnya.

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, Allah SWT mengingatkan hamba-hamba-Nya atas nikmat-Nya kepada mereka: “Bukankah Kami telah menjadikan, wahai manusia, bumi, untuk kalian, kifât[an] (tempat berkumpul).1

Menurut Wahbah al-Zuhaili, al-kifât merupakan ism atau kata benda yang menghimpun dan mengumpulkan.2 Menurut al-Asfahani, kata al-kaft berarti al-qabdh al-jam’ (menahan dan mengumpulkan).3 Penjelasan senada juga dikemukakan oleh banyak mufassir. Menurut mereka, makna kata tersebut adalah ash-dhamm wa al-jam’ (menghimpun dan mengumpulkan).4 Dikatakan: kafata al-syay‘a (dia mengumpulkan sesuatu) ketika dhammahu wa jama’ahu (menghimpun dan mengumpulkannya). Oleh karena itu kaos kaki dan periuk disebut kaftun.

Kemudian disebutkan: ahyâ‘[an] wa amwât[an] (orang-orang hidup dan orang-orang mati). Ayat ini memberitakan bahwa bumi itu diciptakan Allah SWT sebagai tempat berkumpulnya manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Imam al-Qurthubi berkata, “Mereka menyebut pekuburan Baqi’ al-Gharqad sebagai kaftah. Sebabnya, pekuburan tersebut merupakan tempat orang-orang yang sudah mati dikumpulkan. Oleh karena itu, bumi mengumpulkam orang-orang hidup di rumah-rumah mereka dan orang-orang mati di kuburan-kuburan mereka.”5

Al-Akhfasy, Abu Ubaid dan Mujahid dalam salah satu pendapatnya menyatakan, “Orang-orang hidup dan orang-orang mati kembali ke bumi. Artinya, bumi itu terbagi untuk orang hidup, yakni orang yang bisa tumbuh; lalu di bagian lainnya untuk orang mati, yakni yang tidak bisa tumbuh.”6

Al-Farra’ berkata, “Yang dimaksud adalah menyatukan orang-orang yang hidup di atas permukaan di rumah-rumah mereka dan mengumpulkan orang-orang mati di dalam perut bumi.”7

Asy-Sya’bi berkata, “Perut bumi untuk orang-orang mati kalian dan permukaannya untuk orang-orang hidup kalian.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah.8

Atas dasar fakta tersebut, maka al-ardh (bumi) juga disebut sebagai umm (ibu) karena sifatnya bisa menghimpun manusia seperti ibu yang menghimpun anak dan tanggungannya. Ketika mereka semua dihimpun di dalamnya, maka bumi itu dijadikan seolah-olah dapat menghimpun mereka.9

Menjelaskan makna ayat ini, asy-Syaukani berkata, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi untuk mengumpulkan orang-orang hidup di atas permukaan bumi dan orang-orang mati di dalam perutnya; menghimpun dan mengumpulkan mereka?”10

Kemudian Allah SWT berfirman: waja’alnâ fîhâ rawâsiyâ syâmikhât (Kami menjadikan di bumi itu gunung-gunung yang tinggi). Menurut ayat ini, Allah SWT telah menjadikan di bumi itu ada rawâsiyâ syâmikhât. Menurut para mufassir, maksudnya adalah gunung-gunung yang menjulang tinggi. Asy-Syaukani menafsirkan kata itu dengan: jibâl[an] thawâl[an] (gunung yang tinggi).11 Kata rawâsiyâ berarti tsawâbit (kokoh), sedangkan syâmikhât berarti thiwâl (tinggi). Semua yang tinggi adalah syâmikh (tinggi).12

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kami telah menjadikan di atas bumi gunung-gunung yang kokoh, kuat dan tinggi.”13

Menurut az-Zuhaili, hal itu agar bumi tidak terombang-ambing dan terguncang.14

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: wa asqaynâkum mâ‘[an] furât[an] (dan Kami memberi minum kalian dengan air tawar?). Ini merupakan kenikmatan lain yang Allah SWT anugerahkan kepada manusia. Artinya, manusia diberi minuman berupa ‘[an] furât[an] (air tawar). Menurut al-Qurthubi, al-furât adalah al-mâ‘ al-adzb (air tawar) yang diminum dan digunakan untuk menyiram tanaman.15

Menurut Fakhruddin ar-Razi, al-firât adalah yang paling segar.16

Menurut al-Qurthubi, ayat ini bermakna, “Kami telah menciptakan gunung-gunung dan menurunkan air tawar. Semua itu lebih mengagumkan daripada perihal kebangkitan.”17

Perkataan yang sama juga dikemukakan oleh Muqatil.18

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Wayl[un] yawmaidzin li al-mukadzdzibîn (Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan). Ini adalah ancaman keras dari Allah SWT kepada orang-orang mendustakan.

Menurut asy-Syaukani, al-mukadzdzibîn di sini adalah orang-orang yang mendustakan berbagai kenikmatan yang Kami karuniakan kepada mereka; termasuk yang disebutkan di atas.19

Ibnu Jarir berkata, “Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan berbagai kenikmatan yang telah Aku Karuniakan kepada kalian dari makhluk-Ku yang mengingkarinya.”20

 

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Berbagai kenikmatan yang dikaruniakan Allah SWT atas manusia. Dalam ayat sebelumnya disebutkan tentang kenikmatan pangkal atas mereka, yakni penciptaan mereka menjadi manusia. Ini bisa disebut sebagai kenikmatan pangkal karena semua kenikmatan lainnya itu tidak akan dapat dirasakan jika dirinya tidak ada. Kemudian dalam ayat ini manusia diingatkan tentang kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka. Jika kenikmatan yang disebutkan sebelumnya merupakan kenikmatan yang ada pada diri mereka, maka dalam ayat ini disebut kenikmatan yang ada di lingkungan sekitarnya.

Ada tiga kenikmatan yang disebutkan ayat ini. Kenikmatan pertama yang disebutkan adalah bumi. Menurut Fakhruddin ar-Razi, didahulukan penyebutannya karena bumi merupakan benda yang paling dekat dibandingkan benda-benda luar lainnya.21

Bumi dijadikan sebagai tempat berhimpun dan berkumpul seluruh manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Semuanya berkumpul di tempat yang sama. Bedanya, yang masih hidup tinggal di atas permukaan, sementara yang sudah meninggal berada di perut bumi. Semua itu adalah kenikmatan bagi manusia. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Sebagaimana rumah dan istana merupakan salah satu nikmat dan karunia dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, kuburan juga rahmat bagi mereka dan sebagai pelindung agar jasad mereka tidak makan oleh binatang buas dan lainnya.”22

Kenikmatan hidup di bumi ini semakin nyaman tatkala di dalam bumi itu dijadikan gunung-gunung yang kokoh dan menjulang tinggi di bumi. Dengan gunung-gunung itu, bumi tempat mereka tinggal itu tidak terguncang dan terombang-ambing. Terkait itu Allah SWT berfirman:

وَأَلۡقَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمۡ وَأَنۡهَٰرٗا وَسُبُلٗا لَّعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ

Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak guncang bersama kalian dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapat petunjuk (QS an-Nahl [16]: 15).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَجَعَلۡنَا فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِهِمۡ

Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu tidak guncang bersama mereka (QS al-Anbiya’ [21]: 31).

Dalam QS an-Naba’ [78]: 7 juga disebutkan bahwa gunung-gunung itu dijadikan sebagai pasak-pasak. Itu semua menunjukkan bahwa gunung-gunung diciptakan sebagai penstabil bumi. Dengan begitu menjadi nyamanlah manusia yang tinggal di dalamnya. Sungguh, semua itu merupakan kenikmatan yang luar biasa.

Kenikmatan yang diberikan kepada manusia semakin sempurna ketika Allah SWT juga memberikan minuman berupa air tawar. Air ini menyegarkan dan dapat menghilangkan rasa haus; juga untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia. Patut diingat, air merupakan benda yang sangat penting bagi kehidupan. Bahkan semua makhluk hidup membutuhkan air. Allah SWT berfirman:

وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ

Dari air Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup (QS al-Anbiya’ [21]: 30).

Sungguh, semua itu adalah kenikmatan besar untuk manusia. Atas semua kenikmatan tersebut, manusia diwajibkan untuk bersyukur. Mereka wajib bersyukur kepada Allah SWT yang memberikan semua kenikmatan tersebut.

Kedua: Ancaman keras kepada orang-orang yang mendustakan kenikmatan Allah SWT. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam ayat ini: Wayl[un] yawmaidz[in] li al-mukadzdzibîn (Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan).

Sebagaimana telah dipaparkan, kecelakaan besar itu akan menimpa orang-orang yang mendustakan nikmat-nikmat Allah SWT. Menurut Fakhruddin ar-Razi, hal itu karena nikmat-nikmat Allah SWT, jika semakin banyak, maka pelanggaran terhadapnya juga semakin buruk. Oleh karena itu, hak mendapatkan celaan di dunia dan hukuman di akhirat juga lebih besar.23

Tentang ancaman Allah SWT bagi orang-orang yang mendustakan kenikmatan juga disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ

(Ingatlah juga) ketika Tuhan kalian mengatakan, “Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian. Jika kalian mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah bahwa azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Dalam ayat yang mulia tersebut, Allah SWT berjanji akan menambah nikmat untuk hamba-Nya yang mensyukuri nikmat. Sebaliknya, orang yang mengingkari nikmat diancam dengan ancaman yang keras.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 133.

2        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29. (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 321.

3        As-Asfahani, al-Mufrdât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus; Dar al-Qalam, 1992), 713.

4        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 772; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 161; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 432; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 383

5        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 161.

6        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 161-162.

7        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432.

8        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 299.

9        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 773.

10      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432.

11      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162.

12      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162

13      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 135.

14      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 383.

15      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162.

16      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 773.

17      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162.

18      Al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432.

19      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432.

20      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 135.

21      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 772.

22      As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 904.

23      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 772.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 − 3 =

Back to top button