Tafsir

Azab di Dunia Bagi Orang Kafir

(Tafsir QS ‘al-Mursalat [77]: 16-19)

أَلَمۡ نُهۡلِكِ ٱلۡأَوَّلِينَ * ثُمَّ نُتۡبِعُهُمُ ٱلۡأٓخِرِينَ *  كَذَٰلِكَ نَفۡعَلُ بِٱلۡمُجۡرِمِينَ *  وَيۡلٞ يَوۡمَئِذٖ لِّلۡمُكَذِّبِينَ *

Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang dulu? Lalu Kami mengikutkan bersama mereka (dengan mengazab) orang-orang yang datang belakangan? Demikianlah Kami bertindak para pendosa. Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi para pendusta  (QS al-Mursalat [77]: 16-19).

Ayat-ayat ini menggambarkan hukuman Allah SWT kepada para pendosa semasa mereka di dunia. Menurut Fakhruddin ar-Razi, maksud dari gambaran tersebut adalah untuk menakut-nakuti orang-orang kafir dan memperingatkan mereka dari kekufuran.1

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Alam nuhliku al- awwalîn [Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang dulu]? Ayat ini diawali dengan kata tanya berupa huruf hamzah. Kalimat tanya tersebut merupakan istifhâm taqrîrî (kalimat tanya untuk menetapkan/pertanyaan retoris).2 Bentuk kalimat istihâm taqrîri tersebut berguna untuk mengokohkan kalimat setelah nafi.3 Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT benar-benar telah menimpakan azab atas orang-orang dulu.

Menurut Ahmad Mukhtar, kata halaka berarti mâta (mati); juga berarti kafara (ingkar). Frasa “AhlakalLâhu azh-zhâlimîn” berarti: ja’alahum yuhlikûn aw yamûtûn (menjadikan mereka binasa atau mati); bisa pula berarti: adzdzabahum (Dia mengazab mereka).4

Lalu siapa yang dimaksud dengan al-awwalîn dalam ayat ini? Mereka adalah orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu mulai zaman Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.5 Menurut  Abu Bakar al-Jazairi, mereka seperti kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Nabi Ibrahim dan kaum Nabi Luth hingga Nabi saw. diutus.6

Mereka semua adalah kaum yang diazab di dunia oleh Alllah SWT. Azab itu ditimpakan kepada mereka karena pengingkaran dan penentangan mereka terhadap rasul-rasul yang diutus kepada mereka beserta ajaran yang dibawanya. Al-Khazin berkata, “Merka adalah umat-umat yang lalu (dibinasakan) dengan azab di dunia) ketika mereka mendustakan rasul-rasul mereka.7

Ibnu Katsir juga berkata, “Mereka adalah orang-orang yang mendustakan para rasul serta menentang apa yang disampaikan oleh rasul-rasul tersebut.”8

Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Bukankah Kami telah membinasakan umat-umat terdahulu yang mendustakan para rasul-Ku dan mengingkari ayat-ayat-Ku dari kalangan kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud?”9

Kemudian Allah SWT berfirman: Tsumma nuthbi’uhum al-âkhirîn (Lalu Kami mengikutkan bersama mereka [dengan mengazab] orang-orang yang datang belakangan)?

Menurut ayat ini, Allah SWT juga menimpakan azab kepada umat-umat sesudah mereka. Dalam ayat ini disebut: al-âkhirîn. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, mereka adalah kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth dan penduduk Madyan. Semua kaum tersebut diazab sebagaimana kaum-kaum terdahulu.10 Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh az-Zamakhsyari, al-Alusi dan al-Alusi.11

Menurut al-Alusi, penduduk kafir Makkah tidak termasuk di dalamnya karena mereka baru dihancurkan setelah kaum-kaum tersebut.12

Namun demikian, menurut Abu Bakar al-Jazairi kaum tersebut termasuk dalam al-awwalîn (kaum terdahulu), sedangkan al-âkhirîn adalah tokoh-tokoh kafir Makkah. Dia berkata, “Sungguh Dia telah membinasakan para gembong pendosa dari kalangan Quraisy pada Perang Badar.”13

Ibnu Juzyi juga berkata, “Maksudnya, Quraisy dan lainnya yang mengingkari Nabi Muhammad saw.”14

Kaum yang datang belakangan itu diazab karena mereka menempuh jalan yang sama dengan para pendahulunya, yakni mundustakan para rasul beserta ajaran mereka. Menurut Fakhruddin ar-Razi, “Sungguh Dia telah mengazab kaum kafir terdahulu karena kekufuran mereka. Ketika kekufuran itu juga terjadi pada orang-orang yang datang belakangan, mereka pun diazab.”15

Al-Khazin juga berkata, “Maksudnya, orang-orang yang menempuh jalan orang-orang sebelum mereka dalam kekufuran dan pendustaan. Mereka itu adalah Quraisy. Artinya, Kami pun mengazab mereka karena pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.”16

Menurut Syihabuddin al-Alusi, ini merupakan wa’îd (ancaman) kepada penduduk Makkah dan berita tentang apa yang akan terjadi setelah hijrah. Seolah-olah dikatakan, “Kami pun telah menindak orang-orang belakangan yang seperti mereka (orang-orang terdahulu) sebagaimana Kami telah Kami menindak orang-orang terdahulu. Kami memperlakukan mereka sesuai dengan jalan mereka. Sebabnya, mereka telah mendustakan seperti pendustaan orang-orang sebelum mereka.”17

Kemudian Allah SWT berfirman: Kadzâlika naf’alu li bi al-mujrimîn (Demikianlah Kami bertindak terhadap para pendosa). Ayat ini menegaskan bahwa mereka semua itu mendapatkan azab dari Allah SWT karena sebab yang sama, yakni karena dosa yang mereka lakukan. Mereka sama-sama mujrimîn (para pendosa). Al-Khazin berkata, “Sungguh Kami bertindak terhadap mereka karena keberadaan mereka yang menjadi mujrimîn (para pendosa atau pelaku kejahatan).”18 

Secara bahasa, kata al-jarm berarti al-qath’ (memotong).19 Kata tersebut kemudian mengalami perkembangan sehingga kalimat: Jarama asyh-syakhshu berarti: adznaba wa aktsaba al-itsm (seseorang telah berdosa dan mendapatkan dosa).20

Perbuatan dosa besar yang mereka lakukan adalah pengingkaran dan pendustaan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Sebagaimana Kami telah membinasa-kan mereka karena kekufuran mereka kepada-Ku dan pendustaan mereka terhadap Rasul-Ku, maka sunnah-Ku yang berlaku kepada orang-orang kafir dulu seperti mereka. Demikian pula Kami membinasakan orang-orang jahat akibat kejahatan mereka ketika melampaui batas dan berlaku lalim.”21

Ini merupakan ancaman keras kepada penduduk Makkah.22 Bahkan menurut Ibnu Athiyah, ayat ini mengandung makna mustqabal (masa yang yang akan datang) sehingga tercakup di dalamnya Quraisy dan orang-orang kafir lainnya.23

Siapa pun yang menempuh jalan yang sama, yakni mendustakan para rasul-Nya dan mengingkari-ayat-Nya, artinya semua orang yang tercakup dalam al-mujrmîn akan mendapatkan perlakuan yang sama. Al-Zamakhsyari berkata, “Demikianlah, tindakan keras itulah yang akan Kami lakukan kepada semua orang yang berbuat dosa.”24

Menurut Ibnu Juzyi, mereka adalah orang-orang kafir.25

Abu Bakar al-Jazairi juga berkata, “Ini merupakan ancaman yang jelas dan benar. Demi Allah, sungguh Dia telah membinasakan para pendosa dan tidak ada seorang pun dari  mereka yang selamat.”26

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Wayl[un] yahm’idz[in] li al-mukadzdzibîn (Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi para pendusta). Ayat ini kembali menegaskan bahwa kecelakaan besar akan diterima oleh para pendusta, yakni yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT dan para nabi-Nya.27

Mengenai penyebutan yang sama dengan ayat sebelumnya (yakni ayat 15), setidaknya ada dua pendapat. Pertama ini merupakan takrîr (pengulangan) dari ayat sebelumnya. Gunanya untuk memberikan makna ta’kîd (penegasan).28

Kedua, ini bukan pengulangan. Keduanya memiliki penunjukan yang berbeda. Jika kata wayl (kecelakaan) pada ayat sebelumnya merupakan azab di akhirat, sedangkan pada ayat ini merupakan azab dunia.29 

 

Beberapa Pelajaran Penting

Ayat-ayat ini mengandung banyak pelajaran. Pertama: Mengenai al-mujrimûn. Semua pelaku perbuatan dosa yang tidak mau bertaubat termasuk dalam cakupan istilah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang mendustakan dan mengingkari para rasul Allah SWT. Patut diingat, tidak semua al-mujrim (pendosa) adalah orang kafir. Sebaliknya, semua orang kafir adalah al-mujrimûn. Bahkan dalam beberapa ayat, kata ini digunakan untuk menyebut orang-orang kafir (Lihat, misalnya, QS al-Jatsiyah [45]: 31).

Di dalam ayat lainnya, ada beberapa kaum terdahulu yang secara jelas disebut sebagai mujrimûn. Di antaranya adalah Fir’aun dan para pemuka kaumnya. Mereka telah menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya (Lihat: QS Yunus [10]: 75). Alllah SWT juga menceritakan bahwa Nabi Musa menyebut kaumnya sebagai mujrimûn (Lihat: QS al-Dukhan  [110]: 35). Sebutan mujrimûn juga disematkan kepada kaum Nabi Nuh as. (QS Hud [11]: 35) dan kaum Ad yang merupakan kaum Nabi Hud as. (Lihat: QS Hud [11]: 52).

Kedua: Hukuman bagi al-mujrimûn. Terdapat banyak yang memberitakan tentang azab terhadap mereka di akhirat (Lihat, misalnya, QS Thaha [20]: 74; QS Maryam [19]: 86).

Dalam ayat ini dikabarkan bahwa Allah SWT tidak hanya menimpakan azab kepada mereka di akhirat, namun juga di dunia. Firman Allah SWT “Alam nuhlika al-awwalîn, tsumma nutbi’uhum al-âakhirîn,” sebagaimana diterangkan para mufassir, memberitakan adanya azab di dunia. Beberapa kaum yang disebutkan para mufassir tersebut memang benar-benar telah ditimpa azab ketika di dunia.

Azab di dunia kepada mereka juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS ar-Rum [30]: 47).

Diberitakan pula beberapa jenis azab yang ditimpakan atas mujrimûn dari kalangan kaum yang terdahulu. Kaum Nabi Nuh as. ditenggelamkan dengan banjir yang melanda mereka (QS al-Ankabut [29]: 14). Kaum ‘Ad yang mendustakan Nabi Hud as. ditimpa angin yang dahsyat disertai dengan bunyi gemuruh yang menggelegar sehingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS al-Taubah [9]: 70, al-Qamar [54]: 18, Fushshilat [41]: 13 dan an-Najm [53]: 50). Kaum Tsamud yang mengingkari Nabi Shalih dan membunuh unta betina juga ditimpa azab yang membinasakan mereka (QS al-Hijr []: 80, Huud [11]: 68 dan Qaf []: 12).

Kaum Nabi Luth yang terkenal dengan perilaku sodomi sesama jenis ditimpa azab berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga rumah-rumah mereka hancur. Mereka pun tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS asy-Syu’ara []: 160, an-Naml []: 54, al-Hijr []: 67, al-Furqan [25]: 38 dan Qaf []: 12).

Penduduk Madyan, kaum Nabi Syuaib, ditimpa azab berupa hawa yang sangat panas. Akhirnya, mereka pun binasa (lihat QS at-Taubah [9]: 70, al-Hijr [15]: 78, Thaha [20]: 40 dan al-Hajj [22]: 44).

Firaun beserta balatentaranya dibinasakan di Laut Merah ketika mengejar Nabi Musa dan kaumnya (QS al-Baqarah [2]: 50 dan Yunus [10]: 92).

Selain mereka masih ada kaum-kaum lainnya yang ditimpa azab di dunia.

Semua itu menunjukkan secara jelas bahwa orang-oraang kafir yang berani menentang Allah SWT dan rasul-Nya itu binasa setelah menerima azab di dunia.

Ketiga: Ancaman keras kepada siapapun yang mengikuti jalan al-mujrimûn. Firman Allah SWT “Kadzâlika naf’alu bi al-mujrimîn” memberikan penegasan bahwa begitulah sunnatullah yang diberlakukan kepada para pendosa. Ini artinya, jika mereka melakukan hal yang sama, yakni mendustakan Rasulullah saw beserta ajaran yang beliau bawa, mereka pun akan mendapatkan azab serupa.

Oleh karena itu, hendaklan kaum yang hidup sesudah mereka menjadikan azab yang menimpa para pelaku dosa sebelumnya sebagai pelajaran penting (Lihat: QS an-Naml [27]: 69).

Jika mereka mendustakan Rasulullah saw. maka mereka akan mengalami nasib yang sama (Lihat: QSal-Hajj [22]: 42-44).

Orang yang menggunakan akalnya semestinya segera sadar bahwa dia adalah makhluk yang lemah. Sekuat apa pun dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah SWT, Pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya. Ketika Dia berkehendak untuk menimpakan azab atas suatu kaum, tak seorang pun bisa mencegah dan menghalanginya. Karena itu sebelum azab itu datang, dia harus segera bertobat dan menempuh jalan orang-orang bertakwa. Dengan begitu, dia akan memperoleh keselamatan dan kesuksesan sebagaimana diberitakan dalam ayat lainnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 770

2        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 318

3        Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qur‘ân, vol. 15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 14

4        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 3 (Beirut: ‘ALam al-Kutub, 20018) ), 2358

5        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 159

6        Al-Jazairi, Aisar al-Tafâsîr,  vol. 5 (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 494

7        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-;Ilmiyyah, 1995), 383

8        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 298

9        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 129. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 679; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (BeirutL Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1998) , 275

10      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 129

11      Az-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4, 679; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 192

12      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 192

13      Al-Jazairi, Aisar al-Tafâsîr,  vol. 5, 494

14      Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, 1996). 442.

15      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 770

16      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 383

17      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 192

18      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 383

19      Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab,vol. 12 (BeirutL Dar Shadir, tt), 30

20      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 3, 365

21      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 131

22      Az-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4, 679

23      Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 418

24      Az-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4, 679. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 275

25      Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 442

26      Al-Jazairi, Aisar al-Tafâsîr,  vol. 5, 494

27      Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 275; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 318

28      Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 418. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 318

29      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 383; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 275. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 318

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 + 5 =

Back to top button