
Al-Bayân dan al-Mubayyan
Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) menyatakan di Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi: Al-bayân secara bahasa merupakan isim mashdar dari bayyana jika uzhhira (ditampakkan). Dikatakan bayyana bayânan wa tibyânan seperti kallama yukallimu kalâman wa taklîman. Ibnu al-Furak mengatakan di kitabnya: al-bayân adalah musytaq (turunan) dari al-baynu dan itu adalah al-firâq (perpisahan). Al-bayân disamakan dengannya sebab al-bayân menjelaskan sesuatu dan menghilangkan ketidakjelasannya. Abu Bakar ar-Razi berkata: disebut bayânan karena terpisahnya dari makna-makna yang samar/kabur dan tidak jelas karenanya.
Adapun secara istilah, para ulama khususnya ulama ushul berbeda pendapat tentang batasan atau pengertian al-bayân. Imam al-Ghazali (w. 505 H) di dalam al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl menjelaskan: “Ketahuilah bahwa al-bayân adalah ungkapan tentang perkara yang berkaitan dengan at-ta’rîf (pengenalan) dan al-i’lâm (pemberitahuan), dan melainkan al-i’lâm itu terjadi dengan dalil, dan dalil itu menghasilkan ilmu (pengetahuan). Jadi di sini ada tiga hal: i’lâmun (pemberitahuan), dalil yang dengannya terjadi pemberitahuan dan pengetahuan yang diperoleh dari dalil. Diantara orang ada yang menjadikannya ungkapan tentang pengenalan (at-ta’rîf), ia berkata tentang batasannya: bahwa al-bayân adalah ikhrâju asy-syay`i min hayyizi al-isykâl ilâ hayyizi at-tajalliy -mengeluarkan sesuatu dari daerah samar (tidak jelas) ke daerah jelas-. Dan diantara mereka orang yang menjadikannya ungkapan tentang apa yang dengannya tercapai pengetahuan dalam apa yang memerlukan pengetahuan, yang saya maksudkan adalah perkara yang bukan dharûriy, dan itu adalah ad-dalîl. Ia berkata tentang batasannya: bahwa al-bayân adalah dalil, yang dengan shahihnya penalaran padanya mengantarkan kepada pengetahuan dengan apa yang didalilinya, dan itu adalah pilihan al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqilani). Dan dari mereka ada yang menjadikannya ungkapan tentang pengetahuan itu sendiri dan itu adalah kejelasan sesuatu, seolah menurutnya al-bayân dan at-tabayyun adalah sama”.
Imam al-Amidi (w. 631 H) di al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm setelah memaparkan seperti pemaparan imam al-Ghazali kemudian menyatakan: Abu Bakar ash-Shayrafiy —termasuk ashhab asy-syafi’iy— dan lainnya mengatakan: al-bayân adalah at-ta’rîf (pengenalan), dan diungkapkan bahwa al-bayân huwa ikhrâju asy-syay‘i ‘an hayyizi al-isykâli ilâ hayyizi al-wudhûh wa at-tajalliy (al-bayân adalah mengeluarkan sesuatu dari daerah kesamaran ke daerah kejelasan dan kegamblangan). Dan Abu Abdillah al-Bashriy dan lainnya berpendapat bahwa al-bayân adalah pengetahuan yang diperoleh dari dalil. Dan al-Qadhi Abu Bakar (al-Baqilaniy), al-Ghazali, dan mayoritas ashhab kami dan mayoritas muktazilah seperti al-Juba‘iy, Abu Hasyim dan Abu al-Husain al-Bashriy dan selain mereka berpendapat bahwa al-bayân adalah ad-dalîl, dan itu yang terpilih.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) menyatakan di Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir, “dan diperselisihkan tentang al-bayân. Dikatakan (pertama): al-bayân adalah dalil, dan itu adalah apa yang dengan shahihnya penalaran padanya sampai ke ‘ilmu (keyakinan) atau zhann (dugaan kuat). Dan dikatakan (kedua): al-bayân adalah mengeluarkan sesuatu dari daerah kesamaran ke daerah kejelasan. Dan dikatakan (ketiga): al-bayân adalah apa yang menunjukkan yang diinginkan dengan apa yang independen dalam dalâlah atas yang diinginkan tersebut. Dan dikatakan, dua batasan ini (kedua dan ketiga) khusus dengan al-mujmal”.
Ketiga batasan itu belum menyeluruh dan masih kurang. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa, “batasan al-bayân adalah mengeluarkan sesuatu dari daerah ketidakjelasan ke daerah kejelasan, itu adalah satu bentuk dari al-bayân dan itu bayân al-mujmal saja…. Betul semua yang tidak memberi faedah ilmu atau zhann yang zhâhir maka itu adalah mujmal dan bukan bayân, melainkan dia memerlukan al-bayân”.
Sementara dalil sendiri ada yang mujmal, dan itu jelas bukan al-bayân. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari penjelasan dalil baik al-‘ilmu (yakin) atau azh-zhann (dugaan kuat) maka itu adalah hasilnya.
Jadi seperti dikatakan oleh al-‘Abdari yang dikutip oleh az-Zarkasyi, bahwa yang shawâb bahwa al-bayân merupakan gabungan dari ketiga batasan itu. Hanya saja, yang menjadi pokoknya adalah dalil, yakni dalil yang telah jelas dalâlah atau maknanya, sehingga dapat memberi penjelasan atas kesamaran atau ketidakjelasan dalil lainnya dan menghasilkan al-‘ilmu (keyakinan) atau dugaan kuat atas dalâlah atau maknanya.
Hanya saja yang menjadi pokok pembahasan adalah tentang dalil yang al-mujmal dan penjelasan untuk al-mujmal. Pembahasan ini sangat diperlukan sebab dalil al-mujmal itu, karena ketidakjelasan dalâlah-nya atau karena mengandung lebih dari satu dalâlah atau makna dan tidak ada keistimewaan yang satu atas yang lain, maka beramal dengan dalil yang al-mujmal itu tidak dapat dilakukan. Padahal asal pada dalil itu adalah diamalkan, bukan diabaikan. Di situlah perlu pembahasan tentang batasan dalil-dalil yang menjelaskan dalil-dalil yang al-mujmal. Dan dalil-dalil seperti itu dalam istilah para ulama ushul disebut sebagai al-bayân.
Dalam hal ini al-‘allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz 3: Firman Allah SWT [ وَأَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ ] dan dirikanlah shalat– adalah mujmal. Dan apa yang diriwayatkan dari Rasul saw bahwa Beliau mengenalkan shalat dengan perbuatan Beliau yang mana Beliau bersabda: « صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوءنِيْ أُصَلِّيْ » –Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat– (HR al-Bukhari) merupakan penjelasan (bayân) untuk mujmal ini. Dan firman Allah SWT [ وَءَاتُوْا الزَّكَاةَ ] Dan tunaikanlah zakat– adalah mujmal. Dan apa yang dinyatakan dalam hadis-hadis Rasulullah saw seputar zakat jenis-jenis yang dizakati adalah penjelasan untuk mujmal tersebut. Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah pemilik emas dan tidak pula pemilik perak yang tidak menunaikan haknya kecuali jika Hari Kiamat dilapisi dengan lapisan dari api neraka” (HR Muslim).
Dan surat yang ditulis oleh Abu Bakar ra. untuk Anas ra. ketika mengutusnya ke Bahrain:
“Ini adalah kefardhuan zakat yang difardhukan oleh Rasulullah saw terhadap kaum Muslim dan yang diperintahkan Allah SWT kepada Rasulullah saw … -kemudian ia menjelaskan zakat unta-“ (HR al-Bukhari)…..
Dan apa yang ada di hadis Abu Burdah dari Abu Musa ra. dan Mu’adz bin Jabal ra.:
“Rasulullah saw mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan manusia perkara agama mereka, maka Beliau memerintahkan mereka agar mereka tidak mengambil zakat kecuali ari empat jenis ini: gandum, jelay, kurma dan kismis” (HR al-Hakim dan ia menshahihkannya).
Semua ini merupakan penjelasan untuk mujmal tersebut. Atas dasar itu al-bayân adalah dalil yang menjelaskan al-mujmal”, demikian penjelasan al-‘allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Dengan demikian, al-bayân adalah dalil yang telah jelas dalâlah atau maknanya, yang menjelaskan dalil yang al-mujmal.
Al-Mubayyan
Imam al-Amidi (w. 631 H) di al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dan al-‘allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz 3 menyatakan: “Adapun al-Mubayyan, maka yang dimaksudkan adalah seruan sejak awal yang sudah mencukupi dengan dirinya sendiri tidak membutuhkan penjelasan. Dan kadang yang dimaksudkan adalah apa yang memerlukan penjelasan dan penjelasannya telah dinyatakan atasnya. Hal itu seperti lafal al-mujmal jika telah dijelaskan yang diinginkan darinya, lafal umum setelah takhshîsh, lafal mutlak setelah taqyîd dan fi’il jika dikaitkan dengannya apa yang menunjukkan arah yang dimaksudkan, dan lainnya”.
Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) menjelaskan di Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi: Al-mubayyan disebutkan atas seruan yang memerlukan penjelasan dan penjelasannya telah didinyatakan atasnya. Dan juga disebutkan untuk seruan sejak awal yang mencukupi tidak memerlukan penjelasan. Dan itu kadang menunjukkan menurut ketetapan bahasa dan itu adalah an-nashshu dan azh-zhâhir atau menurut makna seperti al-mafhûm dan apa yang ditunjukkan oleh nas melalui penetapan ‘illat semisal « إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْنَ » atau melalui akal semisal: perintah dengan sesuatu merupakan perintah dengan apa yang perintah itu tidak sempurna kecuali dengannya. Dan dalil yang dengannya tercapai penjelasan disebut mutsbitun.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan al-mubayyan adalah dalil yang sudah mubayyan (dijelaskan) sejak awal, yakni sejak awal sudah jelas dalâlah atau maknanya, sehingga tidak perlu penjelasan. Dan dalil demikian adalah al-bayân. Dan al-mubayyan juga adalah dalil yang al-mujmal yang dijelaskan oleh dalil yang al-bayân.
Wallâh a’lam wa ahkam. [ ]