
Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680) (Bagian Kedua Belas – Selesai)
Perang Segitiga yang berkepanjangan antara Banten, Mataram, dan VOC membuat penduduk Bogor ikut larut dalam perang dan mengalami mobilisasi ke berbagai medan tempur. Tikaman kepada Banten diluncurkan oleh VOC. VOC memanfaatkan dualisme kepemimpinan Banten antara Sultan Sepuh (Sultan Ageung Tirtayasa) dan Sultan Anom (Sultan Haji ’Abdul Qahhâr). Pada akhirnya, VOC dapat memanfaatkan Sultan Haji, hingga Sultan Ageung Tirtayasa dapat dikalahkan pada tahun 1683. Sultan Haji menjadi penguasa Banten yang diayomi VOC dan menitahkan penarikan seluruh pasukan Banten dari daerah Priangan. Setahun berikutnya, 1684, VOC mengajak Sultan Haji menandatangani perjanjian yang menjadikan Sungai Cisadane sebagai garis pemisah teritorial Batavia dan Banten. Pengertian “Cisadane” yang berarti batang sungai tersebut dari hulu ke hilir dibajak pula oleh VOC, meluas menjadi “termasuk anak-anak sungainya”. Dengan demikian Gunung Salak yang harusnya masuk wilayah Banten jadi tergolong wilayah VOC. Karena lemah, Sultan Haji tentu terpaksa mengalah.1
Tiga tahun setelah Sultan Ageung Tirtayasa dikalahkan, barulah VOC dapat menjalarkan tentakel kekuasaannya ke pedalaman Batavia arah selatan: Bogor. VOC mengirim Scipio (1687) untuk memimpin ekspedisi ke hulu Cisadane untuk membuka perladangan baru. Ekspedisi-ekspedisi berikutnya dilanjutkan oleh Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709). Letnan Tanujiwa, seorang Sumedang loyalis VOC yang menemani ekspedisi pertama Scipio ke Bogor, diangkat menjadi bupati pertama Kampung Baru; dengan penggabungan sembilan kampung di bawah satu administrasi “Regentschaap Kampoeng Baroe”, yakni: Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru. Lama-kelamaan wilayah ini diubah namanya oleh Belanda menjadi “Regentschaap Buitenzorg”.106
Makin populerlah “Buitenzorg” sejak Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan villa peristirahatannya di kota ini.
Sejak saat itulah, wajah “Bogor” selalu identik dengan pusat kolonialisme beserta infrastruktur-infrastruktur yang penjajah bangun di atasnya. Kedatangan pertama Scipio ke bekas Ibukota Pajajaran dianggap sebagai penghidupan kembali Kota Bogor setelah dianggap “mati” pasca-Pajajaran sirna. Banyak kalangan menganggap futûhât Pakuan oleh Maulana Yusuf pada 1579 menyebabkan Bogor mengalami masa tilem (tenggelam) selama satu abad. Bagi saya, itu hanya anggapan sementara saja. Sebabnya, sumber sejarah Bogor pada masa Islam belum (bukan tidak) banyak ditemukan. Penelitian harus lebih banyak dilakukan untuk ke depannya.
Lagipula, jika kita amati keislaman masyarakat Bogor hari ini yang kian menguat, pastilah itu karena “di nu kiwari ngancik nu bihari” –kata quotes yang dipampang di Lawang Salapan depan Tugu Kujang, “apa yang dinikmati masa sekarang adalah hasil pekerjaan orang terdahulu.”
Kita tak bisa membayângkan kalau pasukan Islam tidak datang menghadang Surawisesa yang mau bekerjasama dengan Portugis. Jika mereka tidak ada, mungkin Bogor akan satu abad lebih dulu mengalami penjajahan sebelum datangnya Belanda. Juga jika Islam tidak dibawa ke Pakuan dengan kekuatan kaum Muslim pimpinan Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf, Bogor mungkin tidak akan seberkah hari ini dengan keberadaan para ulamanya. Mereka menjadikan Bogor sebagai kota dakwah di jalan Allah. []
Lampiran daftar penguasa Pajajaran dan Banten.
Catatan kaki:
- Saleh Danasasmita, Mencari Gerbang Pakuan, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2014), 21-22. 106 Mumuh Muhzin Z., Kota Bogor, 58-59.