Peradilan Anti Suap (Nasihat Khalifah Umar bin Khatthab ra. kepada Para Hakimnya)(Bagian 2)
Bagaimana Islam memberikan panduan Islam bagi para penegak hukum, khususnya para hakim ketika melaksanakan peradilan, agar tercipta keadilan bagi semua?
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al-Khathab karya Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, diceritakan bahwa Khalifah Umar ra. pernah memberikan pesan-pesan khusus sebagai panduan bagi para hakim ketika melaksanakan peradilan. Pesan pertama kepada para hakim adalah agar untuk ikhlas menjalankan posisi seorang hakim hanya untuk Allah semata. Khalifah Umar ra. pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang berbunyi, “Orang yang memutuskan perkara dengan benar, Allah akan membaIas dia di akhirat. Siapa yang ikhlas dalam memutuskan perkara—walaupun keputusan tersebut merugikan dirinya sendiri—Allah akan membalas dia. Siapa saja yang berpura-pura melakukan kebenaran, Allah akan melaknat dia. Allah tidak akan menerima suatu amalan, kecuali jika ikhlas dalam melakukannya. Kamu tidak mungkin mendapatkan pahala, rezeki dan rahmat dari selain Allah.”1
Al-Faruk ingin memastikan bahwa dimensi bekerja seorang hakim dalam memberikan pelayanan peradilan bukan karena semata gaji dan jabatan/karir. Lebih dari itu, yakni surga dan neraka. Ketika seorang hakim bekerja ikhlas karena Allah walau apa yang diputuskan digambarkan sampai merugikan dirinya sendiri, Allah memberi dia balasan terbaik kelak di akhirat. Sungguh, balasan terbaik adalah di akhirat, yakni surga. Namun, jika sebaliknya maka justru celaan yang diberikan oleh Allah. Bahkan Allah sampai menyatakan, jika tidak ikhlas maka rahmat bahkan pahala tidak akan didapatkan sama sekali oleh para hakim. Sungguh merugi.
Kedua: Memahami permasalahan. Sebelum memutuskan perkara, seorang hakim harus terlebih dulu mempelajari perkara tersebut dengan saksama. Oleh karena itu, hakim tidak boleh memutuskan perkara sebelum mempelajarinya. Khalifah Umar ra. menulis surat kepada Abu Musa AI-Asy’ari yang berbunyi, “Pahamilah suatu perkara dengan seksama ketika ada orang yang mengadukan permasalahan kepadamu.”
Setelah menerima surat tersebut, Abu Musa berkata, “Tidak sepantasnya seorang hakim memutuskan suatu perkara sebelum dia mengetahui yang sebenarnya, seperti dia mengetahui perbedaan antara malam dan siang.”
Ketika ucapan ini sampai ke telinga Khalifah Umar, dia berkomentar, “Benar sekali apa yang diucapkan oleh Abu Musa.” 2
Ketiga: Memutuskan hukum sesuai dengan syariah Islam. Seorang hakim harus memutuskan suatu perkara menurut syariah Islam, baik yang bersengketa itu orang Islam atau bukan. Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa ada seorang perempuan Yahudi menghadap Khalifah Umar ra. dan berkata, “Sungguh anak lelakiku telah meninggal dunia, sedangkan orang Yahudi mengklaim bahwa aku tidak berhak mendapatkan warisan.”
Khalifah Umar ra. kemudian memanggil orang-orang Yahudi dan bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian tidak memberikan hak warisan kepada dia?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapatkan hukum tersebut dalam kitab kami.” “Termasuk di dalam Taurat?” tanya Umar. Mereka menjawab, “Kami mendapatkan hukum tersebut dari kitab Al-Musynah.” Umar bertanya, “Apa itu kitab Musynah?” Mereka menjawab, “Kitab Musynah adalah kitab yang ditulis oleh para ulama dan orang orang bijaksana.” Mendengar jawaban ini, Umar langsung memaki-maki mereka kemudian berkata, “Pergilah kaIian dan berikanlah hak warisan kepada dia.”3
Ini megaskan bahwa peradilan harus berdasarkan pada syariah Islam. Implementasi syariah Islam dalam peradilan bukan hanya sebatas manifestasi keimanan semata, namun juga karena penerapan syariah Islam dalam peradilan bisa mewujudkan keadailan secara nyata bagi semua.
Keempat: Selalu bermusyawarah jika menjumpai permasalahan. Khalifah Umar ra. pernah menulis surat kepada salah seorang hakim yang berisi, “Bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah Yang Mahatinggi dan Mahaluhur.”4
Khalifah Umar ra. juga menulis surat kepada Hakim Syuraih yang berisi, “Mintalah pertimbangan kepadaku jika kamu menginginkannya. Jika demikian maka saya akan memberikan pertimbangan kepadamu.”5
Khalifah Umar bin al-Khathab ra. adalah orang yang sering melakukan musyawarah. Menurut Asy-Sya’bi, “Siapa yang menginginkan untuk mengambil dokumen peradilan, ambillah dari putusan Umar bin al-Khaththab. Dia adalah orang yang selalu melakukan musyawarah.”6
Kelima: Menganggap pihak yang sedang bermasalah kedudukannya sama. Umar Al-Faruq menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Berlakulah sama kepada setiap orang dalam menerapkan keadilan agar orang yang terhormat tidak mengharapkan kezalimanmu dan orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu.”
Dalam surat yang lain Khalifah Umar menulis, “Dalam menerapkan keadilan, anggaplah semua orang sama di hadapanmu baik orang yang dekat atau yang jauh.”
Suatu saat Ubay bin Kaab dan Umar bin al-Khathab berselisih tentang suatu pagar. Mereka berdua kemudian mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai penengah atas permasalahan itu. Setelah keduanya sampai di rumah Zaid bin Tsabit, Umar berkata kepadanya, “Kami datang ke sini agar kamu bersedia menjadi penengah dari permasalahan di antara kami.”
Zaid kemudian turun dari atas kasurnya. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Zaid bin Tsabit memberikan bantal kepada Umar bin Khathab. Zaid berkata, “Duduklah di sini, Amirul Mukminin.” Akan tetapi, Umar bin al-Khathab justru berkata kepadanya, “Sejak awal putusan engkau telah berbuat menyeleweng, wahai Zaid. Akan tetapi (yang benar), dudukkanlah aku bersama orang yang bersengketa denganku.”
Khalifah Umar bin al-Khaththab dan Ubay bin Kaab kemudian duduk di hadapan Zaid bin Tsabit.7
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, seorang khalifah di mata hukum sama kedudukannya dengan masyarakat yang lain. Tidak ada pelayanan khusus apalagi perlakuan khusus. Jika bersalah maka akan diputuskan bersalah.
Keenam: Memberi semangat kepada yang lemah. Hal ini bertujuan agar orang yang lemah tidak merasa takut dan berani mengungkapkan permasalahannya. Khalifah Umar bin al-Khathab menulis surat kepada Muawiyah, “Dekatilah orang yang lemah sehingga dia tidak merasa takut dan berani berbicara.”8
Sejatinya, keberhasilan pengungkapan kebenaran dalam peradilan adalah adanya jaminan bagi yang lemah mengungkapkan fakta sebenarnya tanpa ada tekanan, intimidasi dan rekayasa kasus dari pihak manapun. Dengan demikian kebenaran terkuak dengan terang.
Ketujuh: Memutuskan perkara orang asing dengan segera. Menjamin hak-haknya dan memberikan nafkah kepada keluarganya. Khalifah Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Ubaidah, “Bersegeralah menyele-saikan perkara orang asing. Jika terlalu lama ditahan dan keluarganya jauh dari dia maka dia akan pulang karena meninggalkan tanggung jawab. Seorang hakim dianggap telah mengabaikan haknya jika tidak bersegera dalam menyelesaikan perkaranya.”9
Kedelapan: Lapang dada. Khalifah Umar al-Faruq ra. menulis surat kepada Abu Musa yang berisi, “Ketika kalian bermusuhan, jauhilah perilaku kasar, marah, emosional dan menyakiti orang. Jika seorang hakim memiliki sifat-sifat ini maka janganlah memutuskan perkara sampai sifat-sifat ini menjauh dari dia. Supaya keputusan hukum tidak dipengaruhi oleh keadaan jiwa seseorang.”
Khalifah Umar juga menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Jangnlah kamu memutuskan hukum ketika sedang marah.” 10
Hakim Syuraih bercerita, “Ketika Umar bin al-Khaththab mengangkatku sebagai hakim, Dia mensyaratkan kepadaku agar tidak memutuskan suatu perkara ketika sedang marah.”
Di antara hal-hal yang menyebabkan pandangan yang sempit dan kadang-kadang tergesa-gesa dalam memutuskan perkara adalah rasa lapar, haus dan lain-lain. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab berkata, “Janganlah seorang hakim memutuskan suatu perkara kecuali dalam keadaan kenyang dan tidak puas.” 11
Kesembilan: Menjauhi hal-hal yang dapat mempengaruhi keputusan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hakim dalam memutuskan sebuah perkara adalah suap, memperjualbelikan hukum dan lain-lain. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab melarang para hakim untuk rnempraktikkan dagang, mengadakan transaksi di pasar, menerima hadiah dan suap. Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Janganlah kamu menjual, membeli, melakukan suap-menyuap dalam hukum.”
Syuraih berkata, “Ketika Umar bin aI-Khaththab mengangkatku sebagai hakim, Dia mensyaratkan agar aku tidak menjual, membeli dan menerima suap.”
Khalifah Umar berkata, “Jauhilah diri kalian dari suap dan memutuskan hukum dengan hawa nafsu.”12
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
- Ibnu Qayyim, I’lam Al-Muwaqqi’in, I/85
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin al-Khaththab, 725
- Ibid, hlm. 725
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin al-Khaththab, hlm. 725 Sunan al-Baihaqi, X/112
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin AI-Khaththab, hlm. 725 dan Sunan al-Baihaqi, X/110
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin AI-Khaththab, hlm. 725 dan Sunan al-Baihaqi, X/109
- At-Tawtsiq fi Sirah wa Hayah al-Faruq, hlm, 259
- Majmu’u al-Watsa’iq as-Siyasiyah, 438.
- Ibid, hlm. 438.
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin aI-Khaththab, hlm. 726 dan Al Mughni, IX/79
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin aI-Khaththab, hlm. 726 dan Sunan al-Baihaqi, X/106.
- Mawsu’ah Fiqhi Umar bin aI-Khaththab, hlm. 727