
Akidah Ruhiyah dan Akidah Siyasiyah
Mengapa banyaknya kajian tentang akidah, termasuk perdebatannya, tidak memberikan efek riil pada kemajuan kehidupan umat Islam di dunia saat ini. Padahal dulu Nabi saw. dan para Sahabat ra., dengan akidah Islam, mampu bangkit dan membawa umat kepada ketinggian akhlak dan peradaban? Imam Malik r.h. sampai pernah berkata:
Generasi umat yang akhir ini tidak bisa diperbaiki kecuali dengan apa yang telah memperbaiki generasi umat yang awal.1
Di antara hal yang menjadikan ‘mandul’nya kajian-kajian akidah adalah karena lebih fokus pada satu sisi saja dalam kajiannya, sembari mengabaikan sisi lainnya. Tulisan ini akan membahas kedua sisi itu.
Akidah Ruhiyah dan Akidah Siyasiyah
Akidah dalam makna umum adalah keyakinan yang bersifat pasti menurut pemeluknya atas setiap pemikiran yang dijadikan sebagai landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya, baik keyakinan tersebut benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai dengan realitas. Dari sisi content, akidah berisi pemikiran (fikrah) menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudahnya; serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudahnya.2
Dengan kata lain, akidah membahas tiga dimensi waktu: sebelum adanya dunia, dunia, dan pasca hancurnya dunia, serta hubungan ketiganya.
Dari akidah ini, terpancar pemikiran dan hukum-hukum. Pemikiran dan hukum-hukum yang terpancar dari akidah ini yang berkaitan dengan masalah akhirat (seperti tentang kiamat, pahala, siksa, surga, neraka) atau berkaitan dengan pengaturan urusan akhirat (seperti ibadah, nasihat untuk takut kepada adzab dan mengharap pahala dari Allah) diklasifikasikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan sebutan akidah rûhiyyah. Kemudian beliau melanjutkan bahwa pemikiran dan hukum-hukum (yang terpancar dari akidah) yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan di dunia (seperti qadar, taklif, konsep baik-buruk, terpuji-tercela, jual beli, ijaarah (kontrak jasa/barang), syirkah, waris) atau berkaitan dengan pengaturan urusan dunia (seperti masalah mengangkat amir atas jamaah, taat kepada amir dan mengoreksinya, juga masalah sanksi, jihad) adalah akidah siyâsiyyah.3
Dari klasifikasi tersebut bisa dikatakan bahwa agama-agama samawi selain Islam, akidahnya adalah akidah rûhiyyah. Contoh Hindu, Budha, Sinto dan Kong Hu Cu dsb.
Kapitalisme adalah akidah siyâsiyyah karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari akidah ini berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (liberalisme), asas manfaat, demokrasi, trias politika dan sebagainya. Sosialisme, termasuk komunisme, juga akidah siyâsiyyah karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan keduniaan. Misalnya tentang pembatasan dan pelarangan kepemilikan, pembatasan demokratisasi di kelas buruh dan keditaktoran proletariat.
Adapun akidah Islam adalah akidah rûhiyyah sekaligus siyâsiyyah. Akidah Islam melahirkan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan akhirat, juga pemikiran dan hukum-hukum yang berkait dengan masalah kehidupan manusia di dunia.
Efek Terhadap Pandangan Hidup
Akidah rûhiyyah tidak bisa membentuk pandangan hidup karena ia hanya berkaitan dengan masalah sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Pemikiran dan hukum-hukum yang lengkap tentang bagaimana mengatur dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan tidak terpancar dari akidah ini. Karena itulah, akidah jenis ini cocok saja mengambil akidah siyâsiyyah yang lain tanpa membahayakan keberadaan akidah rûhiyyah yang dipeluknya. Misalnya, masyarakat Eropa yang Kristen, Jepang yang Sinto atau Budha, bahkan yang tidak beragama seperti Cina dengan mudah menerapkan Kapitalisme.
Adapun akidah siyâsiyyah membentuk pandangan hidup yang khas sesuai dengan ide dasarnya tentang keberadaan manusia di dunia: untuk apa manusia hidup di dunia. Secara individual seseorang tidak terlalu sulit mengubah akidah siyâsiyyah-nya, dari satu jenis ideologi ke jenis yang lain. Namun, secara kolektif, sangat sulit mengubah akidah siyâsiyyah suatu masyarakat, apalagi yang telah berakar lama, dengan akidah siyâsiyyah lain, kecuali dengan tangan besi, peperangan atau revolusi.
Karena itu negara-negara Barat amat sulit menjajah Aljazair, yang memiliki akidah Islam. Mereka baru berhasil setelah melalui jalan peperangan dan pemaksaan. Berbeda dengan Kongo, negara yang tidak atau belum memiliki akidah siyâsiyyah tertentu, Barat dengan amat mudah menjajahnya. Tegaknya akidah siyâsiyyah Komunisme yang menggantikan kekuasaan Tsar di Rusia juga terjadi lewat Revolusi Bolsevyik. Begitu juga setelah 70 tahun di bawah Komunisme, masyarakat yang bersangkutan baru menyadari kebobrokan akidah siyâsiyyah yang mereka anut. Lalu mereka mengambil akidah siyâsiyyah lain yang dinilai lebih baik sebagai penggantinya.
Pandangan hidup Kapitalisme adalah asas manfaat (naf’iyyah). Seorang kapitalis mungkin percaya ia diciptakan tuhan, tetapi dia jalani hidup ini dengan tujuan untuk meraih sebesar-besar kenikmatan jasmani dari uang yang dia kumpulkan dengan segala cara. Bukan untuk mengabdi kepada tuhan yang ia percayai. Maka dari itu, apa yang baik bagi mereka adalah yang memberi keuntungan atau kemanfaatan materi. Disebut buruk jika sebaliknnya.
Untuk mewujudkan prinsip itu, Kapitalisme memberikan kebebasan di segala bidang: Pertama, kebebasan beragama dalam makna bebas mau menjalankan perintah agama atau tidak, mau berpindah-pindah agama atau bahkan tak beragama. Kedua, kebebasan kepemilikan, yakni setiap orang bebas berusaha dengan segala cara untuk memperoleh uang dan bebas menggunakannya untuk apa sepanjang tidak merugikan orang lain. Ketiga, kebebasan berperilaku, berpakaian seenaknya, berciuman bahkan berhubungan seks, asal tidak merugikan orang lain. Keempat, kebebasan berpendapat. Menurut mereka kebebasan-kebebasan itu diperlukan untuk meraih asas kemanfaatan tersebut.
Adapun pandangan hidup Sosialisme adalah dialektika, yakni perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik dalam bentuk yang pasti (these-anti these-sinthese). Untuk merealisasikan itu diperlukan antitesis, yakni konter frontal (thesa tandingan). Akidah Sosialisme menggambarkan kehidupan sebagai terus bergerak—tidak pernah berhenti, atau nisbi dan bukan mutlak—menuju suatu kondisi lain yang pasti lebih baik. Untuk melahirkan perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik harus ada keberanian melakukan konter-konter. Jika belum ada maka harus diadakan.
Adapun pandangan hidup yang diajarkan Akidah Islam adalah bahwa manusia hidup diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Perwujudannya dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara’ pada setiap aktivtas kehidupan Muslim. Berdasarkan akidah Islam, seorang Muslim diajarkan memandang kehidupan dengan tolok ukur halal dan haram. Perintah itu bersifat pasti berdasarkan firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir (QS an-Nisa’ [4]:59).
Allah SWT juga berfirman:
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan sedikit pun atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Problem dan Solusi
Semestinya seorang Muslim akan menjadikan akidah Islam sebagai akidah rûhiyyah sekaligus siyâsiyyah. Dia yakin bahwa al-Quran kalamullah, sekaligus yakin dan mau menjalankan kandungannya dalam perkara kehidupan mereka. Dia pun yakin bahwa Nabi saw. adalah utusan Allah, sekaligus yakin bahwa beliau adalah teladan terbaik dalam mengatur persoalan masyarakat serta betul-betul berupaya mencontoh beliau.
Hanya saja, karena kelemahan pemahaman umat, serta efek perang kebudayaan yang dilancarkan Barat, yang salah satu senjatanya adalah memunculkan keragu-raguan terhadap beberapa persoalan akidah Islam, sebagian umat akhirnya hilang kepercayaannya terhadap kemampuan hukum Islam untuk diterapkan pada masa kini, dengan dalih perubahan waktu dan tempat. Mereka malah mencela beberapa ajaran Islam, seperti hukum pidana Islam yang dikatakan kejam; poligami sebagai melegalisasi pelacuran; jihad sebagai memaksakan agama dengan kekerasan. Efeknya, banyak orang Islam tidak menjadikan Islam sebagai akidah siyâsiyyahnya meskipun tetap dimiliki sebagai akidah rûhiyyah. Tak aneh jika akhirnya membaca al-Quran dilombakan, sementara berjuang agar hukum-hukum dalam al-Quran terlaksana justru dikriminalkan.
Untuk mengatasi problem ini, harus pula diawali dari akidah, yakni dengan menjelaskan bahwa Islam adalah akidah siyâsiyyah dan akidah rûhiyyah. Harus dikaitkan pemahaman akidah dengan pemikiran tentang penataan kehidupan manusia di dunia, yakni dengan mengaitkan berbagai pemikiran dan hukum dengan akidah Islam, dan menjelaskan kemunculannya dari al-Quran dan al-Sunnah. Harus mengaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada al-Quran, juga makna iman kepada al-Quran adalah dengan melaksanakan ajaran-ajarannya. Juga dengan menjadikan hukum halal dan haram, bukan asas manfaat, sebagai tolok ukur perbuatan, dan ini juga merupakan konsekuensi iman.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]
Catatan kaki:
- Al-Qâdhî ’Iyâdh, As-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ (Dar al-Fikr, 1988), Juz 2, h. 88.
- Taqiyuddin An-Nabhani, As-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, cet. VI., vol. I (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), h. 194.
- Taqiyuddin An-Nabhani, Ajwibah As’ilah al-Fikriyyah, t.th, 22 Oktober 1968.