Catatan Dakwah

Mengokohkan Keyakinan Pada al-Quran

“Al-Quran, di dalamnya bukan hanya tidak dijumpai pertentangan ayat satu dengan yang lainnya, tetapi juga tidak dijumpai pertentangannya dengan sains modern.”

(Gary Millier, Saintis, mantan Pendeta)

++++

Tengah bulan Januari lalu, saya sempat berkunjung ke Museum Nasional Peradaban Mesir (National Museum of Egyptian Civilization) di Kairo, Mesir. Di Museum itu tersimpan mummi/jasad Ramses II. Jasad (mummi) itu diyakini adalah Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah dalam kisah Nabi Musa as. Tubuhnya, meski tampak mengecil, relatif utuh. Bahkan wajah dan rambutnya masih terlihat sangat jelas.

Keadaan jasad Fir’aun itulah yang mengundang tanya Maurice Bucaille. Ia adalah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis dengan spesifikasi keahlian dalam bidang gasteroentologi (pencernaan). Pada tahun 1973 ia meneliti jasad dari orang yang pernah mengaku sebagai Tuhan ini dengan metode radio grafik, thorax dan endoscopy sehingga mendapatkan rincian setiap bagian tubuh. Saat itu ia menemukan dua keanehan. Pertama, bagaimana bisa jasad dari orang yang sudah mati ribuan tahun lalu tetap dalam keadaan utuh. Kedua, banyaknya kandungan garam yang memenuhi sekujur tubuhnya sehingga dia terawetkan lebih sempurna. Artinya, mummi tersebut mati dalam keadaan tenggelam di laut.

Ketika hal itu ditanyakan kepada orang-orang di sekitarnya, ia tidak menemukan jawaban. Sampai suatu ketika ia hadir dalam seminar tentang mummi di Kairo, pertanyaan itu ia sampaikan kepada forum. Salah satu pembicara memberikan penjelasan panjang lebar seraya mengutip firman Allah SWT (yang artinya): Pada hari ini Kami menyelamatkan jasadmu agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelah dirimu. Namun, kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami (TQS Yunus [10]: 92).

Dikutip juga ayat sebelumnya (yang artinya): Kami menyelamatkan Bani Israil melintasi laut. Kemudian Fir‘aun dan balatentaranya mengikuti mereka untuk menzalimi dan menindas (mereka). Lalu ketika Fir‘aun hampir tenggelam, dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sungguh kamu telah durhaka sejak dulu dan kamu termasuk orang yang berbuat kerusakan (TQS Yunus [10]: 90-91).

Hasil penelitian Bucaille ini kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Momies Des Pharaon; Investigations Medicales Modernes. Buku ini menjadikan penulisnya meraih penghargaan bidang sejarah dari Prix d’histoire Academie Nationale de Medecine, Prancis.

Bucaille juga menulis buku La Bible, le Coran et la Science (1976) yang menjadi best-seller internasional di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Di Indonesia, buku itu diterjemahkan oleh Dr. HM Rasyidi, tokoh Muhammadiyah, alumni Sorbonne University, Prancis, dengan judul: Bibel, Qur’an dan Sains Modern. Menurut Rasyidi, Bucaille heran dengan al-Quran yang turun 14 abad lampau, namun memuat soal-soal ilmiah yang baru diketahui manusia pada abad ke 19-20. Bucaille lalu berkesimpulan bahwa al-Quran adalah wahyu Ilahi yang murni dan Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Dari sana ia kemudian memutuskan untuk masuk Islam.

Bukan hanya Bucaille. Banyak lagi ilmuwan dan para cerdik pandai lainnya yang akhirnya juga menemukan kebenaran berkat perhatiannya pada al-Quran. Salah satunya Gary Miller. Ia adalah seorang matematikawan yang juga seorang pendeta. Maksud hati, melalui riset panjang terhadap al-Quran, ia hendak menunjukkan kelemahan al-Quran kepada jamaah di gerejanya. Apa daya, yang ia jumpai justru kekuatan al-Quran.

Semula ia sudah senang saat dalam risetnya itu saat membaca QS an-Nisa’ ayat 82. Ayat tersebut intinya mengatakan bahwa jika al-Quran ini bukan datang dari sisi Allah, pasti akan dijumpai banyak ikhtilaf atau perselisihan ayat satu sama lain. Seolah mendapatkan jalan untuk mencari kelemahan al-Quran, Gary Miller terus meneliti al-Quran berharap ada banyak perselisihan itu.

Namun, setelah sekian lama meneliti al-Quran, ia tak menjumpai satu pun perselisihan itu. Bahkan ia juga tak menjumpai perselisihan ayat-ayat al-Quran dengan sains modern. Di antaranya ia menunjuk rangkaian ayat dalam QS al-Mu’minun ayat 12–14 yang menceritakan fase-fase pertumbuhan janin di rahim ibu, mulai dari nutfah hingga idhaamah. Semuanya persis sama dengan yang diketahui dalam ilmu kedokteran modern. “Al-Quran, di dalamnya bukan hanya tidak dijumpai pertentangan ayat satu dengan yang lainnya, tetapi juga tidak dijumpai pertentangannya dengan sains modern,” simpulnya. Akhirnya, Gary Miller, yang berniat mau melecehkan al-Quran, malah memilih masuk Islam, dan mengubah namanya menjadi Abdul Wahid Omar.

Dari dua kisah di atas, nyatalah betapa besar pengaruh keyakinan akan kebenaran al-Quran. Mampu menghantarkan dua ilmuwan hebat di masanya ke haribaan Islam, meninggalkan agama lamanya yang mungkin telah memberikan segalanya pada dirinya. Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi saw. dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim bahwa dengan al-Quran Allah akan mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkan kaum yang lain.

Oleh karena itu, penting bagi kita yang sudah lama menjadi Muslim untuk terus meningkatkan keyakinan akan al-Quran sebagai kalamullah. Keengganan untuk tunduk pada isi al-Quran, termasuk malas membaca dan mengkaji al-Quran, sangat boleh jadi berpangkal pada kerapuhan keyakinan itu, juga ketidakpahaman akan kemuliaan kita saat dekat dengan al-Quran.

Sabda Nabi saw. dalam hadis riwayat Imam at-Tirmidzi, bahwa siapa yang membaca satu huruf al-Quran akan mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dilipatkan menjadi 10 kebaikan yang serupa. Juga disabdakan dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim, al-Quran akan datang pada Hari Kiamat kelak untuk memberikan syafaat bagi sahabatnya. Siapa sahabat al-Quran itu? Tentu saja yang semasa di dunia rajin membaca al-Quran.

Jika demikian, seberapa sering kita dianjurkan membaca al-Quran? Dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud, Nabi menganjurkan untuk membaca atau mengkhatamkan al-Quran minimal sebulan sekali. Jika satu bulan 30 hari dan al-Quran 30 juz, maka kita dianjurkan untuk membaca al-Quran setidaknya satu hari satu juz. Lalu setiap kali selesai, segera memulai dari awal lagi. Inilah yang dalam hadis riwayat Tirmidzi disebut al-hal wal murtahil. Sebuah amalan yang sangat disukai Allah. Apa itu? Yaitu membaca al-Quran dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.

Selain membaca, tentu saja yang paling utama adalah menerapkan isinya dalam kehidupan nyata. Dalam hadis riwayat Imam ath-Thabarani, Nabi saw. berpesan untuk selalu bersama al-Quran. Bahkan jika kita berhadapan dengan penguasa yang telah memisahkan dari al-Quran, tetap jangan kita berpisah dari al-Quran. Apapun risikonya. Meski harus ditebus dengan kematian sekalipun. Mengapa? Kata Nabi, mati di atas ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada Diri-Nya.

++++

Meski kita tidak lagi pada bulan Rama­dhan, bulan yang biasanya diidentikan dengan al-Quran, ikhtiar untuk meningkatkan kekokohan keyakinan pada al-Quran harus tetap terus dilakukan. Kisah inspiratif Maurice Bucaille dan Gary Miller bisa menjadi contoh bagaimana keyakinan itu didapatkan.

Di atas keyakinan yang kokoh itu, kegemaran membaca dan mengkaji al-Quran insya Allah akan terus bisa ditingkatkan. Berikutnya, al-Quran diamalkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga serta diperjuangkan hingga diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Insya Allah [H.M. Ismail Yusanto, M.M.]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × one =

Check Also
Close
Back to top button