
Menggugat Abraham Accords
Abraham Accords adalah kesepakatan normalisasi hubungan antara entitas penjajah Zionis Israel dan beberapa negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan dan Maroko. Penandatanganan resmi pertama dilakukan antara UEA dan Bahrain dengan Israel pada 15 September 2020 di Gedung Putih, Washington, di bawah mediasi Presiden AS saat itu, Donald Trump.1
Kesepakatan ini disebut sebagai bentuk “perdamaian bersejarah” dan dijustifikasi dengan semangat persaudaraan monoteistik yang dilambangkan oleh Nabi Ibrahim as.2
Namun, klaim ini patut dipertanyakan: Benarkah kesamaan keturunan Ibrahim menjadi dasar legitimasi normalisasi dengan Israel? Ataukah ini hanya alat politik untuk mengamankan kepentingan AS dan sekutunya?
Mengkritisi Konsep Satu Keturunan Nabi Ibrahim As.
Abraham Accords menggunakan nama Nabi Ibrahim (Abraham) sebagai simbol persatuan tiga agama Samawi: Islam, Kristen dan Yahudi; dengan narasi bahwa ketiga agama ini berasal dari “satu keturunan Ibrahim.” Dalam tradisi Islam, Nabi Ibrahim as. dianggap sebagai bapak monoteisme (prinsip tauhid), yang melalui putranya, Ismail, menjadi leluhur bangsa Arab, dan melalui Ishaq, menjadi leluhur bangsa Israel.3
Namun, motif dibalik propaganda “satu keturunan” ini sangat problematik dan sarat muatan politik. Al-Quran memang mengakui Nabi Ibrahim as. sebagai figur sentral dengan ajaran tauhid sebagai inti risalahnya. Hal itu dapat kita pahami dari al-Quran QS al-Baqarah ayat 135. Namun, al-Quran juga (dalam QS Ali Imran ayat 64) menegaskan bahwa ikatan sejati umat beragama bukanlah keturunan biologis, melainkan prinsip tauhid (keimanan kepada Allah). Dalam konteks Abraham Accords, propaganda “satu keturunan” tampaknya digunakan untuk melegitimasi normalisasi hubungan dengan Israel, dan mengesampingkan perbedaan ideologis dan politik yang mendasar, seperti isu pendudukan Palestina. Dengan ungkapan lain, konsep ini lebih bersifat politis, yang bertujuan untuk menciptakan kesan persatuan agama demi kepentingan politik.4
Selain aspek politik, ada muatan sinkretisme dan pluralisme dalam penyatuan agama-agama menjadi “Agama Ibrahim”. Sinkretisme adalah pencampuran unsur-unsur dari berbagai agama menjadi satu sistem kepercayaan yang “universal”. Dalam konteks Abraham Accords, konsep “Agama Ibrahim” digunakan sebagai justifikasi sinkretisme antara Islam, Kristen, dan Yudaisme. Gagasan ini diwujudkan, misalnya, dalam pembangunan proyek “Abrahamic Family House” di Abu Dhabi yang terdiri dari sebuah masjid, gereja dan sinagoge dalam satu komplek. Tujuannya jelas: membentuk narasi bahwa ketiga agama ini berasal dari sumber ilahi yang sama dan oleh karena itu dapat disatukan dalam satu agama “Abrahamik”.
Dalam Islam, keimanan kepada para nabi dan kitab tidak berarti menyamakan semua agama. Islam datang untuk mengoreksi penyimpangan pada ajaran sebelumnya (Lihat QS Al-Maidah [5]: 3). Artinya, Islam adalah agama terakhir dan satu-satunya yang diterima Allah, bukan bagian dari “koalisi agama-agama samawi (Lihat: QS Ali Imran [3]: 85).
Adapun pluralisme agama adalah pandangan bahwa semua agama adalah jalan sah menuju Tuhan dan kebenaran ada dalam semua agama secara setara. Ide ini telah dikritik tajam oleh banyak cendekiawan Muslim karena bertentangan dengan prinsip eksklusivitas kebenaran dalam Islam.
Dalam Abraham Accords, pluralisme diperkenalkan sebagai dasar untuk perdamaian abadi. Tokoh-tokoh politik di UEA dan Barat menyatakan bahwa “Agama Ibrahim” adalah jalan menuju coexistence (hidup berdampingan) yang menghapus konflik keagamaan dan politik. H.H. Sheikh/ Abdullah/ bin/ Zayed, Menteri Luar Negeri UEA, menegaskan, “Coexistence and tolerance for everyone – no matter their nationality, religion or belief – is one of our collective, shared core values.” Demikian saat meresmikan Abrahamic Family House dan mempromosikan dialog antaragama sebagai landasan kehidupan bersama.5
Akan tetapi, Islam menolak pluralisme dalam arti menyamakan seluruh agama sebagai kebenaran yang sahih.6 Rasulullah saw. sendiri tidak pernah berdamai dengan kemusyrikan atau kesesatan, bahkan ketika ditawarkan kompromi (Lihat: QS al-Kafirun Ayat 1–6).
Manipulasi Mengatasnamakan Nabi Ibrahim as.
Abraham Accords secara eksplisit menggunakan istilah “kesamaan keturunan Nabi Ibrahim” (Abrahamic Heritage) untuk membangun legitimasi religius bagi normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. Namun, klaim ini merupakan bentuk instrumentalization of religion (penggunaan agama untuk kepentingan tertentu) yang bermasalah. Nabi Ibrahim, dalam tradisi Islam, adalah simbol tauhid dan perjuangan melawan kezaliman. Risalah Nabi Ibrahim berfokus pada penegakan keadilan dan penolakan terhadap penindasan. Ini secara faktual bertentangan dengan pendudukan Israel atas Palestina.
Jika kita telaah QS al-Anbiya ayat 51-70, Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai penentang tirani, termasuk ketika melawan Raja Namrud yang zalim. Sebaliknya, Israel justru melakukan apa yang diperangi Ibrahim, yaitu pendudukan ilegal (Palestina, Suriah, Libanon) dan apartheid (diskriminasi terhadap warga Palestina).7
Nabi Ibrahim tidak pernah melakukan pendudukan tanah orang lain. Kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah (yang dikisahkan dalam QS al-Baqarah ayat 127) adalah simbol persatuan, bukan penjajahan. Israel justru melakukan sebaliknya: menduduki Masjid Al-Aqsa, dan mengusir warga Palestina dari tanah mereka.8
Penggunaan nama “Abraham” patut diduga untuk “cuci tangan” dari kejahatan Zionis. Ini yang kemudian disebut dengan diplomasi pencitraan (image laundering). AS dan Israel sengaja memilih nama “Abraham” untuk memberikan kesan “perdamaian religius” dan mengalihkan perhatian dari kejahatan perang Israel di Palestina. Faktanya, tidak ada perubahan kebijakan Israel dalam pemukiman ilegal yang terus berlanjut (2020-2024) dan pembantaian Gaza terus terjadi setelah normalisasi.9
Kritik terhadap manipulasi ini juga muncul dari fakta bahwa perjanjian ini tidak melibatkan solusi nyata bagi konflik Palestina-Israel, seperti pengusiran entitas pendudukan Yahudi atas Palestina.10
Sebaliknya, perjanjian ini lebih menekankan kerja sama ekonomi dan militer, termasuk penjualan senjata AS ke negara-negara Arab, yang menunjukkan motif hegemoni AS-Israel di Timur Tengah.11
Dengan demikian, penggunaan nama Nabi Ibrahim dapat dilihat sebagai upaya untuk menyamarkan agenda politik di balik narasi perdamaian antaragama. Dengan ungkapan lain, klaim “Abrahamic Unity” adalah manipulasi untuk mengaburkan kejahatan Israel.
Ikatan Akidah Islam
Dalam konteks geopolitik kontemporer, terutama setelah Abraham Accords (2020), gagasan “kesamaan keturunan Nabi Ibrahim” digunakan untuk membangun aliansi antara Muslim, Yahudi dan Kristen. Namun, Islam menegaskan bahwa ikatan utama umat Muslim adalah akidah, bukan nasab, etnis atau kepentingan politik. Al-Quran menegaskan bahwa umat Islam harus bersatu dalam akidah Islam (tauhid) dan menolak segala bentuk kezaliman.
Persaudaraan umat Islam adalah berdasarkan iman (ukhuwah islamiyah). Allah SWT berfirman:
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).
Kata [ إِنَّمَا ] (Innama) menunjukkan pembatasan (hashr). Artinya, ikatan sejati kaum Muslim hanya terbangun melalui iman, bukan faktor lain. Persaudaraan iman mengalahkan ikatan darah jika bertentangan dengan Islam.
Umat Islam tidak boleh menyerahkan loyalitas kepada orang kafir. Loyalitas dalam Islam hanya untuk Islam dan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
Kaum Mukmin itu, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain (QS at-Taubah [9]: 71).
Ikatan umat Islam juga dibangun di atas prinsip saling bersaudara dan tidak boleh saling menzalimi. Nabi Muhammad saw. bersabda:
Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain. Dia tidak akan berlaku zalim (kepada saudaranya) dan tidak akan meninggalkan saudaranya itu sendirian (menjadi korban kezaliman orang lain) (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dll).
Dari hadis ini dapat dipahami, umat Islam bukan hanya tidak boleh saling menzalimi, tetapi juga tidak boleh membiarkan saudaranya dizalimi atau menjadi korban kezaliman orang lain.
Oleh karena itu, Abraham Accords bertentangan dengan prinsip ini. Sebabnya, bekerja sama dengan Zionis Yahudi sama artinya dengan menistakan konsep ukhuwah islamiyah dan mengkhianati jihad Muslim Gaza dan Al-Quds. Padahal ikatan akidah Islam ini seharusnya ditempatkan di atas segalanya.
Urgensi ukhuwah islamiyah itu paling tidak bisa dijelaskan melalui beberapa keutamaan: (1) ukhuwah menciptakan persatuan (wihdah); (2) ukhuwah menciptakan kekuatan (quwwah); (3) ukhuwah menciptakan kasih-sayang (mahabbah). Persatuan, kekuatan dan kasih sayang ini merupakan perkara yang amat vital pada saat ini. Beberapa ayat al-Quran (seperti: QS Ali Imran ayat 103, QS az-Zukhruf ayat 67, QS al-Anfal ayat 63 dan QS al-Hujurat ayat 10) memberikan pesan kepada kita, betapa ukhuwah itu sangat berharga dalam Islam. Ia adalah pondasi sekaligus mercusuar umat.
Wajib Memerangi Yahudi dan Haram Normalisasi Atas Nama Abraham Accords
Abraham Accords tidak hanya bermasalah secara politik, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan hukum syariah. Islam secara tegas memerintahkan umatnya untuk memerangi penjajahan dan agresi terhadap kaum Muslim. Entitas Zionis adalah penjajah yang merampas tanah Palestina, membunuh penduduknya, dan mencabik-cabik kehormatan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
Perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah (kemusyrikan/kekufuran) dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah semata (QS al-Baqarah [2]: 193).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai kaum Muslim memerangi Yahudi, lalu kaum Muslim membunuh mereka sampai seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, kemudian batu dan pohon itu berkata, “Wahai Muslim, wahai hamba Allah! Ini ada Yahudi di belakangku. Kemari dan bunuhlah dia!” Kecuali Pohon Gharqad karena ia adalah pohon Yahudi (HR Muslim).
Hadis ini bukanlah seruan kebencian rasial, tetapi perintah untuk mengakhiri kejahatan Zionis atas kaum Muslim. Normalisasi hubungan dengan entitas pendudukan bukan hanya pengkhianatan politik, tetapi juga pelanggaran terhadap syariah Islam yang mewajibkan loyalitas kepada kaum Muslim dan permusuhan terhadap kafir penjajah.12
Normalisasi hubungan dengan Israel adalah haram secara syar’i karena berarti menjadikan orang kafir yang memerangi umat Islam sebagai teman setia. Padahal Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia (QS al-Mumtahanah [60]: 1).
Penutup
Dengan demikian, Abraham Accords adalah manipulasi sejarah untuk melegitimasi kolonialisme Israel, dan bertentangan secara akidah karena menggantikan solidaritas Islam dengan pragmatisme politik. Sikap seharusnya adalah menolak normalisasi dengan entitas pendudukan dalam bentuk apapun, memperkuat perlawanan secara militer untuk mengusir penjajah, dan mengingatkan rezim Arab bahwa pengkhianatan mereka merupakan aib yang tidak akan pernah terlupakan dalam catatan sejarah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yuana Ryan Tresna; (Pengasuh Pusat Pendidikan Hadits Ma’had Khadimus Sunnah Bandung)]
Catatan kaki:
- Lihat U.S. Department of State “Abraham Accords,” 15 September 2020, https://www.state.gov/the-abraham-accords/. Diakses 4 Juli 2025.
- Lihat Wikipedia, “Abraham Accords”, https://en.wikipedia.org/wiki/Abraham_Accords?utm_source=chatgpt.com. Diakses 4 Juli 2025.
- Lihat Fitriani, dkk. (2023). “Sejarah Agama Samawi dalam Perspektif Quraish Shihab,” Jurnal Pendidikan dan Konseling, 5(1).
- Lihat Middle East Institute, “The Abraham Accords: A Diplomatic Mirage”, 25 September 2020, https://caliber.az/en/post/the-abraham-accords-a-diplomatic-mirage-or-a-path-to-lasting-peace. Diakses 4 Juli 2025.
- Lihat Ashwani Kumar, “’Creation of more peaceful world’: Religious leaders hail UAE’s Abrahamic Family House as model of coexistence”, 17 Februari 2023, https://www.khaleejtimes.com/uae/creation-of-more-peaceful-world-religious-leaders-hail-uaes-abrahamic-family-house-as-model-of-c?utm_source=chatgpt.com; Minister News “H.H. Sheikh Abdullah bin Zayed highlights importance of interfaith dialogue and religious coexistence”, 21 September 2019, https://www.mofa.gov.ae/en/MediaHub/News/2019/2019/11/21/21-11-2019-UAE-Religion?utm_source=chatgpt.com. Diakses 5 Juli 2025.
- Syamsuddin Arif, “Konsep Agama Abrahamik dan Tantangan Teologisnya,” dalam Forum INSISTS 2020; Grand Sheikh Ahmad al-Tayyeb, Human Fraternity Document, Abu Dhabi, 2019.
- Lihat Masalha, N. (2012). The Palestine Nakba: Decolonising History. Zed Books.
- Lihat Khalidi, R. (2020). The Hundred Years’ War on Palestine. Metropolitan Books.
- Lihat Pappe, I. (2006). The Ethnic Cleansing of Palestine. Oneworld Publications.
- Lihat Anchal Vohra, “Somehow, the Abraham Accords Are Alive and Well”, 15 Mei 2025, https://foreignpolicy.com/2025/05/15/somehow-the-abraham-accords-are-alive-and-well/. Diakses 5 Juli 2025.
- Lihat https://www.ajnet.me/encyclopedia/2024/6/9/ ‘*A’BJ’*-#(1’G’E-EH,)-’D*7(J9-’D91(J. Diakses 5 Juli 2025.
- Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Fitan wa Asyrath al-Sa’ah, Bab La Taqum al-Sa’ah Hatta Yuqatil al-Muslimun al-Yahud (No. 2922); Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, tafsir QS. Al-Baqarah: 193.