Tajdîd ad-Dîn Vs Modernisasi Agama
Belakangan ini, ramai diarusutamakan gagasan moderasi agama. Sebuah gagasan beragama secara moderat. Jauh sebelum itu, dipromosikan juga gagasan modernisasi agama, yaitu gagasan beragama secara modern. Agama (Islam) harus adaptif dengan tatanan dunia global. Cara berislam yang bersikeras berpegang teguh pada ajaran Islam, menginginkan tegaknya sistem Islam dan menolak budaya Barat dianggap kuno dan tidak berkemajuan.
Standar modernisasi bukan lagi pada aspek teknologi, namun penerimaan pada pemikiran dan budaya Barat. Oleh karena itu ortodoksi fikih Islam harus ditinjauulang. Benarkah modernisasi semacam itu memiliki landasan normatif dalam Islam berupa konsep tajdid?
Konsep Tajdid ad-Dîn dalam Islam
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharuhi agamanya.” (HR Abu Dawud).
Secara etimologi, tajdîd berasal dari kata “jaddada” yang artinya memperbarui. Dari sini makna tajdîd memberikan gambaran kepada kita tiga arti yang saling berkaitan: 1) sesuatu yang diperbarui itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak; 2) sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak; 3) sesuatu itu telah dikembalikan pada keadaan semula sebelum usang dan rusak.1
Tampak dari keterangan ini bahwa kata “jadîd” (baru) lawan kata “qadîm” yang artinya lama.
Jadi, secara bahasa, makna tajdid berkisar pada menghidupkan (al-ihyâ’), membangkitkan (al-ba’ats) dan mengembalikan (al-i’âdah). Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan.2
Dalam al-Quran sebenarnya tidak terdapat lafal jaddada atau tajdîd, tetapi terdapat kata jadîd (Lihat, misalnya: QS al-Isra’ [17]: 49; QS as-Sajdah [32]: 10).
Kata tajdîd juga terdapat dalam hadis Nabi saw.. Di antaranya hadis sahih yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الله يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسٍ كُلِّ مِائَة سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Sungguh Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbarui agama mereka (HR Abu Dawud).
Abu Hurairah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ. قِيل: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا؟ قَالَ: أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا الله
“Perbaruilah iman kamu!” Ada seorang yang bertanya, “Bagaimana kami memperbarui iman kami?” Beliau bersabda, “Perbanyaklah mengucapkan Lâ ilâha illa Allâh.” (HR Ahmad dan al-Hakim).
Sebagian ulama mendefinisikan tajdîd sebagai upaya menghidupkan kembali apa yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan isi al-Quran dan as-Sunnah serta perkara yang wajib dikerjakan.3 Seorang ulama salaf, Sahal al-Su’luqi (w. 389 H), mengatakan, “Allah mengembalikan agama ini sesudah terhapus sebagiannya, melalui Ahmad bin Hanbal, Abu Hasan al-Asy’ari dan Abi Nu’aim al-Istirabazi.”4
Pendapat di atas dapat dipahami. Agama itu pada mulanya adalah sempurna, lalu dengan berlalunya zaman mengalami distorsi dalam penerapannya, kemudian melalui ketiga ulama di atas agama dikembalikan pada keadaan asalnya. Jadi, menurut pengertian Abu Sahal al-Su’luqi, tajdîd adalah mengembalikan agama ke keadaan semula sebagaimana pada masa salaf yang pertama. Namun menurut beliau, istilah yang tepat adalah “tajdid al-fikr al-islami”. Sebabnya, yang diperbarui adalah pemahaman, pemikiran, metode pengajaran dan pengamalan ajaran agama tersebut.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, istilah yang tepat justru adalah “ta’lîm ad-dîn” sebagai ganti dari “tajdîd ad-dîn”. Ini berdasarkan Hadis Nabi saw., “Sungguh Allah SWT mengutus dalam setiap penghujung abad orang yang mengajarkan agamanya.” (HR Abu Bakar al-Barraz).5
Terdapat satu Hadis Nabi saw. yang menerangkan korelasi ijtihad dan tajdîd. Ketika itu Nabi saw. mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi saw. bertanya kepada Muadz, “Dengan apa kamu menghukumi sesuatu?” Jawabnya, “Dengan al-Quran.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi, “Jika tidak kamu dapatkan?” Jawabnya, “Dengan al-Hadis.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi, “Jika tidak kamu dapatkan?” Jawabnya, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” (HR Abu Daud, al-Darimi, Ahmad dan al-Baihaqi).
Jadi ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdîd, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam.
Tajdîd adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran Islam guna membangun kehidupan kaum Muslim berdasarkan aturan Islam. Jadi tajdîd adalah upaya mengembalikan umat agar menjalani kehidupan berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman ulama salafush-shâlih dari kalangan para Sahabat, Tâbi’în dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.
Dengan demikian tajdîd dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru, tetapi mengembalikan cara beragama ke masa Rasulullah saw. dan Al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn berdasarkan sumber-sumbernya.
Pembaruan Agama ala Barat dan Bahayanya
Kata modernisme tidak berarti hanya berorientasi pada kemodernan. Ia merupakan sebuah terminologi khusus yang intinya adalah memodernisasi pemahaman agama. Modernisme agama membawa konsekuensi berupa reaktualisasi berbagai ajaran keagamaan (ortodoksi Islam) agar dapat sejalan dengan pemahaman filsafat ilmiah.
Di sisi lain, modernisme adalah sebuah gerakan yang begerak secara aktif untuk melumpuhkan prinsip-prinsip keagamaan agar tunduk pada nilai-nilai, pemahaman, persepsi dan sudut pandang Barat.6
Tajdîd adalah upaya menghidupkan kembali ajaran Islam yang telah terhapus dan terlupakan dan dikembalikan pada masa Islam awal (salaf). Adapun modernisme adalah usaha untuk mewujudkan relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern, yaitu dengan meninjau kembali ajaran-ajaran Islam dan menafsirkan Islam dengan interpretasi baru. Tujuannya untuk menjadikan Islam sebagai agama modern yang kompatibel dengan peradaban Barat. Terdapat beberapa tokoh Muslim yang melakukan modernisasi agama, seperti Syed Ahmad Khan, Mohammad Iqbal, Qasim Amin, dan Ali Abdul Raziq.
Pelopor modernisme di Dunia Islam adalah Sayid Ahmad Khan yang lahir di India. Ia berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan pengetahuan modern. Caranya dengan jalan menafsirkan kembali ajaran agama sesuai dengan pengetahuan modern.7 Tampaknya, Syed Ahmad Khan berusaha keras untuk melestarikan peradaban Barat dan membuka jalan bagi kaum Muslim untuk meniru peradaban Barat.
Mohamad Iqbal dalam gagasan modernisasinya juga mempromosikan sekularisme. Iqbal mengagumi Kemal Attaturk dari Turki yang sekular. Padahal jelas sekali apa yang dilakukan Attaturk merupakan westernisasi secara membabibuta. Iqbal menganggap itu sebagai suatu ijtihad untuk menegakkan kembali ajaran Islam sesuai dengan pemikiran dan pengalaman modern, yakni ijtihad dalam masalah politik dan agama, yang berpijak pada pengalaman empiris dan bukan pada pemikiran para ahli fikih klasik (fuqaha).8
Adapun ide pokok yang diperjuangkan Qasim Amin adalah agar wanita Muslimah melepaskan diri dari tradisi-tradisi masa lalu, untuk kemudian mencontoh wanita Barat. Hal ini tercantum dalam bukunya, Tahrîr al-Mar’ah. Ia banyak berbicara tentang hijab, talak, poligami, serta pengajaran dan pekerjaan wanita dalam Islam. Bagi Amin, syariah Islam adalah perkara yang tidak tetap, melainkan selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Ia juga beranggapan bahwa tidak semua perkataan Nabi saw. merupakan bagian dari agama.9
Lain lagi dengan Ali Abd al-Raziq. Raziq melakukan modernisasi agama dalam bentuk sekularisasi Islam. Dalam bukunya yang berjudul Al-Islâm wa Ushuil al-Hukm, ia menakwilkan hukum-hukum al-Quran, as-Sunah dan fikih yang disesuaikan dengan pemikiran Barat, dan menjadikan kitabnya sebagai puncak produk pemikiran modern. Raziq lebih mengedepankan substansi dari sebuah pemerintahan, yakni menegakkan keadilan. Ia tidak menghiraukan penamaan dari pemerintahan Islam (sistem Khilafah).10
Demikianlah para modernis berbicara tentang modernisasi Islam. Tujuannya untuk menyeleraskan Islam dengan peradaban Barat. Mereka bahkan menolak apapun yang datang dari Islam jika bertentangan dengan peradaban Barat.
Kebutuhan Umat Hari Ini
Dunia sebenarnya tidak membutuhkan apa yang disebut dengan modernisasi Islam agar sesuai dengan peradaban Barat. Dunia justru membutuhkan tajdîd. Salah satu bentuknya adalah ijtihad para ulama pada masalah baru yang muncul dan pengamalan produk ijtihad tersebut (fikih) secara sempurna.
Jika mujaddid (pembaru) itu hadir setiap penghujung 100 tahun, maka umat Islam dalam kurun waktu sebelum munculnya mujaddid selanjutnya, cukup merujuk pada para ulama yang ikhlas, yang berijtihad dalam perkara baru yang muncul serta melakukan pendidikan ajaran dan fikih Islam kepada umat.
Selaras dengan itu, penting untuk mencermati ungkapan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Syarî’ah AlLâh al-Khâlidah. Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan: “Sekiranya kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.” 11
Memang benar kita membutuhkan adanya tajdîd dalam Islam. Namun, makna tajdîd sebenarnya adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran Islam agar kembali tegak dalam realitas kehidupan. Jadi tajdîd adalah upaya mengembalikan umat ke kehidupan Islam secara menyeluruh (kâffah) yang tegak di atas sumber-sumber hukum Islam sebagaimana pemahaman ulama salaf ash-shâlih dari kalangan para Sahabat, Tâbi’în dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.
Kita paham bahwa tajdîd dalam Islam bukan berarti membuat Islam dengan wajah baru yang tunduk pada peradaban Barat. Adapun ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdîd, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam dengan kaidah-kaidah tertentu.
Penutup
Jelaslah bahwa tajdîd dalam Islam berbeda dengan modernisasi. Keduanya berbeda secara konsep dan implementasi. Apa yang dilakukan kaum modernis bukanlah tajdîd sebagaimana yang dilakukan para mujaddid dalam Islam. Apa yang mereka lakukan lebih dekat dengan taghrîb (westernisasi), bahkan sekulariasi ajaran Islam. Oleh karena itu tidak berlebihan jika gencarnya promosi moderasi agama belakangan ini, meski dalam tampilan yang lebih soft, harus dibaca sebagai perang pemikiran yang tujuannya sama, yaitu menjadikan Islam tunduk pada peradaban Barat. Modernisasi dan moderasi Islam hakikatnya sama yaitu mengajak umat agar berislam dengan cara yang dikehendaki Barat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Yuana Ryan Tresna]
Catatan kaki:
1 Lihat Bustami Muhammad Sa’id, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, hlm. 2-3.
2 Lihat Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid ad-Din, hlm. 18.
3 Lihat Al-Manawî, al-Faid al-Qadir, Juz 1, hlm. 10.
4 Lihat Ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftara, hlm. 53.
5 Lihat Ibn Hajar, Tawali al-Ta’sis, hlm. 48.
6 Lihat Muhammad Hamid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, Terj. Abu Umar Basyir, hlm. 181-182.
7 Lihat Ahmad Khan, “Reenterpretation of Moslem Theology”, dalam John J. Donohue dan John L. Espesito (ed), Islam In Transition and Prespektives, hlm. 61-64.
8 Lihat Muhammad Iqbal, Tajdid al-Fikr al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, hlm. 182.
9 Lihat Muhammad Imarah, Al-Masiriyun – al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz I, hlm. 292.
10 Lihat Dhiya’u al-Din al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-’Asri al-Hadis; Naqd li Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, hlm. 256-257.
11 Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.