Mengajari Anak Bersilaturahmi
Alhamdulillah kita masih diberi kesempatan bertemu Ramadhan dan Hari Raya tahun ini. Secara tradisi umat Islam di Indonesia merayakan Hari Raya dengan berbagai kemeriahan dan sukacita. Menyambut hari raya mayoritas menyiapkan semuanya serba baru: pakaian, perhiasan, mukena, sarung, peci, motor, mobil dll. Berbagai kegiatan pertemuan diadakan pada libur hari raya. Ada pertemuan keluarga, pertemuan alumni, pertemuan teman sekampung dll. Bahkan ada yang melangsungkan pernikahan saat hari raya, sekaligus pertemuan teman lama dan silaturahmi keluarga besar. Pertemuan-pertemuan tersebut baik melibatkan kerabat maupun tidak, biasa disebut oleh masyarakat dengan silaturahmi.
Menurut Imam an-Nawawi rahimahulLâh, silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Kadang berupa kebaikan dalam hal harta. Kadang dengan memberi bantuan tenaga. Kadang dengan mengunjungi, dengan memberi salam, dan cara lainnya (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, II/201).
Allah SWT mewajibkan menyambung tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab. Baik mendapatkan waris atau tidak. Baik mahram maupun bukan. Mereka adalah ibu dan kakek-nenek dari ibu ke atas, bapak dan kakek-nenek dari bapak ke atas dan anak, cucu ke bawah; saudara baik laki-laki maupun perempun seayah, seibu atau seayah-ibu; paman/bibi (saudara bapak dan ibu); saudara kakek baik dari bapak maupun dari ibu; keponakan; sepupu (anak saudara ibu atau saudara bapak). Inilah orang-orang yang mempunyai hubungan nasab/rahim. (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, hlm. 190-191).
Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab. Dengan demikian silaturahmi hanya kepada kerabat atau orang-orang yang mempunyai hubungan nasab, tidak termasuk ipar, apalagi yang lain.
Sekarang tradisi silaturahmi ini sudah mulai bergeser. Ada keluarga yang mencukupkan bersilaturahmi dengan keluarga melalui telepon, whatsapp, telegram dan media sosial yang lain. Ada pula yang mengganti acara silaturahmi dengan datang ke tempat-tempat rekreasi/wisata. Pengelola pariwisata pun berlomba-lomba menawarkan keindahan dan destinasi tempat wisata.
Mengajari anak Bersilaturahmi
Silaturahmi memang tidak harus dilakukan saat hari raya. Akan tetapi, karena kesibukan masing-masing keluarga dan jarak antar keluarga satu sama lain jauh, maka waktu silaturahmi yang sangat memungkinkan bertemu dengan kerabat yang banyak adalah saat hari raya.
Hal-hal yang perlu dilakukan: Pertama, mengajak dan mengajari anak silaturahmi. Sekalipun sebagian masyarakat masih melakukannya, para orangtua kadang melakukan silaturahmi hanya tradisi dan tidak mengajari anak bahwa itu kewajiban. Masih banyak orangtua yang yang bersilaturahmi sendiri tanpa mengajak anak dan memperkenalkan siapa saja kerabat yang wajib silaturahmi. Padahal ada hadis yang berkaitan dengan kewajiban sitaturahmi:
أَنَّ رَجُلا قَالَ رَسُولُ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَالَ النَّبِيُّ: لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ الله لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ، فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Pernah ada seseorang berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi saw. bersabda, “Sungguh dia telah diberi taufik atau sungguh dia telah diberi hidayah. Apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itu pun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi saw. bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat dan menyambung silaturahmi.” Setelah orang itu pergi, Nabi saw., “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surge.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ajaklah anak mengunjungi kerabat. Kenalkan posisi kerabat kita bahwa ini adalah saudaranya kakek atau ini adalah sepupu dari ibu dan lain-lain. Bagi keluarga yang rumahnya jauh dan tidak memungkinkan untuk dikunjungi baik karena biaya maupun yang lain, ajak silaturahmi dengan cara komunikasi via telepon atau media sosial. Jadi bukan dari awal memang sengaja tidak berkunjung untuk silaturahmi, bahkan berkunjung ke tempat wisata, tetapi silaturahmi diganti by phone/media sosial.
Kedua, larangan keras memutuskan tali silaturahmi. Ajari anak tentang keharusan silaturahmi dan larangan keras untuk memtuskannya. Kadang anak setelah dewasa menuruti keinginan-keinginannya dan bertengkar dengan orangtuanya atau kerabatnya sampai tidak mau memaafkan kesalahannya. Selanjutnya tidak saling menyapa atau memutuskan tali silaturahim. Ajari anak bagaimana cara berbakti kepada orangtua, bergaul dengan kerabat dan saling menghormati, saling membahagiakan dan saling memaafkan. Menjauhkan diri dari sifat tercela: iri, dendam, dengki, membicarakan kejelekan kerabat yang lain. Dengan itu ia senantiasa memperhatikan akhlak mulia dan jauh dari perpecahan persaudaraan. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (tali silaturahmi) (HR Muslim).
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Orang yang menyambung silaturahmi itu bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin. Akan tetapi, orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang pernah terputus (HR al-Bukhari).
Ketiga, ajari anak berbuat baik kepada kerabat dan menghormati mereka. Saat ada kerabat yang bertamu ke rumah kita, ajarilah anak untuk menyambut dengan wajah gembira, tidak pamer harta benda, mengajak bicara yang menyenangkan; bukan menyudutkan, menyindir dan menghinanya. Ajarilah anak-anak untuk menhormati tamu, melayaninya dan menyiapkan hidangan. Jika kerabat kita membutuhkan bermalam, maka wajib menerima, melayani dan menjamu mereka sebaik mungkin-semampu kita dan menghormati mereka selama tiga hari. Allah SWT berfirman:
وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ ٢٦
Berilah keluarga-keluarga yang dekat haknya, juga orang miskin dan orang yang dalam perjalanan (QS al-Isra’ [17]: 26).
Makna ayat di atas, menurut Ibn Abbas: Berilah keluarga-keluarga yang dekat haknya, yaitu bersilaturahmi kepada kerabat dan berbuat baik kepada mereka; juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dengan memuliakan kepada mereka/para tamu yang bermalam selama tiga hari (Ibn Abbas, Tanwîr Miqbas, hlm. 235).
Keempat, memberi hadiah dan memperhatikan kerukunan. Jika mereka miskin, mereka bisa diberi zakat atau sedekah dengan syarat mereka bukan orang yang nafkahnya dalam tanggungannya. Jika mereka mampu, mereka bisa diberi hadiah. Sambil bersilaturami, ajarilah anak kita memberikannya. Salah satu kemuliaan ajaran Islam adalah sunnah memberikan hadiah kepada orang lain. Hal ini akan melembutkan hati, menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang serta menghilangkan perasaan yang dapat merusak persaudaraan seperti hasad, dengki, dendam dan iri . Rasulullah saw. bersabda:
تَهَادُوا تَحَابُّوا
Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai (HR al-Bukhari).
Kelima, sebagai sarana dakwah, wajib silaturahmi baik kepada kerabat yang Muslim maupun yang non-Muslim. Tentu bukan berarti mendepankan silaturahmi, akhirnya toleransi kebablasan. Atau demi menjaga kerukunan/tali silaturami, tidak mendakwahi mereka karena khawatir terjadi perpecahan. Akan tetapi, tetap wajib mendakwahi mereka dengan lemah-lembut. Untuk yang non-Muslim didakwahi agar masuk Islam, dan ini tidak melibatkan anak, sebelum dia dewasa. Ajarilah anak untuk berdakwah kepada kerabat yang Muslim agar semakin bertakwa dan masuk Islam secara kâffah. Selanjutnya dakwah ini bisa disambung dengan pertemuan-pertemuan yang lain dan komunikasi via media sosial untuk saling mengingatkan agar tetap istiqamah di jalan yang benar dan sabar. Allah SWT berfirman:
وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Mereka saling menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran (QS al-‘Ashr [103]: 3).
WalLâhu a’lam. [Dr. Rahma Qomariyah]