Politisasi Islam
Tiap kali menjelang pemilu, perbincangan tentang Islam dan umat Islam selalu meningkat. Maklum, ini negeri mayoritas Muslim. Siapa saja yang ingin unggul dalam Pemilu harus memperhitungkan faktor ini. Yang abai, bersiaplah menanggung risiko pahit. Pilkada DKI lalu adalah contoh nyata. Meski berlaga dengan dana melimpah dan dukungan penuh Presiden dan segenap perangkat birokrasi, Ahok tetap saja tumbang. Tak kuasa melawan arus politik Islam yang melanda dia menyusul penghinaannya terhadap al-Quran.
Tidak aneh bila sejak dulu, setiap kekuatan politik di negeri ini, selalu berusaha merangkul kekuatan Islam. Pada masa Orde Baru, Golkar mendirikan Satkar Ulama. PDI-P yang notabene sering berseberangan dengan aspirasi Muslim pun punya Baitul Muslimin (Rumah Kaum Muslim). Kini, menjelang Pilpres 2019, koalisi capres Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI yang pernah menjadi tokoh kunci dalam pemidanaan Ahok, sebagai cawapresnya. Tentu ini sebuah paradoks. Bagaimana bisa, orang yang semula oleh Jokower dan Ahoker mungkin sangat dibenci, kini justru berada disisi tokoh yang sangat diidolakan? Namun, dalam politik itu tidaklah aneh. Apa saja bisa terjadi. Dalam politik katanya tak ada musuh dan kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan sendiri. Atas nama kepentingan itu, semua bisa dilakukan, termasuk memanfaatkan agama dan tokoh agama. Dari situlah politisasi Islam terjadi.
Politisasi Islam adalah menjadikan Islam sebagai alat untuk meraih kepentingan politik. Dalam Wikipedia.org, politisasi agama diartikan sebagai tindakan manipulasi pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan melalui propaganda, indoktrinasi, kampanye, sosialisasi dalam wilayah publik, diinterpretaskan agar terjadi migrasi pemahaman, dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan. Kemudian, dilakukan tekanan untuk mempengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan atau agenda politik. Ringkasnya, Islam—ibarat baju—dipakai ketika diperlukan dan ditanggalkan ketika sudah tak dibutuhkan.
Karena itu menjelang Pemilu, ramai para elit politik ‘macak’ (berhias) islami. Pakai songkok/peci. shalat subuh keliling kampung, melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren. menggandeng ulama dan lain. Setelah pemilu usai, mereka tinggalkan itu semua. Shalatnya mungkin masih. Peci atau sorban juga mungkin tetap dikenakan, tapi ya sebatas itu. Tak lebih. Mereka tetap melalaikan bahkan menolak prinsip-prinsip Islam dalam politik. Tetap dengan ringan menuduh siapa saja yang menginginkan tegaknya ajaran Islam sebagai radikal, intoleran dan tuduhan lain, lalu tak segan mempersekusi tokoh-tokohnya dan membubarkan organisasinya. Tidak ada lagi sikap dan narasi manis seperti yang mereka lakukan jelang Pemilu.
++++
Politisasi Islam atau politisasi agama secara umum tidak bisa dilepaskan dari cara pandang tentang relasi antara agama dan politik. Setidaknya ada tiga pola yang berjalan selama ini. Pertama: Islam dan politik terpisah jauh. Islam hanya ditempatkan dalam konteks hubungan individu dengan Tuhannya saja. Islam dianggap tidak punya kepentingan untuk memberikan arah pada pengaturan kehidupan rakyat karena bagi dia itu adalah masalah duniawi, sementara agama hanya konsern pada urusan ukhrawi.
Kedua: Islam diajak turut berperan, tetapi hanya pada masalah etika atau menjadi alat legitimasi ketika diperlukan. Dalam posisi ini, Islam tidak boleh terlibat terlalu jauh dalam urusan politik karena itu dianggap akan mengotori agama dan dianggap tidak sesuai dengan prinsip kebhinnekaan. Dengan berperan seperti ini, agama dianggap akan tetap terjaga kesuciannya dan netral dari berbagai tarikan kepentingan politik.
Ketiga: Antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Bahkan politik merupakan salah satu bentuk pengamalan Islam. Karena itu politik harus berdasar dan untuk kepentingan Islam. Bila politik diartikan sebagai pengaturan kehidupan rakyat, maka pengaturan itu harus berdasar Islam. Dalam keyakinan Islam, hanya bila masyarakat diatur dengan Islam akan tercipta kebaikan atau rahmat bagi semua.
Pilihan pola kedua apalagi pola pertama jelas mengingkari esensi dari ajaran Islam. Ini akan membuat Islam bagai agama yang lemah dan tidak memiliki banyak guna. Padahal Islam itu sejatinya diturunkan justru untuk kepentingan mengatur hidup manusia di dunia. Politik yang digerakkan oleh elemen yang menganut pola ini tak akan membawa masyarakat ke arah yang dicita-citakan Islam. Bila tampak mereka membawa Islam atau mengajak unsur Islam, seperti banyak terlihat dewasa ini, justru itu merupakan bukti nyata dari politisasi Islam. Pasalnya, Islam hanya dimanfaatkan untuk meraih kepentingan politik. Setelah itu, Islam ditanggalkan.
Pilihan umat Islam pada pola pertama dan kedua inilah yang boleh disebut sebagai pangkal dari kemunduran Islam dalam kancah politik, yang kemudian menjalar ke kemunduran di bidang-bidang lain. Pilihan ini pula yang membuat politisasi Islam yang dilakukan oleh berbagai kelompok politik bisa terus-menerus terjadi hingga sekarang. Parahnya, hal itu justru dinikmati oleh segelintir elit umat. Lalu ketika tujuan politik tercapai, itu dianggap sebagai “keberhasilan perjuangan”.
Maka dari itu, mestinya yang harus diambil adalah pola ketiga. Pola ini berkesesuaian dengan karakter Islam. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan antar manusia. Politik Islam berarti pengaturan urusan umat didalam dan luar negeri dengan hukum Islam. Sejarah membuktikan, Islam telah mengambil peran sangat nyata dalam perubahan-perubahan besar peradaban dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam konteks peran ketiga, secara pasti Islam akan berhadapan dengan tiga pertanyaan pokok. Pertama: Bagaimana Islam memposisikan atau melakukan penilaian terhadap masyarakat yang ada sekarang. Kedua: Gambaran tentang tatanan masyarakat ideal seperti apa yang dicita-citakan. Ketiga: Bagaimana perubahan masyarakat yang ada sekarang menuju masyarakat yang dicita-dicitakan itu akan dilakukan.
Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah mabda’ adalah mengubah masyarakat sesuai dengan visi dan cita-citanya mengenai transformasi sosial. Tidak hanya Islam. Bahkan semua ideologi menghadapi suatu pertanyaan pokok, bagaimana mengubah masyarakat dari kondisi yang ada sekarang menuju pada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Sebagai sebuah mabda’, Islam menderivasikan pemikiran-pemikiran sosialnya dari dalil-dalil untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat islami.
Oleh karena itu, jelas bahwa realitas sosial dalam kacamata Islam bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga diubah dan dikendalikan. Ini berakar pada misi ideologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar pada masyarakat dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai tauhidullah (mengesakan Allah). Tentu misi ini hanya mungkin bisa dilakukan ketika Islam ditempatkan pada pola ketiga.
Dengan demikan, menggunakan Islam sebagai dasar dalam berpolitik bukanlah politisasi Islam, melainkan islamisasi politik, yang saat ini justru makin tak diminati. Padahal ini merupakan kewajiban agung yang sangat mulia dan menjadi pangkal dari kebangkitan Islam di seluruh sektor kehidupan.
Alhasil, Politisasi Islam No, Islamisasi Politik Yes! [H.M. Ismail Yusanto]