State Guardian
Bila sebuah negara memerlukan pelindung atau penjaga, siapakah kiranya pihak yang pertama kali diharap melakukan hal itu? Pemerintah tentu. Pemerintahlah yang semestinya menjadi penjaga negara (the state guardian) yang utama. Pemerintah dengan segenap perangkatnya telah mendapatkan mandat dari rakyat untuk mengelola, mengatur dan tentu melindungi negara dari bahaya yang mengancam.
++++
Itu dulu. Sekarang tidak selalu begitu. Pada era sekarang, era korporatokrasi, saat dominasi perusahaan global demikian kuat, pemerintah atau tepatnya sebuah rezim yang telah tunduk pada hegemoni perusahaan itu, alih-alih bertindak sebagai the state guardian, justru bisa menjadi pihak pertama yang membawa negara ke dalam bahaya.
Korporatokrasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur kekuasaan, yakni korporasi-korporasi besar, partai politik, perbankan internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang telah terkooptasi dan elit nasional yang bermental komprador, pada level nasional maupun global untuk mencapai suatu tujuan kolektif. John Perkins dalam an Economic Hit Man menggunakan istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, berbagai korporasi global, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.
Pada prinsipnya korporatokrasi bekerja hampir sama dengan sistem kapitalisme bekerja. Akan tetapi, korporatokrasi tidak hanya menggunakan modal yang dia miliki untuk terus melakukan pengakumulasian modal. Lebih lanjut korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme itu sendiri. Dengan kata lain, korporatokrasi merupakan metamorphosis kapitalisme yang berkembang terus dalam proses dialektika dan seleksi alam yang menyertainya.
Setiap unsur dalam korporatokrasi bekerja erat satu sama lain guna membentuk suatu sistem yang menguntungkan mereka. Korporasi besar itu sendiri awalnya hanya bergerak dalam wilayah negara induknya saja. Namun kemudian, mereka melakukan ekspansi dan eksploitasi ke negara lain dengan tujuan untuk memperbesar akumulasi keuntungan.
Bagi mereka, kapitalisme tidak mengenal batasan batas negara. Juga tidak mengenal sistem nilai. Satu-satunya nilai yang diakui adalah hasrat akumulasi modal itu sendiri untuk memperbesar profit. Jalan apapun akan mereka tempuh untuk meraih tujuan itu. Maka dari itu, sejak dari dulu, pada masa VOC, misalnya, korporasi-korporasi besar melakukan penjajahan terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Di antaranya Indonesia. Caranya dengan melakukan pendudukan langsung atau dengan pengaturan regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari negara itu agar menguntungkan korporasi. Cara kedua itu dipermudah oleh elit birokrasi negara berkembang, termasuk Indonesia yang bermental komprador. Mereka tak segan menelorkan regulasi dan kebijakan yang jelas-jelas memihak korporasi tersebut karena pembuat kebijakan itu sendiri sudah tidak tahu siapa dirinya.
Pada masa sekarang, langkah itu juga dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga perbankan internasional (khususnya IMF dan World Bank). Lembaga-lembaga itu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada korporasi-korporasi besar tersebut. Negara sasaran di Dunia Ketiga harus mematuhi kebijakan lembaga internasional itu dengan dalih ketaatan pada perjanjian internasional.
Tujuan mutlak korporasi adalah mencapai keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal. Tak peduli bila hal itu sangat merugikan negara. Penelitian di AS menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dilakukan oleh mereka telah merugikan negara sebesar 300-500 miliar US dollar pertahun. Jika diperbandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan biasa (street crime), ada perbedaan yang sangat signifikan. Kejahatan biasa hanya membuat rugi 3,8 milyar US dollar pertahun. Belum lagi jutaan bahkan miliaran US dollar keuntungan yang didapat dari pengurasan sumberdaya alam di negara Dunia Ketiga yang terikat kontrak dengan korporasi-korporasi besar tersebut.
Dampak bagi negara Dunia Ketiga yang menjadi obyek korporatokrasi sangat jelas. Sumberdaya alam yang ada di negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Padahal mereka amat memerlukan dana besar untuk biaya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan lainnya. Walhasil, meski negara mereka kaya, kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya tetaplah memprihatinkan. Sebaliknya, elit politik mereka dan mereka yang menjadi bagian dari korporatokrasi menikmati gelimang kekayaan yang luar biasa.
Di Indonesia, kasus yang paling mencolok dan paling mendapat sorotan publik adalah kasus Freeport. Miliaran US dollar dihasilkan dari eksploitasi tambang Freeport. Bila dihitung sejak tahun 1967 hingga 2010 saja (43 tahun) telah dihasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 kg emas. Kalau diuangkan dengan patokan harga emas tiap gram sekarang Rp 500.000,-, maka jumlah uang yang dihasilkan kurang lebih adalah: 724 juta 700 ribu gram kali Rp 500.000,- = Rp 362.350 triliun. Belum lagi tembaga dan peraknya. Namun, kondisi masyarakat Papua dan rakyat Indonesia pada umumnya tetaplah hidup dalam kemiskinan.
Ironisnya, alih-alih eksploitasi Freeport melalui Kontrak Karya (KK) yang sangat merugikan rakyat dan negara itu dihentikan. Yang terjadi, KK yang bakal berakhir 2021 itu justru melalui MOU yang baru saja ditandatangani bakal diperpanjang hingga 2041. Bukan hanya mendapat perpanjangan kontrak, PT Freeport juga bakal mendapat dana sekitar 3,85 millar US Dollar atau sekitar Rp 55 triliun untuk melepas 51% (persisnya sekitar 41%) sahamnya kepada Pemerintah Indonesia. Padahal kalau ditunggu hingga 2021, tambang itu akan kembali sepenuhnya kepada negara. Mengapa justru diperpanjang?
Celakanya, tindakan konyol ini diframing oleh media massa, lalu dinarasikan sebagai sebuah prestasi besar Pemerintah dengan istilah-istilah bombastis seperti berhasil merebut atau mancaplok Freeport dan lainnya. Padahal aslinya barang tambang di Papua itu milik kita. Sudah semestinya selepas KK II berakhir 2021 nanti kembali kepada kita. Kitalah yang semestinya mengolah tambang itu. Menurut data, masih ada cadangan 4,3 juta ton ore emas yang bernilai lebih Rp 10.000 triliun. Belum termasuk perak dan tembaganya. Setelah tahun itu, kalau Freeport ingin terlibat, mestinya merekalah yang harus mengeluarkan uang untuk mendapat 49% saham. Mengapa jadi kita yang harus bayar mereka?
++++
Dalam sistem sekular saat nilai-nilai Islam dan ukuran halal-haram dalam politik diabaikan, yang dominan adalah nilai-nilai pragmatisme demi kekuasaan (power) dan uang (money) belaka. Kekuasaan diraih untuk mengumpulkan uang. Dengan uang itu kemudian kekuasaan dipertahankan. Power for money. Money for power. Begitu seterusnya. Untuk itu, semua cara akan dilakukan. Tak penting apakah itu merugikan negara atau tidak. Tak peduli juga, apakah itu membahayakan negara atau tidak. Jadi, masihkah percaya, pemerintah benar-benar akan bertindak sebagai the State Guardian? [H.M. Ismail Yusanto]