Menimbang Islam Nusantara
Kontroversi Islam Nusantara (disingkat: Isnus) kembali mengemuka setelah sebelumnya senyap sejak awal kemunculannya pada beberapa tahun lalu. Bukan tanpa sebab, kontroversi Isnus mencakup kontoversi istilah, konsepsi hingga isu politisasi. Bagaimana menyikapinya?
Kesesatan Paradigma Isnus
Dari aspek istilah dan konsepsi (al-ism wa al-musammâ), Isnus dihadirkan untuk menegaskan perbedaan antara praktik ke-Islam-an di Indonesia dan Timur Tengah. Hal ini berujung pada sikap merendahkan praktik keberagamaan apa yang mereka istilahkan “Islam Arab”, yang mereka tuding sebagai sumber konflik kekerasan yang berbeda dengan Isnus. Sikap seperti ini akhirnya mengundang kritik para tokoh Timur Tengah dalam banyak momentum ketika mereka berkunjung ke Indonesia dan berjumpa dengan penggiat Isnus, semisal Said Agil Siradj.
Ironisnya, sebagai sebuah konsep beragama, Isnus pun dianalogikan sebagai aliran mazhab dalam Islam yang harus diakomodasi sebagai corak keberagaman. Klaim ini bertolak belakang dengan kenyataan manakala Isnus digunakan untuk menghantam kelompok-kelompok kaum Muslim lainnya dan menjadi alasan untuk mencibir praktik ke-Islam-an di Timur Tengah. Dibuktikan dengan pengakuan jujur para penggiat Isnus yang menegaskan eksistensinya untuk memben-dung apa yang mereka namakan “kelompok radikalisme”, yang pada prinsipnya masih tergolong kelompok kaum Muslim.
Apalagi pada tataran konsepsi, Isnus mengusung ide-ide yang mengakomodasi nilai-nilai lokal budaya dan adat istiadat yang bias standar, rawan menjerumuskan pada sinkretis-me. Karena itu analogi tersebut adalah analogi yang cacat secara asasi (qiyâs ma’a al-fâriq) dan wajib ditimbang dengan standar Islam.
Keistimewaan Islam
- Standar Islam dalam Kehidupan.
Perlu ditegaskan bahwa Islam, baik istilah maupun konsepsinya, wajib digali berdasarkan petunjuk nas al-Quran dan as-Sunnah. Dari segi istilah, misalnya, Islam merupakan istilah syar’i yang menggambarkan konsepsi sempurna (dîn) yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk umat manusia baik bangsa Arab maupun ‘ajam. Islam mengatur segala aspek kehidupan mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan (kebatilan) menuju cahaya (Islam):
الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ
Alif, lâm râ. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepada kamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS Ibrahim [14]: 1).
Dalam ayat yang agung ini, Allah menyifati al-Quran sebagai Kitab Suci yang Dia turunkan kepada Rasulullah saw. dengan suatu hikmah, yakni untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini diungkapkan secara majazi (kiasan) dengan meminjam istilah (al-isti’ârah) untuk mengumpamakan Islam sebagai sesuatu yang baik (cahaya) dan kekufuran sebagai sesuatu yang buruk (kegelapan). Rasulullah saw. bersabda:
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ, وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian perkara yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu KitabuLlâh dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Hadis ini diungkapkan dalam bentuk kalimat syarat (jumlah syarthiyyah). Kalimat ini secara jelas menetapkan standar agung dalam kehidupan, demi meraih keselamatan dunia-akhirat, yakni dengan berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini menuntut setiap Muslim mengembalikan segala perkara pada keduanya. Termasuk tradisi dan adat-istiadat, keduanya wajib dipastikan agar senantiasa berada di atas rel Islam. Al-Quran pun menunjukkan celaan atas tradisi-tradisi nenek moyang yang tidak sesuai dengan Islam dan sikap taklid buta atasnya (lihat: QS. Al-Ma’idah [5]: 104). Disebutkan pula realitas penentangan kaum Musyrik Qurays atas dakwah Rasulullah saw. dan para sahabat yang meluruskan tradisi-tradisi kaum musyrik yang menyalahi Islam. Itu semua adalah bukti keistimewaan konsepsi Islam dalam membangun kehidupan.
Al-’Irbadh bin Sariyah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
عَلَيكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin al-mahdiyyin. Gigitlah oleh kalian (hal tersebut) dengan geraham yang kuat (HR Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Standar Islam ini pula yang harus dijadikan standar pembuktian atas klaim bahwa Isnus adalah refleksi Islam rahmatan lil alamin. Klaim ini hanya bisa terbukti dengan menunjukkan kesesuaian konsep Isnus dengan konsep al-Quran dan as-Sunnah (QS Ali Imran [3]: 103). Pasalnya, kerahmatan Islam bagi kehidupan mengandung makna menegakkan Islam—akidah dan syariahnya—secara kâffah hingga membuahkan kebaikan hakiki bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107; QS al-Qashash [28]: 86). Bukan dengan menundukkan Islam pada adat-istiadat atau apapun yang menyalahi Islam. Bagaimana mungkin berbuah jika akar dan batang pohonnya tidak ada atau rusak dipenuhi hama?
Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Saat menafsirkan ayat ini, Syaikh An-Nawawi al-Bantani asy-Syafii (w. 1316 H) dalam tafsirnya (II/62) menegaskan: “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syari’at-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya, bagi agama ini dan kehidupan dunia.”
Syaikh An-Nawawi pun menegaskan kewajiban mengamalkan keseluruhan ajaran Islam dalam kehidupan dalam turats-nya. Salah satunya Syarh Sullam at-Tawfîq (hlm. 8). Diperjelas petuah muridnya, Mbah Hasyim Asy’ari (w. 1366 H) dalam Al-Mawâ’izh yang berpesan agar kaum Muslim berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah, bukan fanatisme buta pada golongan, “Wahai kaum Muslim, bertakwalah kepada Allah, kembalilah kepada Kitab Rabb kalian (al-Quran), beramalah sesuai dengan Sunnah Nabi kalian. Teladanilah orang-orang shalih sebelum kalian, niscaya kalian akan beruntung sebagaimana mereka telah meraih keberuntungan, dan niscaya kalian akan berbahagia sebagaimana mereka berbahagia. Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian. Tolong-menolonglah kalian dalam menunaikan kebaikan dan takwa. Jangan kalian tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, niscaya Allah melimpahkan rahmat dan ihsan-Nya kepada kalian.”
- Kesempurnaan Dinul Islam.
Keistimewaan Islam mencakup kesempurnaan dan cakupan ajarannya yang menyeluruh mengatur segala aspek kehidupan manusia, IPOLEKSOSBUDHANKAM. Hal itu ditunjukkan oleh nas-nas al-Quran dan praktik kehidupan Rasulullahsaw. Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS an-Nahl [16]: 89).
Lihat pula QS al-Maidah [5]: 3, QS al-Baqarah [2]: 208 dan lainnya.
Kesempurnaan Islam ditunjukkan secara praktis dalam kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Ini merupakan standar hakiki keberislaman seseorang, bukan konsep beragama yang akhirnya justru mereduksi ajaran Islam.
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm (III/131) ketika menafsirkan QS. al-Maidah [5]: 50 menjelaskan, “Allah mengingkari siapa saja yang keluar dari hukum-Nya yang jelas mencakup seluruh kebaikan, mencegah dari segala keburukan, serta mengandung keadilan (bersih) dari segala hal selain al-Quran, berupa pandangan-pandangan pribadi, hawa nafsu serta istilah-istilah (menyesatkan, pen.) yang dibuat-buat oleh manusia tanpa mengaitkannya dengan syariah Allah, sebagaimana kaum jahiliah dulu berhukum dengannya berupa kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan.”
- Universalitas Dakwah Islam.
Di sisi lain wajib dipahami bahwa dakwah Islam bersifat universal. Hal ini meniscayakan visi dakwah tanpa melihat warna kulit (suku bangsa) dan asal-usul (wilayah), sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS Saba’ [34]: 28).
Hal ini diperjelas oleh QS al-A’raf [7] 158 dan QS al-Anbiya’ [21]: 107. Lafal kâffah menjadi petunjuk penting universalitas dakwah Islam. Lafal ini berkonotasi: sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagi ke dalam pecahan (mâni’ li ajzâ’ihi min al-tafarruq). Dengan kata lain, frasa kâffata li an-nâs menunjukkan bahwa dakwah Islam yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah dakwah untuk seluruh umat tanpa memandang batas-batas wilayah dan warna kulit. Ini meniscayakan visi persatuan kaum Muslim tanpa sekat-sekat ashabiyyah (fanatisme buta yang pada selain Islam).
Islam dan Visi Persatuan
Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas asas akidah Islam. Persatuan yang diikat dalam institusi kepemimpinan Islam (Al-Khilâfah al-Islâmiyyah). Hal itu tersurat dan tersirat dalam al-Quran, as-Sunnah dan aqwâl para ulama mu’tabar:
Pertama, Islam mewajibkan kaum Muslim menjadikan ikatan akidah Islam sebagai pengikat kaum Muslim (ukhuwwah islamiyyah) (QS al-Hujurat [49]: 10). Islam mengharamkan ikatan-ikatan jahiliah (ashabiyyah) yang bisa merusak kesatuan kaum Muslim seperti fanatisme buta pada kelompok, kesukuan, dan lainnya. Islam jelas mencela paham fanatisme buta (‘ashabiyyah), Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ, وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ, وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Bukan dari golongan kami siapa saja yang menyerukan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan). Bukan dari golongan kami siapa saja yang berperang atas dasar ‘ashabiyyah. Bukan dari golongan kami siapa saja yang mati di atas ‘ashabiyyah (HR Abu Dawud).
Sisi ini bertolak belakang dengan dampak negatif yang bisa dimunculkan oleh isu “Islam Nusantara” yang bisa memprovokasi kemunculan aliran-aliran lainnya yang bersifat regional atau domestik: “Islam Asia”, “Islam Prancis” dsb. Ini bisa dimanfaatkan oleh kaum imperialis dan liberalis untuk memecah-belah barisan kaum Muslim, mencegah persatuan mereka dan menghujamkan imperialisme di jantung negeri-negeri kaum Muslim. Strategi ini sejalan dengan strategi yang direkomendasikan Ariel Cohen kepada AS untuk menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan Khilafah (lihat: www.heritage.org). Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok “Islam radikal” adalah dengan cara membentur-kan kelompok tersebut dengan kelompok “Islam moderat”.
Kedua, Islam mewajibkan kaum Muslim menegakkan Khilafah sebagai institusi pemersatu kaum Muslim. Sebaliknya, Islam mengharamkan segala tindak-tanduk yang bisa memecah-belah jamaah kaum Muslim, seperti bughat (pemberontakan) atas Khilafah.
Kenyataannya, gagasan “Islam Nusantara” diusung oleh mereka yang selama ini aktif mengusung ide “Islam Moderat”. Ini merupakan refleksi lebih halus dari “Islam Liberal”. Hal ini meniscayakan ketidakbolehan penggunaan istilah ini. Pasalnya, setiap istilah yang berpotensi mereduksi ajaran Islam, sesat-menyesatkan serta memecah-belah barisan kaum Muslim maka tidak boleh digunakan. Ini sesuai dengan istidlâl para ulama atas QS al-Baqarah [2]: 104.
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I.]