Mendudukkan Gagasan Pokok Islam Nusantara
Sejatinya gagasan Islam Nusantara itu problematik secara istilah dan cacat secara metodologi. Apalagi Islam Nusantara telah menjadikan beberapa gagasan pokok yang sangat bias dan rawan disalahtempatkan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan respon atas poin tersebut, yakni mendudukkan gagasan pokok Islam Nusantara, seperti konsep tawasssuth, tawâzun, i’tidâl, tasâmuh, rahmatan lil ‘alamin, kesantunan serta konsep ukhuwah wathaniyah dan insaniyah.
Tawassuth, Tawâzun, I’tidâl dan Tasamuh
Sebagian kalangan mengatakan bahwa ada empat ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) khas Indonesia atau Nusantara yang bercermin dari ajaran Rasulullah saw. dan para sahabatnya, yaitu tawassuth (moderat/pertengahan), tawâzun (seimbang), i’tidâl (tegak lurus) dan tasâmuh (toleran).
Pertama: Tawassuth (moderat/pertengahan). Menurut penggagasnya, tawassuth dimaknai dengan sikap tengah-tengah, sedang, tidak ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan.
Sebenarnya konsep ini hanya ada pada tataran ekspresi beragama, bukan pada keyakinan beragama. Sebagai sebuah ekspresi, seorang Muslim seyogyanya tidak ekstrem/ketat (ifrâth) atau terlalu longgar (tafrith) dalam menyikapi perbedaan (ikhtilâf) ulama mu’tabar dalam masalah cabang (fiqih). Namun demikian, sebagai sebuah keyakinan, seorang Muslim harus berpihak (tidak di tengah-tengah), total (tidak setengah-setengah) dan ekstrem dalam memegang teguh prinsip kebenaran. Hal itu jelas berbeda dengan sikap ghuluw (berlebihan/melampaui batas) dalam beragama yang hukumnya haram.
Dalil yang biasa digunakan adalah al-Quran surat al-Baqarah ayat 143. Hanya saja, banyak yang harus diluruskan dalam memahami ayat ini. Allah SWT berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ
Demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS al-Baqarah [2]: 143).
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ummat[an] wasath[an] dan bagaimana kedudukan yang sebenarnya? Abu Said al-Khudri ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Al-wasath adalah al-‘adlu (adil).” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Selain bermakna adil, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan (Lihat: Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 7).
Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat manusia. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al-khiyâr (pilihan). Yang orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, Al-Taysir fî Ushul al-Tafsir: Surah al-Baqarah, hlm. 177).
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu bermakna umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan ajaran Islam. Bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Dengan demikian memaknai ummat[an] wasath[an] dengan sikap moderat (pertengahan) adalah tidak tepat.
Kedua: Tawâzun (seimbang). Sebagian kalangan menyatakan bahwa sikap tawazun ini sebagai keseimbangan dalam segala hal. Bahkan lebih jauh disamakan dengan konsep keadilan (al-‘adalah). Padahal secara istilah keseimbangan itu tidak selalu menunjukkan pada keadilan. Adil adalah lawan dari zalim. Adapun zalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Allah SWT berfirman,
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (QS al-Hadid [57]: 25).
Frasa “supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” bermakna kebenaran atau keadilan, yaitu mengikuti para rasul sesuai dengan berita yang disampaikan oleh mereka dan menaati mereka dalam semua yang mereka tegaskan. Pasalnya, apa yang disampaikan oleh para Rasul itu adalah kebenaran mutlak yang tiada kebenaran lagi di baliknya (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 8/27).
Jadi sikap tawâzun adalah sikap menerima sekaligus mengikuti kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Tawâzun bukan dimaknai dengan sebuah keseimbangan yang tanpa kaidah dan prinsip yang jelas. Kalaupun tawâzun ditarik pada konotasi seperti itu, maka lagi-lagi ini hanya terjadi pada tataran sikap beragama ketika menyikapi ikhtilaf yang diakui dan diterima di kalangan ulama; menempatkan suatu perkara pada porsi yang seharusnya atau bersikap proporsional.
Ketiga: I’tidâl (tegak lurus). Maknanya, tidak condong ke kanan atau ke kiri. I’tidâl ini harus ada dalam prinsip dan sikap beragama. Seorang dikatakan mengikuti prinsip i’tidal seharusnya kokoh dalam memegang teguh kebenaran (Islam). Tidak bisa dipalingkan dengan paham apapun yang bukan dari Islam. Tidak akan mengompromikan Islam dengan ajaran lainnya yang bertentangan dengan Islam. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menjadikan kalian berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada takwa. Bertakwalah kepada Allah karena sungguh Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan (QS al-Maidah [5]: 8).
Maksud dari ayat ini adalah: Jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah SWT. Bukan karena manusia atau mencari popularitas. Menjadi “saksi yang adil” yang menegakkan keadilan, bukan kezaliman. Janganlah sekali-kali kalian membiarkan perasaan benci terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka. Tegakanlah keadilan kepada setiap orang karena adil lebih dekat dengan takwa (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 3/61).
Merujuk pada penafsiran para ulama, i’tidâl adalah memegang teguh dan menegakkan kebenaran, bukan karena pertimbangan manusia dan harga diri, dan menolak segala bentuk kezaliman. Seorang Muslim yang berprinsip i’tidal tidak akan mengompromikan haq dengan batil, Islam dengan sekularisme.
Keempat: Tasâmuh (toleran). Tasâmuh dimaknai oleh penggagasnya dengan menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama, namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
Mengacu pada definisi tersebut, sebenarnya sikap toleran ini tidaklah bebas tanpa batas. Harus ada batasan, prinsip dan kaidah yang jelas. Agar tidak menjadi liar dan disalahgunakan.
Tasâmuh semata-mata ada dalam merespon perbedaan (ikhtilaf) fiqih di kalangan ulama mu’tabar (yang otoritatif). Itu juga terjadi pada ikhtilaf yang mu’tabarah maqbûlah (diakui dan diterima). Mana saja perbedaan pendapat yang terkategori ikhtilaf dan yang bukan, ada kaidah dan prinsipnya. Mana saja ikhtilaf yang mu’tabarah maqbûlah dan yang tidak dianggap dan tidak diterima, juga ada kaidah dan prinsipnya.
Adapun dalam masalah keyakinan (akidah) dan hukum syariah yang bersifat pasti (qath’i) tidak boleh dibangun sikap tasâmuh. Termasuk tidak boleh toleran dengan kemungkaran. Hal itu dijelaskan dalam banyak hadis Nabi saw. terkait dengan perintah mengubah kemungkaran.
Adapun firman Allah SWT:
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
Berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa as. dan Nabi Harun as.) kepada dia (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut (QS Thaha []: 44).
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Bukan mengakui prinsip atau keyakinan Fir’aun. Ini semata-mata terkait dengan cara penyampaian dakwah yang baik dan tepat sasaran. Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. kepada Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaidah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, III/206).
Apa yang dibawa oleh Nabi Musa as. dan Nabi harun as. adalah membawa ayat-ayat Allah; membawa hujjah, bukti dan mukjizat-Nya (Lihat: QS Thaha [20]: 42). Pasalnya, Fir’aun telah melampaui batas, yaitu membangkang, berlaku sewenang-wenang dan durhaka kepada Allah (Lihat QS Thaha [20]: 43).
Rahmatan lil ‘Alamin
Istilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin ketika dimaknai apa adanya, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama, bertolak belakang dengan prinsip Islam Nusantara. Islam rahmatan lil ‘alamin bersifat global. Islam Nusantara bersifat lokal. Islam rahmatan lil ‘alamin mengharuskan penerapan Islam secara total. Islam Nusantara justru seiring dengan gerakan sekularisasi di dunia Islam. Islam rahmatan lil ‘alamin mengharuskan fakta/tradisi/budaya tunduk pada Islam. Islam Nusantara mengharuskan Islam sesuai dengan adat/tradisi/budaya yang ada. Begitulah seterusnya.
Adapun jika rahmatan lil ‘alamin dimaknai sebatas kasih sayang dan ramah, selain rawan disalahpahami, juga bentuk pengerdilan terhadap sesuatu yang agung. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [29: 107).
Merujuk pada penjelasan Syaikh an-Nawawi Banten, “Tidaklah Kami utus engkau, wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, dalam rangka rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan.” (Nawawi al-Jawi, Tafsir Marah Labîd, II/47).
Dengan demikian pengertian rahmatan lil ‘alamin itu terwujud dalam realitas kehidupan ketika Nabi Muhammad saw. mengimplemen-tasikan seluruh risalah yang beliau bawa sebagai utusan-Nya. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum Muslim mengimple-mentasikan apa yang telah beliau bawa, yakni syariah Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi, menghambat dan menentang penerapan syariah Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan menghalangi rahmat bagi seluruh alam.
Kesantunan
Islam yang santun, jika yang dimaksudkan adalah perintah sopan santun kepada pemeluknya, adalah ajaran Islam. Bukan ajaran Islam Nusantara atau Islam Arab kalau ada. Perintah agar Muslim berakhlak baik tersebar dalam bayak ayat al-Quran dan al-Hadis. Jadi keliru jika ini kemudian dimonopoli oleh kelompok masyarakat Muslim tertentu.
Adapun terkait dengan karakter personal, itu sangat dipengaruhi oleh budaya tempat seorang Muslim dilahirkan dan dibesarkan. Sama sekali tidak berkaitan dengan konsep kesantunan, kecuali hanya kesan karena ekspresi sikap seseorang dalam perilaku. Muslim yang tinggal di Jawa, Sumatera dan Sulawesi akan menampilkan pembawaan sikap yang berbeda.
Berkaitan dengan santun dan berbuat baik, Islam sudah memiliki prinsip yang jelas dan tegas (Lihat, antara lain, QS an-Nisa’ [4]: 36).
Selain kesantunan, ajaran Islam juga memerintahkan bersikap keras pada kemungkaran dan kekafiran. Kapan harus lemah lembut dan berkasih sayang. Kapan harus bersikap keras (Lihat: QS al-Fath [48]: 29).
Ukhuwah Wathaniyah dan Insaniyah
Islam memerintahkan setiap Muslim untuk mengokohkan ikatan ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah berarti persaudaraan berdasarkan Islam. Ukhuwah islamiyah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan hati semua umat Islam walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda. Dengan itu setiap individu di umat Islam senantiasa terikat antara satu dengan lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh (Musthafa al-Qudhat, Mabda’ al-Ukhuwah fî al-Islâm, hlm. 14).
Jadi yang dikehendaki bukan ukhuwah yang bersifat lokal-primordial (wathaniyah). Ukhuwah semacam itu sangat rapuh karena landasannya bukan akidah Islam.
Adapun apa yang dinamakan ukhuwah insaniyah atau persaudaraan yang didasarkan atas dasar persamaan sebagai manusia adalah perkara yang masih belum jelas arah dan maksudnya. Jika yang dimaksud adalah penghormatan atas kemanusiaan seseorang, hal tersebut adalah perkara yang seharusnya. Begitulah ajaran Islam. Bahkan Allah memerintahkan kita memberikan kasih sayang kepada apapun yang ada di bumi itu. Bukan hanya manusia. Rasulullah bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ, ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Zat Yang Maha Pengasih (Allah). Berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada di bumi, niscaya Yang di Langit akan mengasihi kalian (HR at-Tirmidzi).
Namun, jika yang dimaksud adalah persaudaraan universal tanpa memperhatikan keyakinan dan sikap orang kafir terhadap Islam dan kaum Muslim, jelas ini adalah ide berbahaya. Paham ini akan melahirkan sikap welas asih meski kepada kafir penjajah yang memerangi umat Islam, senantiasa berbaik sangka (husn al-zhan) kepada semua rencana mereka kepada umat Islam. Bahkan lebih jauhnya lagi bisa menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan teman setia.
WalLâhu a’lam. [Yuana Ryan Tresna]
Penulis adalah Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung.