Tak Masuk Akal
Yakin tak masuk akal. Itulah kalimat pendek yang tampaknya sangat pas untuk menggambarkan situasi yang tengah terjadi di negeri ini. Banyak kasus atau kejadian yang benar-benar aneh. Semua itu secara pasti membawa negeri ini makin jauh dari harapan menjadi baldah thayyibah wa rabb[un] ghafûr.
++++
Sekadar contoh, lihatlah kasus kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu. Kelangkaan ini sempat membuat emak-emak harus antri sampai 4 – 5 jam untuk sekadar mendapat 1 liter minyak goreng. Bagaimana bisa hal memalukan itu terjadi di negeri yang dikenal sebagai salah satu produsen CPO terbesar di dunia?
Kelapa sawit di negeri ini sebagian besar ditanam di atas lahan milik negara. Perusahaan-perusahaan sawit itu dikasih HGU oleh negara. Bukan untuk 30 tahun seperti dulu, tetapi kini bisa sampai 90 tahun. Bila lahan itu masih dalam bentuk hutan, mereka tebang-tebang pohon di lahan itu, lalu kayu-kayunya dijual. Hasilnya lebih dari lumayan. Selain diberi lahan, perusahaan itu juga dikasih kebijakan, fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain. Dari tanaman kelapa sawit yang tumbuh di lahan milik negara itu, hasilnya diolah menjadi aneka produk, termasuk minyak goreng. Dari sana, perusahaan itu bisa meraup untung triliunan rupiah.
Anehnya, setelah mendapatkan semua kemudahan itu, kok bisa-bisanya minyak goreng itu dijual kepada rakyat Indonesia, sang pemilik sejati lahan-lahan itu, dengan harga mahal, Rp 20 ribu – Rp 30 ribu perkilogram. Di Malaysia, yang lahan kelapa sawitnya tidak seluas Indonesia, minyak goreng disubsidi sehingga harganya hanya Rp 8.500/kg.
Lebih konyol lagi, pemerintah malah menalangi minyak goreng ini agar bisa dibeli murah oleh rakyat melalui operasi pasar. Lagi-lagi pakai uang negara. Mengapa negara tidak bisa memaksa mereka yang sudah menggunakan lahan milik negara puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar itu untuk menjual minyak goreng dengan harga murah? Mengapa juga lahan-lahan milik negeri itu tidak dikelola sendiri agar hasilnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat? Mengapa juga malah diserahkan kepada swasta, yang ternyata akhirnya malah menyusahkan rakyat?
Kasus kurang lebih sama terjadi juga pada batubara. Melalui UU Minerba tahun 2020, pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) bisa mendapatkan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula. Jika mengacu pada UU Minerba lama tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Namun, ketentuan yang lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan baru tadi, yang sangat jelas lebih mengutamakan pemilik PKP2B, yang tak lain adalah para pengusaha besar, yang hampir seluruhnya terhubung dengan kekuatan politik mutakhir negeri ini.
Hebatnya lagi, perpanjangan izin itu bahkan diberikan secara otomatis, nyaris tanpa evaluasi, karena dibubuhi kata “diberikan jaminan” perpanjangan 2 kali 10 tahun, dengan opsi 2 kali 10 lagi. Total masa konsesi bisa mencapai 40 tahun. Pada aturan sebelumnya hanya menggunakan diksi “dapat diperpanjang”.
Ketentuan ini tentu sangat aneh. Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat jutru bertindak merugikan rakyat yang mereka wakili itu. Padahal potensi tambang batubara yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangatlah besar. Bisa mencapai 20,7 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton, dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset itu mencapai Rp 13.730 triliun. Faktanya sekarang harga batubara bisa mencapai lebih dari 140 USD/ton atau dua kali lipat. Artinya, potensi ladang batubara tadi bisa mencapai lebih dari Rp 26.000 triliun. Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta? Lebih tidak masuk akal lagi, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus, juga mendapatkan tambahan keistimewaan, berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). Apa yang didapat negara dengan royalti 0%?
Melihat itu semua, di mana mereka yang selama ini gembar gembor ‘Aku Indonesia, Aku Pancasila’? Eh, sebagian dari mereka malah kena OTT. Sebagiannya lagi ternyata adalah mereka yang justru terlibat dalam lahirnya UU yang tidak masuk akal itu. Kekayaan alam yang menurut teori harusnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, nyatanya telah dibuat sebegitu rupa oleh mereka yang ngaku Pancasila itu, untuk kemakmuran oligarki dan kelompok elit penguasa.
Di bidang hukum lebih banyak lagi perkara yang sangat tidak masuk akal. Ada lebih 40 laporan kepada pihak berwajib terkait aneka kasus yang melibatkan para buser pro rezim yang mangkrak, tidak ditinjaklanjuti. Sebaliknya, jika ada laporan yang melibatkan penentang rezim, meski sebenarnya bukan pelanggaran hukum, mereka cepat bertindak. Lihatlah apa yang menimpa HRS, Edy Mulyadi, Munarman dan banyak lagi yang lain. HRS yang menyatakan dirinya sehat, karena memang sehat, dituduh melakukan kebohongan publik yang menimbulkan keonaran publik. Edy Mulyadi, yang menggambarkan saking terpencilnya lokasi IKN dengan ungkapan tempat jin buang anak – sebuah ungkapan yang sebenarnya biasa saja – didakwa telah melakukan tindakan SARA. Munarman didakwa telah menyembunyikan informasi terkait terorisme karena hadir dalam beberapa forum yang diadakan oleh kelompok yang kala itu tidak atau belum dinyatakan sebagai teroris. Lalu sekarang dianggap terlibat dalam terorisme. Jika begitu caranya, maka semua hal yang ini hari legal – termasuk yang dilakukan oleh rezim – bisa menjadi ilegal di suatu hari, mengikuti selera hukum penguasa baru nanti.
Sebaliknya, yang jelas-jelas harus dianggap melanggar hukum, seperti LGBT, malah ditolelir dengan alasan hak asasi manusia dan demokrasi. Mestinya dengan alasan serupa, dakwah dan perjuangan khilafah, juga dibiarkan, mengapa malah dilarang dan dikriminalisasi?
++++
Nyatalah inkonsistensi, double standard, kekaburan dan sikap terbalik-balik yang melahirkan banyak sekali ketidakadilan itu telah menjadi warna dominan dalam perjalanan bangsa ini hari. Ini semua terjadi karena dua faktor utama. Pertama: Faktor kepentingan, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Ketika kepentingan telah menjadi dasar dalam pengaturan negara, maka yang disebut baik adalah yang selaras dengan kepentingan itu. Sebaliknya, yang bertentangan akan dianggap buruk. Kedua: Faktor ideologi sekuler. Sekularisme telah menyingkirkan aspek ruhiyah dalam sistem yang diadopsi negeri ini. Kesadaran akan keimanan, ketakwaan dan ketundukan pada syariah Allah serta pertanggungjawaban di Akhirat nanti telah lenyap dalam derap kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua semata dibaca dalam kerangka duniawi, demi meraih kepentingan tadi.
Oleh karena itu, mengharapkan keadilan—yang merupakan buah dari konsistensi dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara serta lahirnya kebijakan atau tindakan yang jelas dan tegas dalam menangani berbagai perkara—akan sia-sia belaka. Ketidakkonsistenan itulah konsistensi mereka. Ketidakmasukan akal itulah yang masuk akal bagi mereka. Akal yang sudah diselimuti hawa nafsu kerakusan dunia, mengabaikan syariah Allah, tetapi tetap mengharap surga-Nya. Di mana logikanya? [H. M. Ismail Yusanto]