Ikhtilâth Dalam Acara Keluarga
Soal:
Dalam kunjungan keluarga atau silaturahmi pada hari raya dan lainnya, suami saudara perempuan bertemu (berkumpul) dengan istri saudara laki-laki, atau putra paman dengan putri paman, atau istri saudara laki-laki dengan saudara laki-laki, dan begitu seterusnya; disertai dengan adanya mahram di rumah dan di satu majelis. Bagaimana hukum syariah dalam masalah ini?
Jawab:
Pertama: Di dalam Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ’i dijelaskan tentang silaturahmi sebagai berikut:
Yang tampak dari hadis-hadis itu adalah bersifat umum, mencakup setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan (arhâm); baik mahram maupun bukan; baik dari para ‘ashabah maupun dzawil arhâm. Mereka semua itu dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan (arhâm).
Banyak hadis yang menyinggung silaturahmi ini. Misalnya saja sabda Rasulullah saw.:
لاَ يَدْخلُ الجْنَّةَ قَاطِعُ رَحِمِ
Tidak akan masuk surga orang yang memutus (hubungan) kekerabatan (rahim) (HR Muslim).
Anas bin Malik ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَه في رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ [متفق عليه]
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah dia menyambung hubungan kekerabatannya (Muttafaq ‘alayh)
Semua ini menunjukkan dorongan untuk menjalin silaturahmi. Silaturahmi ini menunjukkan sejauh mana hubungan silaturahim dan kasih sayang di antara komunitas Islam yang ditetapkan Allah SWT dalam hal menjalin silaturahim dan tolong menolong di antara kerabat. Silaturahim juga menunjukkan sejauh mana perhatian syariah Islam terhadap pengaturan pergaulan pria dan wanita, serta pengaturan segala hubungan yang muncul dan menjadi implikasi dari adanya pergaulan tersebut…
Kedua: Di dalam Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ’î, dalam “Al-Hayâh al-Khâshshah,” dinyatakan:
Hukum Islam telah memelihara kehidupan khusus di rumah dari para pengetuk pintu yang hendak memasukinya. Tidak dibedakan apakah mereka itu orang-orang asing (non-mahram), mahram kerabat, maupun sanak keluarga.
Di antara hukum-hukum kehidupan khusus di dalam rumah adalah seorang wanita hidup bersama para wanita atau bersama mahram-nya. Alasannya, karena terhadap merekalah seorang wanita boleh menampakkan bagian anggota tubuh tempat melekatnya perhiasannya, yang memang tidak dapat dihindari perlu ditampakkan dalam kehidupan khusus di dalam rumah. Selain sesama kaum wanita atau orang-orang yang bukan mahram-nya tidak boleh hidup bersama mereka. Sebabnya, seorang wanita tidak boleh menampakkan kepada mereka bagian anggota tubuh tempat melekatnya perhiasannya, yaitu bagian-bagian tubuh yang biasa tampak dari seorang wanita pada saat melakukan aktivitas di dalam rumah, selain wajah dan kedua telapak tangannya.
Jadi, kehidupan khusus dibatasi hanya untuk wanita—tanpa dibedakan apakah Muslimah ataukah bukan Muslimah, karena semuanya adalah termasuk wanita—dan para mahram-nya. Ketentuan ini—yakni wanita dilarang menampakkan anggota tubuh yang menjadi tempat perhiasannya terhadap pria asing (non mahram), tetapi tidak dilarang terhadap para mahram-nya— merupakan bukti yang jelas bahwa kehidupan khusus dibatasi hanya untuk para mahram saja…
Dalam QS an-Nur [24] ayat 31, status hamba sahaya disamakan dengan para mahram. Demikian pula orang-orang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap wanita, seperti orang yang telah tua-renta atau pikun, orang yang dikebiri, atau orang yang terpotong alat kelaminnya, ataupun orang-orang semacam itu yang tidak lagi memiliki hasrat seksual terhadap wanita. Orang-orang semacam inilah yang boleh berada dalam kehidupan khusus. Para pria asing (non-mahram), yakni selain yang disebutkan di atas, sama sekali tidak boleh berada dalam kehidupan khusus, sekalipun mereka adalah para kerabat yang bukan mahram-nya. Alasannya, terhadap mereka, wanita tidak boleh menampakkan bagian anggota badan tempat melekatnya perhiasannya, yakni yang biasa tampak di dalam rumahnya.
Dengan demikian, interaksi antara pria asing (non-mahram) dengan wanita di dalam kehidupan khusus hukumnya haram secara mutlak, kecuali pada keadaan-keadaan tertentu yang telah dikecualikan oleh syariah Islam, seperti pada acara jamuan makan dan silaturahmi, dengan syarat wanita disertai mahram-nya dan menutup seluruh auratnya.
Ketiga: Kami pun telah menjelaskan hal itu di sejumlah Jawab-Soal. Di antaranya dalam Jawab-Soal pada 28/02/2010 M dinyatakan sebagai berikut:
Adanya pria dan wanita di kehidupan islami yang disetujui oleh Rasul saw. Dalil-dalil syariah yang mengatur muamalah syar’iyyah antara pria dan wanita. Semua itu telah dijelaskan dengan jelas. Telah dikeluarkan lebih dari satu jawaban dalam perkara ini…
Meski demikian, dalam risalah ini, saya akan menambah dalam perkara tersebut penjelasan yang lebih banyak dengan izin Allah, dengan harapan akan menghilangkan kesamaran apapun dalam masalah ini:
Kehidupan umum berarti adanya pria dan wanita di tempat-tempat umum yang memasukinya tidak memerlukan izin. Ini memiliki hukum-hukum syariah yang mengatur pria dan wanita di dalamnya.
Kehidupan khusus adalah di tempat-tempat yang memasukinya memerlukan izin seperti rumah. Ini pun memiliki hukum-hukum syariah yang mengatur pria dan wanita di dalamnya.
Adapun kehidupan khusus “rumah” maka perkaranya jelas. Kehidupan para wanita di situ bersama mahram mereka dan tidak bersama orang asing. Hanya saja, jika ada nas dalam keadaan tertentu seperti silaturahmi, maka boleh seorang kerabat laki-laki mengunjungi kerabat wanitanya meski tidak ada mahram, semisal putra paman pergi dan menyampaikan salam kepada putri paman pada hari raya. Tentu saja tanpa khalwat dan tanpa tersingkapnya aurat, seperti dia pergi bersama bapaknya atau pamannya dan menyambung kekerabatannya hinga meskipun wanita itu tanpa marham.
Adapun kehidupan umum, jika di situ ada keperluan yang dibenarkan oleh syariah untuk bertemunya pria dan wanita di dalamnya, maka pertemuan ini boleh menurut syariah. Kami katakan menurut syariah karena di situ ada hukum-hukum syariah yang mengatur pertemuan ini sebagai berikut:
Wajib adanya pemisahan barisan pria dari wanita jika ada keperluan yang didalamnya dibenarkan oleh syariah untuk berkumpul antara pria dan wanita, jika tujuan bagi orang-orang yang berkumpul itu satu (sama). Misalnya, adanya pria dan wanita untuk shalat, atau menghadiri pengajaran ilmu, atau seminar dalam dakwah, atau untuk aktivitas umum dakwah. Dalam keadaan ini boleh keberadaan pria dan wanita itu disertai pemisahan barisan. Ini kadang-kadang disebut kehidupan umum dengan hukum-hukum khusus, yakni bahwa di situ ada tatacara yang khusus untuk keberadaan pria dan wanita.
Tidak adanya kewajiban pemisahan barisan di kehidupan umum jika ada keperluan yang di dalamnya disetujui oleh syariah atas keberadaan pria dan wanita jika tujuannya berbeda-beda untuk orang-orang yang berkumpul. Misalnya, adanya pria dan wanita di pasar atau di jalan atau di taman umum atau ketika naik di bus umum. Ini ada dua macam: Pertama, tujuan yang berbeda di situ tidak dapat ditunaikan kecuali dengan adanya ikhtilâth (campur-baur), berdekatan dan berbincang-bincang, semisal jual-beli di pasar. Dalam hal semacam ini boleh terjadi ikhtilâth. Kedua, tujuan yang berbeda di situ dapat ditunaikan tanpa ikhtilâth, yakni tanpa campur-baur berdekatan dan berbincang, seperti naik bus umum, di taman umum dan berjalan di jalan. Dalam hal semacam ini boleh keberadaan pria dan wanita di situ tanpa ikhtilâth, yakni tanpa campur-baur, berdekatan dan berbincang, tetapi mungkin keberadaan pria dan wanita secara berdekatan, masing-masing untuk tujuannya sendiri, tanpa berbincang bersama, seperti berjalan di jalan, berada di taman umum dan naik bus umum…
Lalu dalam Jawab-Soal pada 06/06/2016 dinyatakan:
Ikhtilâth, yakni berkumpulnya pria dan wanita asing adalah haram jika bukan untuk keperluan yang berkumpulnya disetujui oleh syariah…Adapun jika untuk keperluan yang berkumpulnya pria dan wanita disetujui oleh syariah, yang mana tujuan itu tidak dapat ditunaikan kecuali dengan berkumpul (bertemu), maka boleh.
Ada dalil-dalil yang menyetujui pertemuan untuk keperluan-keperluan yang telah dijelaskan oleh syariah, baik di kehidupan khusus atau di kehidupan umum. Misalnya, di kehidupan khusus bersama dengan kerabat. Ada dalil-dalil syariah yang memperbolehkan shilaturahmi, makan dan menjenguk orang yang sakit; dan di kehidupan umum untuk mengobati orang yang terluka di peperangan, . mendatangi pasar, shalat di masjid, menghadiri majelis-majelis ilmu, berhaji. Semua itu sesuai dengan hukum-hukum syariah dari sisi pemisahan barisan seperti masjid dan seminar umum, atau tanpa pemisahan barisan seperti pasar dan haji.
Silaturahmi bukan hanya untuk kerabat yang mahram saja, tetapi juga untuk kerabat yang bukan mahram seperti putri paman (Lihat: “Shilaturahmi” di dalam Kitab Nizhâm al-Ijtimâ’î). Ini boleh bagi kerabat-kerabat untuk saling mengunjungi pada hari raya atau dalam berbagai momen dan mereka duduk bersama; yakni silaturahmi untuk menanyakan kesehatan dan keadaan, menjenguk yang sakit dari mereka, memenuhi berbagai kebutuhan dan semacamnya, dll; tetapi tidak duduk bersama untuk bermain kartu, misalnya atau keluar bersama untuk tamasya dan mereka duduk bersama di taman mengobrol ke sana ke mari. Ini tidak boleh.
WalLâh a’lam wa ahkam. []
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah pada 16 Ramadhan 1443 H/17 April 2022 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/81548.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/531770605176980