Kejahatan Barat dan Hipokrisi Demokrasi
Inna lilLâhi wa inna ilayhi râji’ûn. Muhammad Mursi, mantan Presiden Mesir, telah menunjukkan keberanian dan ketabahannya melawan kezaliman diktator al-Sisi hingga akhirnya hayatnya. Tokoh Ikhwanul Muslimin ini meninggal dunia, Senin (17/6) setelah sempat pingsan dalam persidangan. Terpilih secara demokratis pasca Arab Spring, ia lalu dikudeta militer Mesir di bawah pimpinan diktator Jenderal al- Sisi. AlLâhummaghfirlahu warhamhu…
Selama masa tahanan, Mursi mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Menurut Muhammad Sudan, pemimpin Ikhwanul Muslimin yang tinggal di London, kematiannya merupakan pembunuhan berencana. Selama di penjara. Mursi diisolasi. Tidak dizinkan dikunjungi oleh siapapun kecuali keluarga dekatnya. Itu pun hanya tiga kali. Mursi juga tidak mendapatkan pelayanan medis yang semestinya. Tidak hanya itu, pihak berwenang menolak untuk mengizinkan Mursi dimakamkan di provinsi asalnya, Sharqiya di Delta Nil.
Amnesty Internasional mendesak agar kematian Mursi diselidiki. Wakil direktur organisasi Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Magdalena Mughrabi, mengatakan, “[Mursi] ditahan di sel isolasi selama hampir enam tahun, yang berdampak besar atas kesehatan mental dan fisiknya … Dia secara efektif terputus dari dunia luar.”
Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah, Sarah Leah Whitson, mengatakan bahwa kematian Mursi “mengerikan tetapi sepenuhnya dapat diprediksi”.
Sangat jelas Mursi mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari rezim represif Mesir saat ini. Kondisi yang sama terjadi pada tahanan politik lainnya, terutama dari Ikhwanul Muslimin. Catatan hitam rezim al-Sisi bukan hanya itu, saat terjadi kudeta militer, al-Sisi bertanggung jawab atas meninggalnya sedikitanya 800 orang dalam aksi damai mendukung presiden terpilih Mursi di Lapangan Raba al-Adwiya. Lembaga pemantau HAM Internasional (Human Right Watch) menyatakan pembantaian itu merupakan pembunuhan terburuk dalam sejarah modern sebuah negara. Pasukan keamanan Mesir menggunakan kekuatan mematikan untuk mengusir aksi duduk pada 14 Agustus 2013.
Perlu dicatat, kebrutalan rezim al-Sisi tidak bisa dilepaskan dari dukungan Barat terhadap diktator ini. Ini jelas merupakan kejahatan negara Barat. Atas nama perang melawan radikalisme dan terorisme, al-Sisi seolah mendapatkan legitimasi dari Barat untuk melakukan tindakan keji terhadap rakyatnya sendiri. Sudah dimaklumi, rezim militer Mesir selama ini benar-benar di bawah kontrol Amerika Serikat. Bisa disebut, apapun yang dilakukan boneka Amerika, tidaklah mungkin tidak atas persetujuan Amerika. Paling tidak Amerika melakukan pembiaran terhadap kejahatan rezim represif ini.
Sejarah dukungan Amerika ini bukanlah pertama kali. Sejak Mesir di bawah kendali Amerika berbagai rezim diktator seperti Anwar Sadat dan Husni Mubarak, Amerika memberikan dukungan penuh. Setiap tahun sejak 1987, Amerika memberikan bantuan militer sebesar $1,3 miliar. Sebagai sanksi pembantaian Raba al-Adwiya, pada masa Obama, bantuan ini pernah dibekukan. Termasuk menunda pengiriman jet tempur, tank dan rudal.
Donald Trump akhirnya mengumumkan pencairan dana bantuan Amerika itu meskipun pemerintah al-Sisi belum sepenuhnya memenuhi syarat AS. Departemen Luar Negeri membenarkan keputusan itu dengan mengatakan “kerjasama keamanan yang diperkuat penting bagi keamanan nasional AS”.
Amerika kembali menunjukkkan sikap hipokritnya. Mengklaim menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, namun mendukung rezim al-Sisi yang brutal.
Sungguh inilah sejatinya Amerika. Negara teroris yang melakukan tindakan-tindakan teroris untuk kepentingan penjajahnya. Perang melawan terorisme dan radikalisme hanya alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan terorisme Amerika. Untuk menjalankan kebijakan penjajahannya ini, Amerika menggunakan para penguasa regional represif yang menjadi boneka dan kaki tangannya. Para penguasa represif ini juga menggunakan cara-cara yang sama dengan tuannya atas nama kerjasama internasional memerangi terorisme dan radikalisme. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa perang melawan terorisme dan radikalisme sejatinya adalah perang Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Islam dan kaum Muslim.
Apa yang dialami Mursi dan kelompok-kelompok Islam di Mesir kembali memperkuat anggapan bahwa demokrasi hanyalah ilusi. Demokrasi hanya berlaku ketika kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya aman. Sebaliknya, meskipun menang secara demokratis dalam Pemilu pertama yang demokratis di Mesir, Mursi tetap saja disingkirkan karena dianggap tidak sepenuhnya bisa mengamankan kepentingan Amerika. Bagaimanapun, Mursi dengan Ikhwanul Muslimin dianggap tetap berbahaya, karena mengusung aspirasi umat Islam untuk menegakkan syariah Islam. Perkara ini dianggap mengancam kepentingan Amerika.
Hal ini melengkapi kegagalan jalan demokrasi lainnya, seperti di Aljazair dan Palestina. FIS di Aljazair, meskipun menang secara demokratis, diberangus dengan alasan menginginkan penerapan syariah Islam. Barat mengggunakan boneka-bonekanya dari rezim militer untuk mengganjal kemenangan FIS. Di Palestina, jelas-jelas Hamas mendapatkan dukungan dalam Pemilu demokratis di Palestina dengan mengalahkan kubu Fatah. Namun, karena tidak sejalan dengan kepentingan Amerika, Hamas ditekan hingga kini. Demokasi menjadi jalan pahit dan sulit bagi umat Islam untuk menegakkan syariah Islam secara totalitas.
Karena itu penting bagi umat Islam untuk berjuang dengan menempuh manhaj Rasulullah saw. Rasulullah saw. sejak awal dengan tegas menyampaikan tujuan perjuangannya, yakni untuk menegakkan Islam, bukan yang lain. Beliau juga tidak pernah berkompromi dengan sistem kufur yang ada meskipun sedikit untuk mencapai tujuan itu. Sebab berkompromi berarti mencampurkan yang hak dan batil. Kompromi adalah bentuk kekalahan kebenaran berhadapan dengan kebatilan.
Dalam perjuangannya, Rasulullah saw., selain bertumpu pada kesadaran masyarakat yang menginginkan Islam, juga melakukan thalab an-nushrah. Berusaha mendapatkan dukungan dari ahlul quwwah yang memiliki kekuasaan yang nyata (riil). Dukungan yang didasarkan pada pemihakan pada Islam dan dukungan penuh terhadap perjuangan Rasulullah saw. Saat itu ahlul quwwah yang memberikan nushrah adalah pemimpin kabilah utama dari Madinah, Aus dan Khazraj. Mendapatkan dukungan ahlul quwwah menjadi titik kunci yang penting bagi keberhasilan Rasulullah saw., membangun cikal bakal Negara Islam di Madinah, disamping membangun kesadaran masyarakat. Inilah jalan yang harus kita ikuti. Inilah jalan yang menghantarkan kemenangan sejati. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]