Dari Redaksi

Politik Mengatasnamakan Agama

Pernyataan tokoh agamawan yang mengkritisi Gerakan 212 sebagai gerakan politik yang mengatas-namakan agama membuat diskursus hubungan Islam dan politik kembali mencuat. Pernyataan tokoh agamawan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari episentrum pertarungan politik di negeri ini.

Jelas, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ajaran yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3). Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik. Dalam al-Quran, Allah SWT menjelaskan tentang kewajiban menaati ulilamri (QS an-Nisa’ [4]: 59). Menurut para ulama, ulil amri adalah penguasa. Penguasa dan kekuasaan tentu perkara yang tidak bisa dilepaskan dari politik.

Saat menjelaskan ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Karena itu mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula nabi lain selain nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad saw. llah ‘Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Karena itu tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali yang beliau syariatkan.”

Inilah jaminan Allah SWT tentang kesempurnaan Islam.

Politik (siyâsah) dalam pengertian pengaturan urusan-urusan umat manusia (rakyat) menjadi penting. Islam memerintahkan agar umat Islam mengatur segala urusan mereka baik individidu, keluarga, masyarakat hingga negara berdasarkan syariah Islam. Terdapat banyak ayat al-Quran maupun al-Hadis yang mengatur urusan-urusan umat manusia ini. Kewajiban berhukum pada syariah Islam secara totalitas tentu termasuk dalam perkara politik yang mengatur urusan umat manusia ini.

Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, menyebut dua perkara yang menjadi tanggung jawab kepala negara atau Khalifah, yakni menjaga agama (hirâsah ad-dîn) dan mengatur urusan-urusan dunia (siyâsah ad-dunyâ’). Dua-duanya tentu harus diatur berdasarkan syariah Islam. Hal yang sama dinyatakan oleh Imam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Nizhâm al-Islâm, “Islam adalah agama dan termasuk di dalamnya adalah ajaran bernegara.”

Rasulullah saw., yang wajib menjadi qudwah dalam segala perkara, telah menunjukkan kepada kita bagaimana Islam sebagai agama yang sempurna itu dipraktikkan. Beliau bukan hanya rasul, utusan Allah SWT yang  menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Beliau juga adalah kepala negara, qâdhi (hakim), panglima perang, dan yang lainnya. Kita tetu diperintahkan untuk menaati Rasulullah saw. dalam segala perkara. Tentu termasuk urusan politik.

Rasulullah saw. juga memberikan banyak pedoman kepada kita terkait dengan penguasa dan kekuasaan. Ini  menunjukkan Islam memang mengatur masalah kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan dari politik. “Rasulullah saw. mengajak kami untuk berbaiat. Lalu kami berbaiat kepada beliau. Baiat tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu mentaati penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau bersabda, ‘Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah.’” (HR Muslim).

Jelas hadis ini mengatur masalah politik, yaitu bagaimana sikap kita terhadap penguasa. Rasulullah saw. juga menegaskan tentang kewajiban melakukan muhâsabah lil hukkâm (mengoreksi penguasa). Beliau bahkan memuliakan aktivitas politik ini dengan sebagai jihad yang paling utama. Nabi saw. bersabda, “Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Adapun kekhawatiran tentang adanya pihak-pihak yang berpolitik dengan mengatasnamakan agama, tentu bisa dipahami. Hanya saja, kekhawatiran ini bukan berarti menegasikan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Apalagi menggunakan opini mengatasnamakan agama untuk menyerang setiap aktivitas politik umat yang tidak sejalan dengan penguasa atau mengancam penguasa. Karena itu, untuk bisa membedakan mana yang mengatasnamakan agama, mana yang sebaliknya, tentu harus ada pedomannya.

Aktivitas politik yang bukan sekadar mengatasnamakan agama, tetapi benar-benar berdasarkan Islam, paling tidak harus memenuhi tiga syarat:  Pertama, berdasarkan Islam serta untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Kedua, benar-benar menjadikan akidah Islam dan syariah Islam sebagai pedoman. Ketiga, berorientasi pada kekuasaan yang benar-benar digunakan untuk menjaga agama (hirâsah ad-dîn) dan menerapkan syariah Islam secara kaffah untuk mengatur urusan-urusan umat. Kalau tidak memenuhi tiga syarat tersebut, patut diduga aktivitas politik itu hanya sekadar mengatasnamakan agama.

Maka dari itu, termasuk hanya mengatasnamakan agama jika ada elit politik saat kampanye menjelang Pemilu memakai simbol-simbol agama, dengan memakai jubah dan sorban, mendatangi pesantren, bahkan menjadi imam shalat. Namun, saat berkuasa, elit politik itu malah memusuhi syariah Islam, membubarkan kelompok dakwah yang memperjuangkan Islam, atau mengkriminalisasi ulama. Inilah yang dimaksud mengatasnamakan agama. Termasuk kelompok agamawan, yang berupaya membela dan membenarkan tindakan zalim penguasa dengan menggunakan dalil-dalil agama. Inilah yang pantas disebut mengatas-namakan agama bahkan menjual agama dengan harga murah. Inilah perkara yang dilaknat oleh Allah SWT.

Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + thirteen =

Back to top button