Dunia Islam

Konspirasi Global Dalam Perang Melawan Terorisme

Perang melawan terorisme” bukan merupakan jargon baru yang didengungkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Kampanye ini bukanlah juga sebuah proyek yang bebas nilai atau steril dari kepentingan. Terorisme telah menjadi sebuah isu yang didesain sedemikian rupa—untuk dimanfaatkan—oleh AS untuk lebih mencengkeramkan hegemoninya di seluruh dunia tanpa terkecuali.

Istilah terorisme masih dimaknai dengan standar ganda, sesuai dengan kepentingan pihak yang berkuasa. Misalnya, Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak disebut terorisme. Pada tahun 1997, awalnya AS mencap pengeboman Gedung Kantor Penyelidikan Federal (FBI) di Oklahoma sebagai aksi terorisme. Namun, setelah diketahui bahwa pelakunya adalah orang Amerika sendiri, yakni Timothy Mc Veigh, pengboman tersebut dikategorikan sebagai aksi kriminal biasa. Ketika pejuang Hamas melakukan bom syahid melawan kebrutalan tentara Israel, AS menamainya sebagai aksi terorisme. Sebaliknya, tindakan brutal yang dilakukan para serdadu Israel yang telah membantai dan memporakporandakan kalangan sipil disebut sebagai pembelaan diri untuk merespon (serangan) musuh. Peruntuhan Gedung WTC—yang hingga detik ini belum terbukti siapa pelakunya—disebut sebagai terorisme. Sebaliknya, tindakan brutal AS dan sekutunya yang menghancurleburkan Afganistan beserta 7.5 juta penduduknya yang telah menewaskan ribuan rakyat sipil yang tak berdosa dinamakan sebagai penegakkan keadilan tanpa akhir (enduring justice). Itulah arti terorisme yang mereka definisikan.

Sejarah menunjukkan bahwa Amerika memanfaatkan peristiwa peledakan Kantor Penyelidikan Federal (FBI) di Oklahoma pada tahun 1997 (yang belakangan diketahui bahwa pelakunya adalah orang Amerika sendiri) dengan mengeluarkan Undang-undang Perlawanan terhadap Terorisme yang disetujui Senat AS. Namun, pelaksanaannya tidak mendapat banyak respon dari negara-negara di dunia. Berikutnya, melalui momentum peledakkan Gedung WTC tanggal 11 September 2001, AS pun segera menyeru seluruh negara di dunia untuk membentuk undang-undang melawan terorisme di masing-masing negara. Berbeda dengan tahun 1997, hampir seluruh dunia kini berada di belakang AS. Lagi-lagi, pada tahun 1997 yang dituduh adalah orang Islam, ternyata bukan. Kini, yang dituduh juga orang Islam, dan tanpa bukti negeri Muslim Afganistan dihancurkan. Padahal sampai saat ini AS tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pelakunya adalah orang Islam, khususnya ribuan penduduk sipil yang dihujani ratusan bom-bom mereka.

Bahkan Dubes AS untuk Indonesia saat itu (Gelbard) menyatakan bila tidak terbukti bahwa yang bersalah itu adalah kaum Muslim kelompok al-Qaida, AS siap meminta maaf. Kenyataannya, ribuan orang sipil Muslim Afganistan tewas, sejumlah pejuang yang ditangkap tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Tanah Afganistan diduduki. AS menempatkan Hamid Karzai untuk menguasai pemerintahan.

AS melanjutkan aksinya di Irak dan kini di Suriah. Kedua negeri Muslim tersebut kini luluh-lantak akibat aksi sepihak AS dengan alasan perang melawan terorisme. Keberadaan ISIS yang menjadi biang kehancuran di Irak dan Suriah menjadi tanda tanya. Apakah betul mereka adalah umat Islam yang ingin menegakkan Islam? Ataukah mereka adalah ‘konspirasi’ yang mencitraburukkan Islam yang justru membuat umat ‘ketakutan’ dengan upaya penegakkan syariah Islam.

Bila dikaitkan dengan strategi dasar Amerika, jelas bahwa sebenarnya isu terorisme hanyalah alat politiknya untuk melanggengkan dirinya sebagai negara adikuasa. Di dalam “Rencana Strategis AS dalam Hubungan Internasional” yang dikeluarkan Februari 1999 disebutkan bahwa tujuan kepemimpinan internasional AS adalah menciptakan kemakmuran yang lebih aman dan dunia yang demokratis demi keuntungan bangsa Amerika. (Lihat United States Strategic Plan For International Affairs. Dirilis oleh Office of Resources, Plans, and Policy, U. S. Departement of State, Washington, DC, February 1999).

Arah semua ini adalah mengembangkan ideologi Kapitalisme yang dianut AS, di samping mencapai kepentingan nasionalnya. Salah satu implementasi strategi untuk mencapai keadaan yang lebih aman dan stabil tadi adalah isu terorisme.

Sasaran sentralnya adalah Islam. Sebabnya, menurut mereka, Islam merupakan kunci dari kebijakan luar negeri AS pasca keruntuhan sosialisme-komunisme. Karena itu tidak mengherankan jika daftar nama kelompok yang dikategorikan AS sebagai teroris mayoritasnya adalah kelompok Islam. Karena itu pula negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang anti terorisme. Salah satu wujudnya berupa tekanan untuk membela AS atas nama ‘memberantas terorisme’. Salah satu contohnya, sesaat setelah peledakan gedung kembar WTC, 11 September 2001, Pemerintah AS memberikan pilihan kepada seluruh dunia apakah berada di belakang AS ataukah berada di belakang teroris. Hal itu pun menjadi tekanan kepada Dunia Islam untuk membuat undang-undang antiterorisme yang persis seperti yang dibuat AS. Tujuannya adalah untuk mengokohkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam serta melestarikannya agar tetap berada di bawah hegemoni AS.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa isu terorisme merupakan produk AS sebagai salah satu alat politiknya untuk mencengkeramkan kuku penjajahannya di dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim.

 

Terorisme di Indonesia

Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia tentu menjadi negeri yang penting dalam upaya mendukung AS dalam perang melawan terorisme.

Awalnya, ketika Presiden AS George W. Bush membagi dunia menjadi dua: poros kebaikan dan poros setan, Indonesia masih enggan masuk barisan AS dalam menggempur teroris versi AS. Ketika AS menyerang Afganistan, Indonesia termasuk yang gencar mengkritik. Bahkan soal Jamaah Islamiyah (JI) dan seterusnya, Indonesia masih belum bertindak. Padahal majalah Time sudah berkali-kali membuat laporan tentang aktivitas JI di Indonesia, dan mengangkat soal Abubakar Baasyir. Namun, Indonesia belum mengambil tindakan apa-apa.

Titik balik semua itu adalah kasus Bom Bali, 12 Oktober 2002. Apalagi setelah tertangkapnya Imam Samudera dan kawan-kawan yang mengaku sebagai JI. Mereka mengakui keterlibatan mereka dalam kasus bom Bali. Belum reda kasus Bom Bali, pengadilannya masih berlangsung, meletus lagi kasus Marriot.

Dari sini bisa dipahami bahwa Bom Bali dan Bom Mariot adalah bagian dari konspirasi kepentingan politik global. Oleh karena itu analisis terkait dengan kedua kejadian tersebut perlu dibuat secara lebih luas, bahwa kasus ini sudah dirancang dengan sangat canggih, termasuk dampak sosial politiknya. Kita perlu paham, bahwa yang paling ditakuti pihak AS, Israel dan sebagainya, pasca Perang Dingin, ada-lah kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai “Islam militan”, “Islam fundamentalis”, “Islam radikal”, dan sebagainya. Dalam skenario berdasarkan teori konspirasi ini, maka JI adalah pintu masuk untuk menggulung kelompok-kelompok yang sudah dicap militan itu. Karena itulah, begitu terjadi kasus Bom Mariot, Menlu Australia saat itu Alexander Downer, tidak lupa menyisipkan sebutan “militan” dalam ucapannya.

Berbagai aksi terorisme belakangan ini, mulai dari Bom Thamrin, kerusuhan di Mako Brimob, Peledakan di Gereja dan markas kepolisian di Surabaya, merupakan runtutan aksi terorisme yang terus berkelindan satu sama lain. Sulit untuk mengetahui secara pasti apa motif utama dari para pelaku aksi teror tersebut. Yang pasti, stigmatisasi melalui media terjadi. Para pelaku diidentikan dengan ‘simbol’ keislaman, semacam cadar, keluarga aktivis, penggemar ajaran Islam dan sejenisnya.

Di sisi lain, keberadaan UU Anti Terorisme yang awalnya tersendat pembahasannya, kini dengan mulus disetujui oleh Parlemen. Ada perluasan cakupan kewenangan untuk melakukan antisipasi tindakan terorisme. Gelontoran dana untuk penanganan terorisme terus mengalir dan tiap tahun terus meningkat. Polri meminta penambahan anggaran untuk penanganan tindak pidana terorisme sebesar Rp 1,925 triliun dalam APBN Perubahan 2016. Pada 2018, Wiranto mengatakan, anggaran 2018 meningkat sebanyak Rp 60 miliar dari APBN 2017. Tambahan anggaran akan dimanfaatkan untuk koordinasi pemberantasan penyelundupan Rp 5,5 miliar, koordinasi relokasi lembaga pemasyarakatan Rp 6 miliar, koordinasi kerukunan nasional Rp 7 miliar dan koordinasi pembentukan pusat penanganan krisis nasional Rp 6,5 miliar. Selain itu, koordinasi pemerataan kekuatan TNI Rp 6 miliar, koordinasi revisi RUU Terorisme Rp 6,5 miliar, koordinasi gerakan Indonesia tertib dalam mendukung gerakan nasional revolusi mental Rp 6 miliar dan satgas propaganda, agitasi serta provokasi Rp6 miliar. Kemudian koordinasi revitalisasi dewan ketahanan nasional untuk melaksanakan tugas pembinaan bela negara Rp 7,5 miliar dan koordinasi penanganan ormas yang tidak sesuai ideologi Pancasila Rp 6 miliar.

Secara keseluruhan, pagu indikatif Rp 283,6 miliar ini akan dimanfaatkan untuk program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Rp 139,9 miliar, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Rp 6 miliar dan program peningkatan koordinasi polhukam Rp 137,7 miliar. Bukan dana yang sedikit tentunya.

Dengan demikian, wajarlah muncul anggapan bahwa perang melawan terorisme ini tidak lebih dari konspirasi global yang membawa kepentingan asing untuk mendeskreditkan Islam dan umat Islam, terutama upaya dalam menegakkan syariat Islam. konspirasi ini berkelindan dengan miliaran rupiah proyek yang dialirkan sehingga kepentingan asing dan berjalannya proyek rupiah bertemu dalam kepentingan yang sama.

WalLâhu a’lam. [H. Budi Mulyana, S.I.P., M.Si.]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 1 =

Check Also
Close
Back to top button