Takrifat

Hadis Sahih

Khabar (hadis) yang diterima (khabar maqbûl) adalah khabar yang penuturnya lebih di-râjih-kan kejujurannya. Khabar maqbûl adalah wajib dijadikan hujjah dan diamalkan (Dr. Mahmud Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadîts, hlm. 32).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani dalam Nukhbah al-Fikar fi Musthalahi Ahli al-Atsar menyatakan, dilihat dari sisi berbagai variasi tingkatannya, khabar maqbûl terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu shahîh dan hasan. Masing-masing terbagi menjadi dua yaitu: “li dzâtihi” dan “li ghayrihi”.

Dengan demikian secara keseluruhan khabar maqbûl itu terbagi menjadi: 1. shahîh li dzâtihi; 2. hasan li dzâtihi; 3. shahîh li ghayrihi; 4. hasan li ghayrihi.

Para ulama hadis dan para fukaha menegaskan bahwa hadis yang bisa diterima dan dijadikan hujjah adalah hadis sahih dan hadis hasan. Para ulama dan para fukaha juga telah merinci kriteria hadis sahih dan hadis hasan tersebut.

 

Hadis Sahih

Shahîh menggunakan bentuk fa’îl[un] berasal dari kata: shahha-yashihhu- shuhh[an] wa shihhat[an] fahuwa shahîh[un]. Shahha artinya sehat, selamat dari cela dan cacat. Berita dikatakan shahha (sahih) artinya berita itu nyata, benar sesuai dengan kenyataan (Kamus al-Munawwir). Jadi secara bahasa, shahîh berarti yang sehat, yang selamat dari cela dan cacat, yang nyata, benar sesuai dengan kenyataan. Dari sini, hadis shahîh secara bahasa berarti hadis yang selamat dari cela dan cacat.

Adapun secara istilah, hadis sahih adalah hadis musnad yang sanad-nya bersambung dengan penukilan oleh perawi yang adil dan dhâbith, dari perawi yang adil dan dhâbith, dari awal hingga akhir sanad-nya; tidak mengandung ‘illat dan tidak syâdz (Imam Ibnu Shalah, Muqaddimah, I/9; al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/87).

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, khabar ahad yang dinukilkan oleh perawi yang adil dan sempurna dhâbith, sanad-nya bersambung, tanpa mengandung ‘illat dan tidak syadz, adalah shahih li dzâtihi.

Menurut Imam Ibnu Syarf an-Nawawi di dalam At-Taqrîb wa at-Taysîr li Ma’rifati Sunan al-Basyîr an-Nadzîr fî Ushûl al-Hadîts, hadis sahih adalah hadis yang sanad-nya disambung oleh orang-orang (para perawi) yang adil lagi dhâbith tanpa ada syadz dan tidak pula ‘illat.

Hadis yang demikian ini diputuskan sebagai hadis sahih tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ahli hadis. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Shalah.  Imam Ibnu Shalah menambahkan, para ahli hadis kadang berbeda pendapat tentang kesahihan sebagian hadis karena perbedaan pendapat mereka dalam hal adanya sifat-sifat tersebut di dalam hadis itu. Bisa juga karena perbedaan pendapat mereka tentang pensyaratan sebagian sifat ini, seperti yang terjadi pada hadis mursal.

Menurut definisi dan batasan di atas, hadis sahih haruslah memenuhi kriteria: 1. Sanad-nya bersambung. 2. Perawinya adil dan dhâbith dari awal hingga akhir sanad. 3. Tidak syadz;  4. Tidak ada ‘illat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani menjelaskan empat kriteria itu: Sanad-nya bersambung (muttashil). Artinya, perawi menerima langsung dari perawi di atasnya, yakni gurunya, dan begitu seterusnya hingga akhir sanad.  Semua perawi dalam rangkaian sanad itu harus memiliki sifat ‘âdil dan dhâbith. ‘Âdil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh takwa dan kehormatan diri serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah.

Dhâbith (akurasi) adalah kemampuan seorang perawi untuk menghapal hadis dari gurunya dan menyampaikan hadis itu dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya. Dhâbith ini ada dua macam, yaitu: Pertama, dhâbith bi shadri, yaitu kemampuan seorang perawi untuk menghapal hadis dengan sempurna sehingga mungkin bagi dia untuk menyebutkan hadis itu pada saat menyampaikan atau meriwayatkannya dalam bentuk persis seperti yang ia dengar dari gurunya. Kedua, dhâbith bi kitâb, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang telah dia dengar dari salah seorang atau beberapa gurunya; dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya keshahihannya. Ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.

Adapun syadz secara bahasa berarti yang tersendiri. Secara istilah maknanya hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kontradiksi dengan hadis dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

Sementara itu, ‘illat, yang dimaksud adalah di dalam hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadis tersebut (Lihat: Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani, Nuzhah an-Nazhar, hlm. 99-103).

Sesuai empat kriteria itu, tidak termasuk sahih hadis yang terputus sanad-nya, semisal munqathi’ dan mu’dhal. Tidak dinilai sahih hadis yang dinukilkan oleh perawi yang majhûl (tidak jelas) secara zhâhir maupun bâthin, majhûl orangnya atau yang diketahui kedhaifannya. Tidak dinilai sahih hadis yang dinukilkan oleh perawi yang tidak hapal, yakni hadis itu dinukilkan oleh perawi yang pelupa dan banyak salah. Tidak dinilai sahih hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang menyalahi riwayat para perawi lain yang lebih kuat, sebab ketika menyalahi berarti hadis tersebut syadz. Tidak dinilai sahih pula hadis yang di dalamnya ada sebab-sebab tersembunyi yang menyebabkan cela atau cacat, sebab ketika begitu berarti mengandung ‘illat (Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/87-88).

Terkait penilaian sahih, menurut Imam an-Nawawi dalam At-Taqrîb, jika dikatakan “shahîh” maknanya bukan bahwa itu dipastikan (sahih). Jika dikatakan ghayru shahîh (tidak sahih) maknanya tidak sahih sanad-nya, dan yang terpilih bahwa itu tidak dipastikan.

Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah menyatakan, ketika mereka mengatakan, “Ini adalah hadis sahih,” maknanya bahwa sanad-nya bersambung disertai sifat-sifat yang telah disebutkan. Bukanlah termasuk syaratnya harus dipastikan sebab ada hadis sahih yang infirad (menyendiri) dengan riwayat seorang perawi adil saja, sementara itu bukan termasuk khabar yang disepakati penerimaannya oleh umat. Demikian pula jika mereka berkata, bahwa hadis itu ghayru shahîh (tidak sahih), maka hal itu tidak qath’i (pasti) bahwa dia (perawi) itu dusta pada masalah yang sama, sebab kadang dia termasuk orang yang jujur pada masalah yang sama; melainkan yang dimaksudkan bahwa tidak sahih sanad-nya berdasarkan syarat yang telah disebutkan.

Menurut Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani dan Imam Ibnu Shalah, perkara dalam mengetahui hadis sahih berakhir pada apa yang dikeluarkan oleh para imam dalam karya mereka. Yang dimaksud di sini adalah para imam hadis yang masyhur. Sahih adalah apa yang terdapat pernyataan atas kesahihannya pada salah satu Shahihayn atau di dalam karya para imam hadis mu’tamadah yang masyhur.

Jadi ada kebutuhan mendesak untuk memperhatikan klasifikasinya mengenai hal itu. Klasifikasi sahih:

  1. Sahih yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
  2. Sahih yang dikeluarkan oleh al-Bukhari saja tanpa Muslim.
  3. Sahih yang dikeluarkan oleh Muslim tanpa al-Bukhari.
  4. Sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya.
  5. Sahih menurut syarat al-Bukhari saja, tetapi beliau tidak mengeluarkannya.
  6. Sahih menurut syarat Muslim, tetapi beliau tidak mengeluarkannya.
  7. Sahih menurut selain keduanya dan tidak menurut syarat al-Bukhari maupun Muslim.

 

Inilah induk klasifikasi sahih. Yang paling tinggi adalah yang pertama. Para ahli hadis banyak menyebut hadis ini  sahih muttafaq ‘alayh, maksudnya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim; bukan ittifâq al-ummah (disepakati oleh umat) (Ibnu Shalah, Muqaddimah, hlm. 17; Al-‘allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/88).

Menurut Imam an-Nawawi, hadis sahih itu bisa ditemukan di dalam Ash-Shahihayn (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim). Kemudian, tambahan dalam Ash-Shahîh diketahui dari kitab Sunan yang mu’tamadah seperti Sunan Abû Dâwud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, al-Hakim al-Baihaqi dan yang lain, yang dinyatakan (manshûsh) atas kesahihannya, dan tidak cukup adanya di kitab-kitab kecuali dalam kitab orang yang mensyarakatkan pembatasan pada yang sahih saja.

Al-Hakim memperhatikan tambahan terhadap keduanya (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim). Namun, Al-Hakim mutasâhil (longgar) dalam mensahihkan hadis. Karena itu apa yang ia sahihkan, sementara tidak kita temukan dari imam mu’tamad lainnya pernyataan sahih atau penilaian dha’îf-nya, maka kami memutuskan bahwa itu hadis hasan; kecuali tampak di dalamnya ‘illat yang mengharuskan dha’îf-nya, dan mendekatinya dalam penilaiannya adalah Shahîh Ibni Hibban (Imam an-Nawawi, At-Taqrîb).

Semua itu berkaitan dengan hadits shahîh li dzâtihi.

Adapun hadits shahîh li ghayrihi, Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani menjelaskan di dalam Nukhbatu al-Fikâr, bahwa hadis tersebut adalah hadis hasan li dzâtihi jika diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dinamakan hadis shahîh li ghayrihi karena kesahihannya tidak datang dari sanad-nya itu sendiri, tetapi karena bergabungnya dengan sanad yang lain.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 5 =

Back to top button