Hadis Pilihan

Ghabn fâhisy

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلًا ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ، أَنَّه يُخْدَعُ فِي البُيُوعِ، فَقَال: إِذَا بُيُعْتَ فَقُلْ لا خِلاَبَة

Seorang laki-laki memberitahu Nabi saw. bahwa ia ditipu (yukhda’u) di dalam jual-beli, lalu beliau bersabda,Jika engkau berjual beli maka katakanlah: Lâ khilâbah” (Tidak boleh ada penipuan).” (HR Malik; al-Bukhari no. 2117, 2407, 2414 dan 6964; Muslim no. 1533, Ahmad no. 5271, 5970, 6134; Abu Dawud no. 3500; an-Nasai no. 4484; al-Bazar no. 5957; Ibn Hibban no. 5052 dan ad-Daraquthni no. 3011).

 

Anas bin Malik ra. menuturkan:

أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَبْتَاعُ، وَكَانَ فِي عُقْدَتِهِ – يَعْنِي عَقْلِهِ – ضَعْفٌ، فَأَتَى أَهْلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يا نَبِيَّ اللهِ، احْجُرْ عَلَى فُلَانٍ، فَإِنَّهُ يَبْتَاعُ وَفِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ . فَدَعَاهُ نَبِيُّ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنِ الْبَيْعِ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنِيّ لَا أَصْبِرُ عَنِ الْبَيْعِ . فَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ كُنْتَ غَيْرَ تَارِكٍ الْبَيْعَ، فَقُلْ : هَاءَ وَهَاءَ، وَلَا خِلَابَةَ

Seorang laki-laki pada masa Nabi saw. melakukan transaksi jual, sementara akalnya memiliki kelemahan. Lalu keluarganya datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Nabi Allah, laranglah si Fulan karena dia melakukan transaksi jual-beli, sementara akalnya memiliki kelemahan.” Nabi Allah saw. memanggil dia dan melarang dia dari tramsaksi jual-beli. Orang itu berkata,: “Wahai Nabi Allah, aku tidak bisa bersabar dari jual-beli.” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Jika engkau tidak bisa meninggalkan jual-beli maka katakana, ‘Ini kontan dan tidak boleh ada penipuan.’” (HR Ahmad no. 13276, Abu Dawud no. 3501, at-Tirmidzi no. 1250, Ibnu Majah no. 2354, an-Nasai no. 4485, Ibnu Hibban no. 5049, 5050, al-Hakim no. 7061, al-Baihaqi no. 11338 dan ad-Daraquthni no. 3009).

 

Imam at-Tirmidzi berkomentar, “Hadis dari Anas adalah hadis hasan shahih ghariib.

Imam al-Hakim berkomentar, “Hadis ini shahih menurut syarat Asy-Syaikhayn, tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadis tersebut.”

Al-Hafizh adz-Dzahabi di dalam At-Talkhîsh berkomentar, “(Hadis ini shahih) menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Al-Khilâbah maknanya adalah al-khadî’ah (tipudaya). Al-Khadî’ah adalah haram. Penafian al-khilâbah itu memberi makna tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki), yakni larangan dari al-khilâbah. Karena al-khilâbah adalah al-khadî’ah dan haram, maka al-khilâbah adalah haram.

Tipuadaya dalam hal barang diistilahkan oleh para ulama dengan at-tadlîs dengan dua bentuknya. Adapun  tipudaya dalam hal harga diistilahkan oleh para ulama dengan al-ghabnu.

Menurut al-Jauhari dalam Ash-Shihâh fi al-Lughah, ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh dan Ibnu Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, ghabana secara bahasa artinya khada’a (menipu/memperdaya).   Menurut Ibnu Duraid dalam Jumhurah al-Lughah dan Sa’di Abu Habib dalam al-Qâmûsh al-Fiqhi, ghabana artinya naqasha (mengurangi). Jika dikatakan, Ghabanahu fi al-bay’i wa asy-syirâ’,” maknanya adalah: khada’ahu wa ghalabahu (memperdaya dan mengalahkan dia).  Jika dikatakan, “Ghabana fulân[an],” maknanya adalah: naqashahu fi ats-tsaman wa ghayyarahu (mengurangi dan mengubah harga).

Sa’di Abu Habib dalam al-Qâmûsh al-Fiqhi menjelaskan, secara istilah menurut ulama Syafi’iyah, al-ghabn adalah kelebihan atas harga yang sepadan (tsaman al-mitsli). Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, al-ghabn adalah menjual sesuatu dengan harga lebih dari yang sepadan atau kurang dari yang sepadan.

Al-Ghabnu itu termasuk al-khilâbah, yakni al-khadî’ah yang diharamkan oleh syariah. Dengan demikian al-ghabnu adalah haram. Hanya saja, al-ghabnu yang haram itu adalah al-ghabnu al-fâhisy (zalim). Sebabnya, ‘illat keharam al-ghabnu adalah keberadaannya sebagai khadî’ah (tipudaya) dalam harga. Tidak disebut khadî’ah (tipudaya) jika kecil karena selisih harga yang kecil itu merupakan kemahiran tawar-menawar. Jadi al-ghabnu itu menjadi khadî’ah yang haram itu jika hisy (zalim).

Penentuan kadar ghabn yang termasuk ghabn hisy itu mengikuti apa yang berlaku di pasar, yakni menurut penilaian para pelaku pasar atau para pedagang.  Seliish harga dari harga pasar yang menjadi ghabn hisy itu tidak ditentukan dengan kadar sepertiga, seperlima atau lainnya. Jika terjadi perselisihan tentang apakah terjadi ghabn fâhisy atau tidak, maka hal itu dikembalikan pada penentuan nilai oleh para ahli hitung (ahlu al-hibrah).  Hal itu seperti penentuan tsaman al-mitsli atau ajru al-mitsli.

Selain itu, orang yang tertipu (al-maghbûn) itu pada saat akad tidak tahu harga pasar.  Sebabnya, jika ia tahu dan tetap menerima transaksi itu, artinya ia tidak tertipu atau dicurangi. Pasalnya, ia menerima harga yang lebih tinggi atau lebih rendah itu disertai dengan pengetahuannya. Dengan itu artinya ia ridha atau rela dengan harga itu disertai pengetahuan dia.

Jika terpenuhi kedua hal itu, yaitu al-ghabnu al-fâhisy dan yang tertipu tidak tahu harga pasar, maka pihak yang tertipu itu memiliki khiyaar (opsi).  Hal  itu sesuai penuturan Muhammad bin Yahya bin Habban menuturkan bahwa kakeknya, yaitu Munqidz bin Amru, sering tertipu dalam jual-beli. Lalu ia mengadu kepada Nabi saw. Nabi saw, kemudian bersabda:

إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا

Jika engkau berjual-beli maka katakanlah, “Tidak boleh ada penipuan.” Kemudian engkau dalam setiap barang yang engkau beli memiliki khiyaar tiga malam. Jika engkau ridha maka  pertahankan. Jika engkau tidak suka maka kembalikanlah kepada pemiliknya (HR Ibn Majah, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni)

 

Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menyatakan bahwa hadits lâ khilâbah (tidak boleh ada penipuan) itu merupakan dalil adanya khiyaar ghabn di dalam jual-beli jika terjadi ghabn (kecurangan).

Rasul saw. hanya memberikan pilihan kepada pihak yang tertipu satu di antara dua opsi: Pertama, jika ia ridha, ia boleh melanjutkan transaksi itu. Artinya, ia mempertahankan barang atau harga yang dia dapat. Kedua, jika ia tidak ridha, ia boleh membatalkan transaksinya.  Jika penjual, ia meminta kembali barangnya dan ia mengembalikan harganya. Jika pembeli, ia mengembalikan barangnya dan meminta kembali harga yang sudah dia bayarkan.  Tidak ada opsi selain dua opsi itu.  Jadi ia tidak boleh meminta selisih harga transaksi itu dengan harga normal atau meminta kompensasi.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − ten =

Back to top button