Cinta Nabi saw.
Cinta (al-hubb, al-mahabbah) kata Imam Syafii, menggiring orang untuk mengikuti apa pun titah yang dicinta. “Inna al-muhibbi lima yuhibbuhu muthi’.”
Cinta itu akan lebih berharga dan berarti bila ditujukan kepada Rasulullah saw. Sebabnya, mencintai beliau—tentu dibuktikan dengan menaanti beliau—adalah bukti kita mencintai Allah SWT. Allah SWT berfirman: Katakanlah (Muhammad), “Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku…” (QS Ali Imran [3]: 31).
Selain sebagai bukti cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Nabi saw. juga karena satu hal lain: karena besarnya cinta beliau kepada kita. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin (TQS at-Taubah [9]: 128).
Dalam ayat di atas, frasa ‘aziz[un] ‘alayhi ma ‘anittum (Berat terasa oleh dia penderitaan kalian) menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat bersedih ketika melihat umatnya dalam keadaan susah. Juga saat umatnya bergelimang dosa (Ibnu al-Jauzi, Zad al-Masir, 3/247).
Perlu dipahami, kata ”umat Rasulullah saw.” tak hanya meliputi kaum Muslim saja, tetapi semua orang yang hidup setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul hingga Hari Kiamat. Di antaranya kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lain. Beliau sakit karena sedih memikirkan umatnya yang tidak masuk Islam (Lihat: QS asy-Syu’ara [26]: 3). Beliau sedih jika ada umatnya masuk neraka karena kekafiran dan kefasikan mereka.
Lalu frasa haris[un] ‘alaykum (Dia sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagi kalian) menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat menghendaki semua umat beliau beriman dan senantiasa ada dalam kebaikan (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 7/410).
Keinginan inilah yang membuat beliau berjuang sedemikian rupa. Tentu agar umat beliau mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Beliau rela dihina, dikucilkan, disiksa dan diancam dibunuh agar umatnya mendapatkan kebaikan. Bayangkan, beliau tulus mendakwahi mereka demi kebaikan mereka. Sebaliknya, mereka malah bertindak buruk kepada beliau. Walaupun begitu, beliau tetap mendakwahi mereka dengan penuh rasa sayang.
Inilah makna dari frasa bi al-mu’minin ra’uf[un] rahim[un] (Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin). Maknanya, Rasulullah saw. sangat menyayangi umatnya (Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafasir, 1/115).
Beliau banyak memberikan kebaikan kepada mereka dan khawatir mereka mendapatkan keburukan. Bagaimanapun penderitaan yang beliau rasakan yang ditimpakan oleh umatnya, beliau tetap bersikap baik kepada mereka. Dalam sebuah hadis disebutkan: Beliau dipukuli kaumnya hingga berdarah. Namun demikian, sambil menghapus darah dari wajahnya, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak paham.” (HR al-Bukhari).
Beliau tidak mau umatnya dibinasakan karena menolak dakwah beliau. Padahal umat-umat terdahulu semuanya dibinasakan ketika mereka menolak dakwah para nabi. Misalnya kaum Nabi Nuh as. dibinasakan dengan sebab ditelan banjir besar, kaum Nabi Luth as. dibinasakan dengan sebab hujan batu, dan sebagainya. Hal seperti itu tidak berlaku untuk umat Islam.
Pada suatu ketika, Rasullullah saw., seperti diriwayatkan Abdullah bin Amr bin al-Ash, tengah membaca kisah Nabi Ibrahim juga Nabi Isa. Setelah itu Rasulullah mengangkat tangannya dan berdoa. “Ya Allah, umatku, umatku.” Setelah itu beliau menangis. Kemudian Allah befirman, “Jibril, temuilah Muhammad—Tuhanmu Mahatahu apa yang terjadi. Lalu tanyakan kepada dirinya mengapa ia menangis.” Jibril lalu mendatangi beliau. Kemudian beliau menceritakan apa yang terjadi—Dia Mahatahu tentang hal itu. Lalu Allah berfirman, “Jibril, temuilah Muhammad. Lalu katakan: Kami membuatmu ridha mengenai nasib umatmu dan itu tidak akan mengecewakanmu.” (HR Muslim).
Karena itu cinta Nabi saw. kepada umatnya tak perlu dipertanyakan lagi. Cukuplah kita mendengar Baginda Nabi saw. di penghujung hayatnya sangat mengkhawatirkan umatnya. Saat detik-detik kewafatan beliau, yang beliau pedulikan adalah umat beliau. Bukan keluarga beliau. Beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Bagaimana nasib umatku kelak?” Jibril menjawab, “Jangan khawatir, wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa pun, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.” (HR ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabir, 3/106).
Demikianlah. Betapa besar cinta Rasulullah saw. kepada kita. Lalu seberapa besar cinta kita kepada beliau?
Terkait itu, suatu saat, Umar bin al-Khaththab ra. pernah mendatangi Rasulullah saw. dan menyatakan cintanya kepada beliau. Umar mengatakan, ia mencintai Rasul saw. dari segala sesuatu, kecuali satu, yakni dirinya sendiri. Rasul pun menegur Umar. Beliau menegaskan bahwa tidaklah sempurna iman seseorang sampai ia mencinta Rasul mereka melebihi apa pun. Umar pun bergegas mengevaluasi dan mengoreksi pernyataannya. Ia mengatakan, kini sepenuhnya cintanya ditujukan untuk Rasulullah saw. “(Buktikan) sekarang, wahai Umar!” titah Rasulullah (HR al-Bukhari).
Para Sahabat mencontohkan kepada kita bagaimana mencintai Rasulullah saw. Abu Bakar ra., misalnya, rela dipukuli kafir Qurays demi melindungi Rasulullah saw. Beliau pingsan. Saat sadar, yang segera ditanyakan adalah Rasulullah saw. Ada juga seorang wanita Anshar. Ia kehilangan anak, suami, ayah dan saudaranya dalam sebuah peperangan. Namun, ketika pasukan kaum Muslim pulang, yang ditanyakan adalah Rasulullah saw.
Sudahkah cinta kita kepada Rasul saw. sebesar cinta para sahabat kepada beliau? Yang pasti, jangan sampai cinta kita kepada Rasul saw. dikalahkan oleh kecintaan kita pada yang lain. Jika itu terjadi, sungguh kita sedang mengundang azab Allah SWT (Lihat: QS Ali Imran [3]: 31).
Jadi, sekali lagi pertanyaannya: Sudahkah cinta kita kepada Rasul saw. sebesar cinta para sahabat kepada beliau? Tentu kita berharap demikian. Amin.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]