Iqtishadiyah

Kritik Teori Nilai Dalam Ekonomi Kapitalisme

Pembahasan tentang nilai suatu barang telah menjadi perbincangan para pemikir dalam masyarakat Barat. Pada era merkantilisme, sebelum berkembangnya teori ekonomi kapitalisme modern yang dipelopori oleh Adam Smith, terdapat dua pandangan mengenai nilai yang terdapat pada barang, yaitu nilai yang bersifat intrinsik dan nilai yang bersifat ekstrinsik.

Nilai yang pertama adalah nilai yang ditentukan oleh kebutuhan, keinginan dan kebaikan yang terkandung pada suatu benda, yang sifatnya melekat. Hal itulah yang mendorong orang untuk memilikinya. Adapun nilai yang terakhir adalah nilai yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Para penulis pada masa itu lebih banyak membicarakan mengenai nilai intrinsik, atau yang saat ini disebut dengan utility atau nilai alamiah. Ketika uang menjadi bagian penting dalam ekonomi, nilai ekstrinsik, yang juga disebut dengan nilai artifisial, aksidental atau nilai pasar menjadi perhatian utama mereka.1

Kemudian, pada masa kemunculan ekonomi klasik, yang dimulai dengan Adam Smith dengan bukunya, The Wealth of Nation, pembahasan mengenai nilai juga menjadi bagian utama di kalangan pemikir kapitalisme. Adam Smith, misalnya, berpandangan, “Kata nilai (value) memiliki dua makna yang berbeda: kadang-kadang mengekspresikan kegunaan (utility) beberapa objek tertentu; kadang-kadang menggambarkan daya beli suatu barang untuk memiliki barang lain. Yang pertama disebut sebagai ‘nilai guna’ (value in use) dan yang terakhir disebut sebagai ‘nilai tukar’ (value in exchange).” 2

Meskipun demikian, Adam Smith belum mampu memecahkan pertanyaaan mengapa barang-barang yang memiliki nilai tinggi dalam penggunaan, nilai tukarnya kecil atau tidak sama sekali. Sebaliknya, ada barang yang memiliki nilai tukar yang tinggi, namun nilai penggunaannya rendah atau tidak ada sama sekali. Ia mencontohkan air yang memiliki nilai guna yang tinggi, nilai tukarnya rendah. Sebaliknya, berlian memiliki nilai guna yang rendah, namun nilai tukarnya tinggi.3

David Ricardo, yang juga pemikir ekonomi klasik, berpendapat serupa dengan Adam Smith mengenai pembagian nilai di atas. Ia menekankan bahwa utilitas bukanlah dasar yang menentukan nilai tukar suatu barang meskipun ia menjadi bagian yang penting. Menurut dia, nilai tukar suatu barang ada kalanya ditentukan oleh faktor kelangkaan saja atau faktor tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut. Nilai tukar yang ditentukan oleh faktor kelangkaan saja adalah barang yang tidak dapat ditingkatkan jumlahnya oleh buruh. Akibatnya, nilainya tidak dapat diturunkan dengan meningkatkan pasokannya. Barang-barang seperti itu, menurut Ricardo, adalah barang langka berupa patung, lukisan, buku, koin dan anggur yang hanya tumbuh di tanah tertentu saja. Namun, porsi barang tersebut sangat kecil dibandingkan dengan kategori barang kedua, yaitu barang yang jumlahnya ditentukan oleh tenaga kerja. Jumlah barang yang terakhir ini bisa dilipatgandakan bukan hanya dalam satu negara, tetapi juga di negara-negara lain yang hampir tanpa batasan.4

Pendapat Ricardo ini pada dasarnya mengikuti pandangan Adam Smith yang menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh kerja keras dan upaya untuk menghasilkan barang tersebut. Perolehan barang dengan uang atau barang lainnya pada hakikatnya dibeli dengan tenaga kerja yang setara dengan kerja yang kita lakukan dengan tubuh kita.5

Pandangan Adam Smith di atas yang memisahkan antara nilai penggunaan dan nilai pertukaran memberikan amunisi kepada sosialis, Marx, juga kritikus kapitalisme lainnya, mempersoalkan perbedaan antara produksi untuk mendapatkan keuntungan dan produksi untuk memanfaatkan barang. Menurut mereka, para kapitalis lebih tertarik dalam berproduksi untuk menghasilkan keuntungan daripada untuk memberikan layanan yang bermanfaat. Seolah-olah pertukaran yang menguntungkan tidak terkait dengan penggunaannya oleh konsumen.6

 

Utilitas Marginal

Pada prinsipnya, utilitas adalah kepuasan yang dihasilkan oleh sebuah produk yang sifatnya subjektif dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Krugman dan Wells mendefinisikan utilitas marginal barang atau jasa sebagai perubahan manfaat (utility) yang dihasilkan dari mengkonsumsi satu unit tambahan barang dan jasa tersebut.7

Sebagai contoh, jika si A mengkonsumsi segelas air pada saat ia sedang haus maka tingkat manfaat yang ia rasakan lebih tinggi dibandingkan dengan si B yang meminumnya dalam keadaan tidak haus. Jika si A meminum gelas kedua maka tingkat manfaatnya semakin berkurang, bahkan akan menjadi negatif, dan jika ia terus meminum gelas kesekian, hal itu bisa membuat dia tidak nyaman. Inilah yang disebut sebagai hukum utilitas marginal yang menurun (law of diminishing marginal utility).

Dengan demikian tambahan (marginal) utilitas atau manfaat dari mengkonsumsi suatu barang pada mulanya membesar, lalu semakin mengecil hingga menjadi negatif.

Konteks utilitas digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan maksimal yang dapat diperoleh oleh seorang konsumen terhadap alternatif barang dan jasa yang memiliki harga tertentu, yang dibatasi oleh anggaran yang mereka miliki (budget constrain). Sebagai contoh, seseorang yang dihadapkan pada pilihan apakah akan melakukan liburan ke pegunungan atau ke kota akan menimbang-menimbang tingkat utilitas terbaik yang dapat diperoleh dari kedua pilihan tersebut berdasarkan anggaran yang dia miliki.8

Secara historis, konsep marginal utilitas baru muncul seabad setelah paradoks nilai air dan berlian yang membingungkan Adam Smith di atas. Konsep itu dikemukakan oleh tiga orang pada saat yang hampir bersamaan, yaitu Carl Menger (1871), Jevons (1871) dan Walras (1874). Melalui konsep utilitas marginalnya, ketiga orang ini kemudian dikenal sebagai pendiri mazhab ekonomi neo-klasik.9

Mereka berpandangan bahwa nilai guna barang ditentukan berdasarkan faktor subjektifitas konsumen, bukan berdasarkan faktor objektif yang ada pada barang. Maksudnya, konsumen membuat pilihan untuk membeli barang berdasarkan preferensi atau kecenderungan mereka, bukan berdasarkan faktor seberapa banyak tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut.10

Mereka berkesimpulan bahwa produksi barang ditentukan oleh permintaan konsumen yang mencari manfaat yang paling optimal dan tidak ditentukan oleh produsen. Alhasil, permintaan konsumen menentukan harga akhir barang, yang pada gilirannya menentukan arah kegiatan produksi, termasuk menentukan harga faktor-faktor produksi—upah, sewa sarana produksi dan laba—sesuai nilai yang mereka tambahkan pada proses produksi.11

Ekonom neoklasik juga menyimpulkan bahwa semakin besar kuantitas barang yang dimiliki oleh seseorang, semakin sedikit mereka menghargai setiap unit yang diberikan. Pendapat mereka mampu menjawab paradoks air dan berlian yang dikemukakan oleh Adam Smith di atas. Mereka berpandangan bahwa jika air melimpah, segelas air tambahan akan relatif murah. Di sisi lain, jika sebuah komunitas tinggal di gurun Arab, yang airnya cukup langka, mereka akan sangat menghargai setiap unit air tambahan. Prinsip yang sama berlaku untuk berlian. Jika berlian berlimpah, harganya akan jatuh. Jika berlian langka, harganya akan naik. Jadi, ekonom neoklasik mengemukakan prinsip utilitas marginal yang semakin berkurang. Singkatnya, harga ditentukan oleh pembelian dan penjualan marginal, yaitu memenuhi permintaan konsumen berdasarkan kelimpahan relatif atau kelangkaan suatu produk.12

Dengan demikian, konsep utilitas marginal merupakan konsep harga yang menggabungkan perilaku produsen dan konsumen; bahwa nilai barang tidak hanya ditentukan oleh produsen, melalui biaya yang dikeluarkan, atau oleh konsumen, melalui manfaat yang ia dapatkan, dalam kondisi pasokan yang normal. Alhasil, mereka dapat menjawab kritikan yang dilontarkan oleh ekonom Marxisme yang menganggap harga barang semata-mata ditentukan oleh para produsen demi mendapatkan keuntungan optimal.

 

Kritik

Di dalam Kitab An-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam, yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan tiga kritik atas pemikiran sistem kapitalisme yaitu: kelangkaan, nilai dan harga.

Secara singkat, beberapa kritik beliau mengenai konsep nilai antara lain: Pertama: kesalahan para pemikir kapitalis yang menganggap nilai bersifat relatif. Padahal kenyataannya ia bersifat objektif atau hakiki. Kesalahan ini terjadi karena mereka membagi nilai menjadi (nilai) manfaat dan nilai tukar, seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith dan David Ricardo di atas. Padahal nilai tukar suatu barang ditentukan oleh manfaat yang terkandung di dalamnya. Nilai barang apapun hanya melihat manfaat pada barang tersebut dengan memperhatikan aspek kelangkaannya. Nilai barang tersebut sama saja apakah ia dihasilkan sendiri, seperti orang yang memperoleh binatang dari berburu atau emas yang ia tambang sendiri, ataukah manfaat barang yang ia diperoleh melalui pertukaran, seperti jual-beli yang dibayar dengan uang ataupun barang lainnya.13

Kedua, utilitas marginal realitanya bukanlah nilai barang dan bukan pula harga barang. Namun, ia adalah teori mengenai harga barang. Pasalnya, nilai diukur manfaatnya pada saat ia dievaluasi dan tidak berubah seiring dengan perubahan harga. Manfaat barang itu tidak naik karena harga naik dan tidak ikut turun ketika harga turun sehingga nilainya berubah-ubah. Dengan kata lain manfaat barang tidak dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Sebaliknya, harga dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, baik permintaan yang lebih banyak dari penawaran atau sebaliknya, penawaran yang lebih banyak dari permintaan.14

Sebagai contoh, lemari diukur dari manfaatnya adalah manfaat yang dapat dirasakan dari lemari tersebut. Adapun harga lemari adalah berapa banyak uang dibutuhkan untuk membeli suatu lemari. Jika produksi lemari melimpah maka harganya meningkat. Sebaliknya, jika penawarannya sedikit maka harganya meningkat. Demikian pula ketika nilai uang jatuh maka harga lemari menjadi lebih mahal. Namun, dari sisi manfaat lemari bagi seseorang, ia tidak berubah meskipun harganya berubah.

Ketiga, pemikir kapitalisme berpendapat bahwa manfaat barang merupakan hasil dari tenaga manusia. Selain itu, pendapat mereka bahwa jika tingkat upah tidak sepadan dengan pekerjaan mereka, maka tingkat produksi akan turun.15

Pendapat ini tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, barang yang diciptakan oleh Allah SWT di alam ini merupakan dasar manfaat setiap barang. Bahan baku tersebut baik disertai dengan tambahan biaya yang diolah oleh tenaga kerja untuk mendapatkan manfaat tertentu. Dengan demikian manfaat suatu barang tidak hanya dihasilkan dari tenaga kerja, tetapi juga ditentukan oleh biaya bahan baku atau gabungan antara bahan baku dan tenaga kerja.

Tingkat produksi pun tidak hanya ditentukan oleh upah, namun juga faktor-faktor lain seperti turunnya sumber pendapatan akibat perang, turunnya pendapatan dari negara lain, dan kemunduran berpikir yang menyebabkan turunnya produktivitas.16

Alhasil, teori tentang nilai yang dikemukakan para pemikir kapitalisme secara faktual memiliki sejumlah kesalahan. Konsekuensinya, sistem yang dibangun di atas teori yang keliru tersebut tidak layak dijadikan sebagai aturan yang mengikat manusia.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muis]

 

Catatan kaki:

1        Lewis H. Haney, History of Economic Thought, edisi revisi (New York: MacMillan Company, 1924), 121.

2        Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (Indianapolis: Liberty Classics, 1981), 44

3        Ibid.

4        David Ricardo, On the Principle of Political Economy and Taxation, edisi ke-3 (Ontario: Batoche Books, 2001), 9.

5        Smith, 47.

6        Mark Skousen, The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thinkers (New York; M.E. Sharpe, 2001), 171.

7        Paul Krugman dan Robin Wells, Microeconomics, edisi ke-3 (New York: Worth Publishers, 2013), 271.

8        Karl E. Case, Ray C. Fair, dan Sharon M. Oster, Principles of Microeconomics, edisi ke-12 (Essex: Pearson, 2017), 151.

9        Skousen, 169.

10      Ibid.,170.

11      Ibid.

12      Ibid., 171; Carl Menger, Principles of Economics (Alabama: Ludwig Von Mises Institute, 2007), 140.

13      Taqiyuddin al-Nabhany, al-Nidham al-Iqtishad fi al-Islam, edisi ke-6 (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), 32.

14      Ibid., 33.

15      Smith, 67 & 87.

16      Al-Nabhany, 34.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Back to top button