Iqtishadiyah

Lambatnya Ekonomi Global, Rapuhnya Ekonomi Nasional: (Evaluasi Kinerja Paruh Pertama Tahun 2019)

Saat ini, Juli 2019 adalah paruh pertama tahun 2019. Jika dilihat kondisi perekonomian Indonesia dalam lima tahun terakhir, tumbuh stagnan dengan rata-rata pada kisaran angka 5 persen. Berbagai upaya kebijakan ekonomi telah dikeluarkan sebagai solusi mengatasi kinerja pertumbuhan ekonomi tersebut. Namun, dalam periode tersebut masih belum ada akselerasi pertumbuhan sesuai yang ditargetkan. Hingga saat ini hasilnya belum optimal bahkan cenderung rapuh. Kenaikan pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan pembentukan modal atau investasi diharapkan mampu menggairahkan sendi sektoral dan industri yang akan menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah tinggi. Tanpa kontribusi pembentukan modal di sektor riil tersebut secara memadai sangat sulit bagi Indonesia meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Di tengah upaya mengungkit laju pertumbuhan ekonomi, muncul ‘badai besar’ dalam meraih peningkatan investasi teresebut. Terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina menjadi badai besar yang tidak kecil dampaknya. Tarik-ulur perang tarif perdagangan di antara kedua negara tersebut menyebabkan ketidakpastian baru perekonomian global. Meskipun panasnya perang dagang sedikit mereda setelah pertemuan kedua kepala negara di KTT G-20 di Osaka, Jepang akhir Juni 2019 lalu. Namun, masih banyak yang meragukan bahwa kebijakan ekonomi berbalas tarif yang mereka lakukan akan berhenti. Kondisi ketidakpastian ini memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia atas target yang telah ditetapkan dalam APBN 2019. Untuk itu perlu mengevaluasi capaian kinerja ekonomi nasional paruh pertama tahun 2019 di tengah lambatnya perekonomi global.

 

Potret Melambatnya Ekonomi Global

Kondisi ekonomi global yang masih belum membaik sejak tertekan tahun lalu dengan adanya perang dagang. Padahal sumber tekanan pada 2019 relatif lebih sedikit. Setidaknya tekanan dari harga minyak sedikit lebih rendah dan rencana The Fed menahan suku bunga sampai akhir tahun. Bahkan The Fed berwacana mengoreksi suku bunga acuan untuk menstimulus ekonominya. Beberapa berita positif tersebut, sayangnya, tergerus karena meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Parahnya, kondisi tersebut menyebabkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5.3 persen terkoreksi menjadi 5.2 persen.

Kebijakan ekonomi AS bergerak lewat stimulus fiskal dan perbaikan kinerja sektor   ketenagakerjaan. Beberapa peristiwa ekonomi AS yang sempat memengaruhi ekonomi AS, seperti penutup sementara pelayanan publik (governmant shutdown) karena belum sepakatnya biaya pembangunan tembok AS-Meksiko. Tercatat, shutdown 2019 menjadi yang terlama sepanjang sejarah AS. Peranan ekspor bersih masih negatif, di tengah-tengah ekskalasi perang dagang. Tingkat kepercayaan konsumen AS bergerak di bawah 100 (pesimis)  karena ketegangan perang dagang AS-Cina, shutdown pelayanan publik.

Perlambatan ekonomi Uni Eropa terjadi disebabkan oleh pelemahan kinerja konsumsi, investasi dan perdagangan. Aksi protes di Prancis sedikit-banyak memberikan sentimen buruk bagi ekonominya. Inggris merugi karena persoalan Brexit. Sektor konsumsi swasta di Jerman melemah karena memperkenalkan standar baru emisi bahan bakar mobil baru. Hal ini menyebabkan produksi industri otomotif melambat. Risiko utang dan keuangan di Italia berdampak pada permintaan domestik.

Terjadinya pelambatan ekonomi Cina disebabkan oleh pengetatan peraturan shadow banking sehingga memengaruhi kredit dan sektor konsumsi, pelemahan investasi dalam negeri sejalan dengan penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan, perlambatan penjualan barang seperti mobil,  penurunan kekayaan karena koreksi harga aset, dan meluasnya dampak pengaruh perang dagang.  Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi India tidak setinggi yang diperkirakan. Hanya 5,8 persen (yoy) pada paruh pertama tahun 2019. Perlambatan tersebut disebabkan oleh rendahnya peranan sektor fiskal, yang diprediksi meningkat pada triwulan berikutnya terutama pada belanja modal. Ketegangan antara India dan Pakistan turut memengaruhi perkembangan ekonomi India sepanjang periode berjalan.

 

Rapuhnya Ekonomi Paruh Pertama Tahun 2019

 

  1. Kinerja Pertumbuhan Ekonomi.

Dilihat dari pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi Indonesia sepanjang paruh tahun 2019 masih belum cukup memuaskan sesuai yang ditargetkan. Hanya dua indikator dari beberapa indikator asumsi makroekonomi APBN-2019 yang sesuai dengan capaian target, yaitu inflasi dan nilai tukar. Performa inflasi mencapai 3,28 persen pada Juni, dengan target 3,5 persen pada 2019, sedangkan nilai tukar per Juni sekitar Rp 14.141, yang dalam APBN-2019 ditetapkan target Rp 15.000 per US$. Lifting gas juga pertumbuhan ekonomi hanya 5,07 persen (yoy).

Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi memaksa Pemerintah bekerja lebih keras untuk memenuhi target pertumbuhan 5,3 persen pada 2019. Dengan demikian angka kemiskinan, tingkat pengangguran dan ketimpangan pendapatan dapat ditekan lebih cepat. Tantangan mencapai target pertumbuhan tersebut semakin sulit karena kondisi global yang semakin tidak menentu. Ini sejalan dengan meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat  dan Cina.

Dari sisi domestik, isu susunan kabinet baru menjadi dua sisi mata uang. Pada satu sisi waktu yang tersisa akan menjadi ajang pembuktian para menteri di bidang ekonomi agar dapat dipilih kembali sebagai menteri. Namun, di sisi lain, bisa jadi hal tersebut membuat para menteri tidak konsentrasi untuk menyelesaikan masalah ekonomi bangsa.

 

  1. Kinerja Permintaan dan Penawaran

Ditinjau dari sisi permintaan, kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat. Hanya 5,01 persen (yoy) pada paruh tahun 2018. Komponen tersebut tumbuh hingga 5,08 persen (yoy) pada paruh tahun 2019. Pada sisi lain konsumsi Pemerintah tumbuh meningkat. Hal ini karena adanya pelaksanaan Pemilu 2019 dicapai sekitar 5,21 persen (yoy). Namun sebaliknya, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) kian turun menjadi 5,03 persen (yoy). Angka ini menjadi yang terendah sejak 2018. Kinerja ekspor dan impor juga belum membaik. Ekspor terkoreksi 2,08 persen (yoy) dan impor sekitar 7,75 persen (yoy).

Dilihat dari sisi penawaran, kinerja pertumbuhan sektor tradable atau padat karya cukup rendah. Bahkan performanya berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan struktur ekonomi yang bergantung pada tradable good, ini menyebabkan sulitnya bagi ekonomi nasional. Adapun pada periode paruh tahun 2019, sektor pertanian tumbuh 1,81 persen (yoy). Lebih rendah dari target APBN-2019 sebesar 3,8 persen (yoy). Sektor pertambangan tumbuh 2,3 persen (yoy). Lebih tinggi dari target APBN-2019. Hanya saja, industri pengolahan hanya mencapai 3,86 persen (yoy) tumbuh. Jauh dari target APBN-2018 sebesar 5,1 persen (yoy). Terjadinya perlambatan tumbuhnya sektor tradable menyebabkan Produk Domestik Bruto menurun. Padahal pada paruh pertama tahun 2018, kontribusi sektor tersebut mencapai 41,56 persen dan menurun menjadi 40,49 persen pada triwulan yang sama tahun 2019.

 

  1. Kinerja Kebijakan Moneter.

Kinerja kebijakan moneter terhitung sejak November 2018. Bank Indonesia kembali mempertahankan suku bunga acuan (BI 7-Days Repo Rate/BI 7-DRR) sebesar 6 persen per Juni 2019. Kebijakan moneter tersebut diputuskan di tengah desakan berbagai pihak (termasuk Pemerintah) agar BI memulai pelonggaran moneter. Tekanan penurunan suku bunga acuan utamanya didasari oleh proyeksi tertahannya kenaikan the Fed rate sepanjang tahun ini. Bahkan ada pospek penurunan the Fed rate pada semester kedua tahun ini. Beberapa bank sentral negara lain pun telah merespon arah kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunga acuannya (seperti India, Australia, Korsel, Turki, dan Malaysia).

Performa kebijakan fiskal, realisasi penerimaan perpajakan sepanjang Januari-Mei 2019 baru tercapai Rp 569  triliun atau sekitar 31,87 persen dari target APBN-2019 (Rp 1.786,4 triliun). Meskipun angka tersebut meningkat 5,69 persen (yoy), peningkatan realisasi tersebut masih jauh di bawah peningkatan pencapaian periode yang sama tahun lalu, mencapai 10,4 persen (yoy). Penerimaan pajak 21 sepanjang Januari-Mei 2019 tumbuh 22,49 persen (yoy); PPh 22 tumbuh 14,65 persen (yoy); PPh 25/29 naik 5,63 persen (yoy); PPh badan usaha dan orang pribadi masing-masing tumbuh 5,07 persen (yoy) dan 14,45 persen (yoy).

 

  1. Kinerja Kebijakan Fiskal.

Rendahnya kinerja fiskal tersebut, dimana pertumbuhan penerimaan pajak pada 2019, disebabkan oleh penurunan harga komoditas. Beberapa komoditas yang berpengaruh besar terhadap penerimaan pajak adalah minyak mentah, kelapa sawit. Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada Januari 2019 berada pada angka US$56,55 per barrel. Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga rata-rata harga minyak pada April mencapai US$68,22 barrel. Kenaikan sebesar US$12 barrel tersebut justru berbalik arah ketika melalui Mei dan Juni dengan pencapaian harga rata-rata Juni yang terjun bebas lebih dari US$7 per barrel menjadi US$61 per barrel. Demikian juga dengan yang terjadi pada harga minyak kelapa sawit. Pada Januari 2019, harga rata-rata minyak kelapa sawit berada pada posisi Rp 6505/kg.

Capaian fiskal tidak mencapai target karena adanya beban fiscal, yaitu beban utang Pemerintah yang semakin berat. Sejak awal 2019 hingga Mei 2019, Pemerintah sudah mencatatkan realisasi pembiayaan utang sebesar Rp 159,62 triliun atau sudah mencapai 44,43 persen dari alokasi pembiayaan utang dalam APBN 2019. Sumber utama pembiayaan utang tersebut adalah Surat Berharga Negara (SBN) dengan total Rp 186,04 triliun atau 47,83 persen dari target APBN 2019. Hal ini menjadikan porsi SBN dalam komposisi total utang Pemerintah pusat sebesar 82,88 persen. Dari keseluruhan SBN tersebut, total pembiayaan dalam denominasi Rupiah adalah sebesar 59,96 persen dan dalam denominasi valas adalah sebesar 22,93 persen.

 

  1. Kinerja Sektor Riil.

Tercapai-tidaknya target kinerja sektor riil bergantung pada stimulus modal. Realisasi pembentukan modal akan mempengaruhi performa investasi yang mendorong perbaikan sektor riil. Berdasarkan jumlah proyek sebagai kapitalisasi modal melalui pembentukan modal pada periode Januari hingga Mei 2019 tumbuh positif sebesar 172 persen (yoy). Namun, peningkatan itu menjadi semu sebab realisasi berdasarkan nilai investasi mengalami penurunan sebesar 54 persen (yoy). Dengan demikian penyerapan tenaga kerja domestik dari penanaman modal asing juga ikut  turun sebesar 28 persen (yoy).  Semua sektor yang mengalami penurunan realisasi investasi, dan sektor yang mengalami penurunan terbesar adalah sektor primer yang turun 78 persen (yoy).

Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang paruh pertama tahun 2019 melambat. Produksi industri manufaktur besar dan sedang tumbuh menurun sebesar 4,45 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut terendah sejak paruh pertama tahun 2017. Adapun pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang paruh pertama tahun 2018 tumbuh sebesar 5,36 persen. Penurunan tersebut dipicu oleh meningkatnya sentimen perang dagang yang mengganggu rantai pasok global. Selain  itu, kebijakan  Pemerintah yang tidak fokus dan serius dalam memperbaiki kinerja industri manufaktur ini bahkan cenderung melakukan pembiaran. Tidak sedikit industri manufaktur ini yang tidak berjalan menguntungkan, seperti Krakatau Steel.

 

  1. Kinerja Neraca Perdagangan.

Kinerja neraca transaksi berjalan masih defisit (DCA) hingga US$6,9 miliar pada paruh pertama tahun 2019, meskipun naik dari US$5,1 miliar pada paruh pertama tahun 2018. Defisit neraca transaksi berjalan mencapai 2,6 persen dari PDB. Naik dari 2 persen dari PDB. Sementara itu, surplus neraca perdagangan turun menjadi US$1 miliar pada paruh pertama tahun 2019 dari US$2,3 miliar pada tahun 2018 paruh pertama. Besaran gap defisitnya masih menganga, mencapai US$1,7 miliar. Naik dari US$1,5 miliar. Hal ini disebabkan oleh derasnya aliran modal asing sepanjang paruh pertama tahun 2019 sehingga mampu mencetak surplus neraca pembayaran mencapai US$2,4 miliar. Naik dari defisit US$3,8 miliar pada paruh pertama tahun 2018. Surplus tersebut ditopang oleh aliran dana asing ke investasi langsung dan portofolio masing-masing US$5 miliar. Setahun yang lalu, aliran investasi portofolio defisit US$1,1 miliar.

 

Penutup

Lambannya kinerja pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, diiringi dengan perubahan struktur investasi yang dominan, merapuhkan fundamental perekonomian, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Kinerja perdagangan ekspor dan impor pun tidak kunjung membaik. Ini adalah akibat dari kinerja produktivitas sektor riil yang tak kunjung membaik. Efisiensi penggunaan modal dan kinerja investasi juga semakin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Pada akhirnya economy loss setiap tahun belum dapat dikendalikan secara baik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tak kunjung tercapai sesuai yang ditargetkan. Hal ini semua menunjukkan bahwa rapuhnya fundamental ekonomi pada paruh pertama tahun 2019 tidak dapat dielakkan.

Berdasarkan intisari tersebut, tentu perbaikan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter perlu dilakukan. Di antaranya melalui kebijakan fiskal yang berkualitas dan efektif, seperti stimulasi produktivitas sektor riil domestik melalui berbagai kemudahan (insentif) fiskal dalam negeri bagi para investor; kemudahan akses input produksi bagi investor; pembenahan sistem ketenagakerjaan dengan semangat pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-equality; pembenahan sistem perpajakan untuk usaha dalam negeri; perbaikan iklim investasi dengan menjada persaingan usaha yang sehat. Selain itu, inovasi dan kreativitas kebijakan moneter yang independent menjadi sangat penting dalam mendorong sektor keuangan yang dapat menggerakan sektor riil, seperti melalui penerapan inflation targeting yang terencana, relaksasi persyaratan akses modal, dan menjaga nilai tukar dalam negeri yang semakin menguat. [M. Rizal Taufikurohman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × one =

Back to top button