Amsterdam Minta Maaf, Bukti Pernah Perbudak Indonesia
Permintaan maaf Wali Kota Amsterdam Femke Halsema atas perbudakan yang dilakukan di Indonesia selama masa kolonial dinilai Sejarawan Moeflich Hasbullah sebagai konfirmasi bahwa Belanda pernah memperbudak Indonesia. “Permintaan maaf ini mengonfirmasi bahwa Amsterdam dulu, terutama pemerintah pusat Belanda, itu pernah melakukan perbudakan di Indonesia,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (3/7/2021).
Menurut Moeflich, Wali Kota Helsema di Amsterdam itu salah satu wali kota yang menyadari bahwa Belanda yang sekarang adalah negara modern yang pada faktanya secara historis pernah melakukan perbudakan di Indonesia. “Itu jelas sekali. Cuma sayangnya itu baru tingkat wali kota. Di kota-kota lainnya katanya sedang dipertimbangkan. Tapi itu lumayan. Mewakili kesadaran di era modern,” ujarnya.
Moeflich menuturkan, di dunia yang makin beradab, makin modern dan makin humanis memang manusia terutama negara-negara Barat itu akhirnya mengakui bahwa sejarah Eropa dan sejarah Amerika itu pernah mengalami suatu masa kegelapan. Mereka pernah melakukan perbudakan atas negara-negara lain, atas bangsa-bangsa lain, yang disebut era kolonialisme.
“Jadi negara-negara Eropa itu menyebar ke berbagai negara di dunia untuk menguasai ekonomi mereka, rempah-rempah perekonomian penjajahan juga sekaligus menyebarkan Kristen melalui Injil. Kan yang dikenal dengan 3G (gospel, gold and glory). Pencarian kemakmuran dengan cara penjajahan kolonial kemudian penyebaran Injil dan untuk kemakmuran kejayaan bangsa-bangsa mereka. Jadi, itu masa gelap bangsa Eropa yang memang akhirnya diakui masyarakat Eropa modern sekarang. Walaupun tidak semuanya,” bebernya.
Moeflich menilai saat ini kolonialisme sebetulnya masih tetap berjalan, tetapi sudah tidak mungkin lagi berbentuk fisik. Makanya yang sekarang berkembang itu adalah kolonialisme gaya baru. “Itu yang disebut neokolonialisme,” ujarnya.
Menurut Moeflich, neokolonialisme ini dilakukan dengan cara penguasaan ekonomi, penaklukan politik dan pendiktean kebijakan-kebijakan kepemimpinan kenegaraan. “Menakluk-kan sebuah negara tidak lagi mesti menjajah secara fisik dan politik, tetapi melalui kebijakan-kebijakan yang dikuasai dengan jebakan utang yang kemudian mengendalikan kebijakan negara itu kepada rakyatnya. Saat ini negara menjadi negara korporasi. Bukan lagi melayani kepentingan rakyatnya dan masyarakatnya, tapi negara yang melayani kepentingan asing,” ungkapnya.