
Golput 90 Persen, Rakyat Tunisia Hanya Benci Parlementer?
Pernyataan Presiden Tunisia Kais Saied yang menyebut sekitar 90 persen (rakyat yang memiliki hak pilih) tidak berpartisipasi dalam pemungutan suara (pada Ahad 22 Januari) karena Parlemen tidak berarti bagi mereka dinilai Aktivis Hizbut Tahrir Tunisia Muhammad Abdul Malik, Kais ingin mengatakan dirinya dan sistem presidensialnya tidak bertanggung jawab atas tingginya golput.
“Presiden Saied ingin mengatakan bahwa dia dan sistem presidensialnya tidak bertanggung jawab atas tingginya angka golput dalam Pemilu, sebab golput itu terkait erat dengan kebencian rakyat terhadap sistem parlementer,” ujar Abdul Malik sebagaimana diberitakan hizb-ut-tahrir.info, Senin (8/2/2023).
Seperti diketahui, Kais Saied mengusung perubahan sistem pemerintahan parlementer menjadi presidensial. Dengan pernyataannya seperti itu, seolah Kais ingin mengopinikan bahwa rakyat juga membenci parlementer saja (tidak membenci presidensial).
Mengenai alasan sebenarnya di balik golputnya rakyat Tunisia dalam pemilihan ini, ujar Abdul Malik mengutip pers rilis HT Tunisia, “Yang benar adalah bahwa rakyat Tunisia telah membenci sistem dan rezim buatan manusia secara keseluruhan, bahwa dalam revolusinya mereka menuntut untuk menggulingkannya. Mereka telah menyadari bahwa pemilihan ini tidak dapat membawa perubahan apa pun, sebab pemilihan ini hanyalah alat untuk mengokohkan rezim.”
“Jadi, pemilihan ini hanya dilakukan untuk karyawan bagi departemen Barat,” tegasnya.
Menurut Abdul Malik, Pemilu seperti ini tidak untuk mereka yang melayani kepentingan rakyat, atau apa yang menguntungkan mereka. Pemilu ini hanya untuk mereka yang melayani kepentingan rezim dan dilakukan hanya untuk memperpanjang umurnya.
“Pemilu dalam rezim sekarang ini hanya akan memperpanjang umur rezim ini. Isu perubahan undang-undang Pemilu yang diusung oleh Presiden, atau isu peralihan dari sistem parlementer ke sistem presidensial, sama sekali tidak akan membawa perubahan yang nyata. Pasalnya, akar permasalahan kita adalah sistem sekuler itu sendiri, yang sekarang ada, terlepas dari warna dan bentuknya, dan terlepas dari sosok penguasanya,” tegasnya membacakan pers rilis tersebut.
Di sisi lain, pernyataan pers menekankan bahwa Pemilu tidak akan pernah adil dan bermakna kecuali di bawah naungan sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Pasalnya, dalam negara Khilafah, kekuasaan membuat hukum adalah milik Allah SWT.
Oleh karena itu, jelas Abdul Malik, tidak akan ada ruang untuk undang-undang yang dibuat untuk kepentingan penerima manfaat mana pun. Sebabnya, dalam sistem Khilafah kedaulatan milik syariah dan kekuasaan milik umat.
Dalam sistem Khilafah, beber Abdul Malik, umat membaiat seorang penguasa untuk memerintah sesuai dengan hukum Islam (syariah), dan Qâdhî Mazhâlim dapat memberhentikan penguasa mana pun jika terbukti telah berbuat zalim, atau melanggar konstitusi.
“Qâdhî Mazhâlim berwenang untuk mengadili setiap pengaduan yang diajukan oleh rakyat terkait kezaliman yang dilakukan oleh siapa pun di antara aparatur negara, tanpa memandang ras atau agamanya,” jelasnya mengutip pers rilis.
Pernyataan pers itu diakhiri dengan menekankan bahwa pemilihan di bawah naungan negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah adalah pemilihan yang membawa keharmonisan di tengah masyarakat.
“Jadi, pemilihan dan proses pemilihan di bawah naungan sistem khilafah akan mewujudkan keadilan, stabilitas dan keharmonisan dalam masyarakat,” pungkasnya.