Dunia Terbalik, Dakwah Must Go On
Benar-benar dunia terbalik,” ujar Pak Habib agak ketus.
“Memangnya kenapa, Pak? Kok kayak sewot begitu,” tanya saya.
“Iya, sekarang mah banyak yang aneh. Kagak masuk di akal sehat,” jawabnya.
“Maksudnya, tentang apa?” desak saya.
Ia pun segera mengutarakan isi hatinya. “Sesaat sesudah dilantik, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan ‘Saya kan bukan menteri agama Islam, saya menteri agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama’,” lanjutnya. “Namun, yang ia lakukan selalu berkaitan dengan umat Islam,” tambahnya. “Dia akan merombak 155 buku pelajaran agama, padahal itu sudah dipakai belasan tahun. Waspadai tuh, nanti ajaran campur sari alias sinkretisme banyak masuk ke sono. Dengan alasan toleransi, umat Islam, khususnya kawula muda, didorong-dorong untuk partisipasi dalam ajaran agama lain. Contohnya, salam saja kok campur-campur. Salam Islam, Kristen, Hindu dan Budha campur jadi satu,” ujarnya penuh semangat.
Ustadz Deni turut nimbrung, “Saya kalau tidak salah pada tanggal 23 Oktober 2019 nonton di sebuah TV swasta, Menteri Agama mengancam untuk menindak tegas ustadz-ustadz yang isi ceramahnya dapat merusak keutuhan bangsa. Aneh, kok yang disebut cuma ustadz. Pendeta, rahib, romo, biksu atau sebutan lainnya tidak disebut-sebut akan diancam.” Segera ia tambahkan, “Sangat tendensius sekali.”
Pak Wawan tak tahan untuk bicara, “Iya, urusan cadar dan celana cingkrang akan dilarang. Itu kan arahnya jelas pada ajaran Islam.”
“Memang benar, aneh-aneh sekarang mah. Katanya, bukan hanya menteri agama Islam, tapi yang terasa disakiti oleh omongan dan kebijakannya itu kok umat Islam melulu,” ungkapnya sambil geleng kepala.
Barangkali, banyak orang yang merasa terwakili perasaannya oleh perbincangan itu.
“Beberapa waktu lalu juga ada yang aneh,” Pak Wildan nimbrung. “Kan sudah menjadi kesepahaman rakyat, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa mantan koruptor tidak boleh menjadi pejabat. Bahkan ada yang dicabut hak politiknya. Eh, Menteri Dalam Negeri, Pak Tito, mengatakan usul KPU yang melarang eks napi koruptor maju Pilkada sebagai konsep kuno. Dia menyebut, saat ini Indonesia sudah mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni beralih dari pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi teori rehabilitasi. Aneh, toh?!” tambahnya. “Kepentingan adalah raja,” ia mengakhiri ucapannya.
Kang Rani yang dari tadi menyimak turut berkomentar. Ia berkata, “Jaman sekarang nih jaman edan. Masa Sukmawati ingin membandingkan Pancasila dengan al-Quran?!” Segera ia susul dengan menyatakan, “Dengan bahasa tubuh dan intonasi yang menggambarkan pelecehan, Sukmawati mengatakan ‘Mana yang lebih bagus Pancasila sama al-Quran?’ Ini pertanyaan melecehkan. Wong al-Quran itu wahyu, Pancasila bukan. Al-Quran itu membacanya ibadah, Pancasila itu tidak. Al-Quran itu dibawa oleh Rasul, Pancasila itu hasil rembukan. Al-Quran itu mukjizat Rasulullah, Pancasila itu bukan mukjizat Rasulullah. Al-Quran itu ada 30 juz dengan 114 surat, Pancasila terdiri dari 5 sila. Dan sebagainya. Tidak apple to apple pembandingannya. Kok minta dibandingkan. Pertanyaannya pun sangat tendensius!”
Pak Wawan tanya, “Katanya sudah klarifikasi bahwa tidak ada niat melecehkan?”
Kang Rani pun sigap menjawab dengan gaya millenialnya, “Omongannya beda dengan kelakuannya! Masa iya tidak sengaja, wong tahun lalu juga menghina jilbab, padahal jilbab itu ajaran Islam. Katanya konde lebih baik daripada jilbab. Saiki kok diulang.”
“Memang sekarang ini orang Islam makin berani melecehkan agamanya sendiri. Kalau orang Islam sudah bersikap seperti ini, jangan heran, orang-orang di luar Islam pun akan dengan berani melakukan hal serupa,” imbuh Pak Wawan.
Ya. Saat ini Islam dianggap asing. Persis seperti sabda Nabi saw., “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR Muslim).
Orang yang mencintai Islam dan mencintai Rasulullah saw. niscaya ia akan mentaatinya. Pepatah mengatakan, “Ashlul hubbi tha’ah al-habib. Pangkal cinta adalah mentaati yang dicintai.”
Bahkan Imam Syafi’i mengatakan, “Innal muhibba liman yuhibbu muthi’. Sungguh orang yang mencintai terhadap yang dia cintai itu taat.”
Namun, lagi-lagi aneh, ketika seseorang berupaya untuk taat dan terikat dengan aturan Allah SWT, mencoba untuk ‘hijrah total’, eh ditakut-takuti dengan alasan anti-kebhinekaan, intoleran atau radikal. Dianggap asing. “Hijrah jangan berlebihan,” kata mereka. Mulut pun tak berhenti untuk membangun narasi yang memojokkan siapa pun yang mencintai Islam dan mencintai Rasul. Aneh, bukan?!
Namun, don’t worry be happy. Allah SWT berfirman dalam al-Quran yang maknanya: Katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (TQS al-Isra [17]: 81).
Dalam Tafsir al-Wajiz, Prof. Wahbah az-Zuhaili mengatakan, “Inilah sifat untuk yang batil, yakni akan lenyap. Akan tetapi, kadang ia menjadi kuat dan laris di tengah-tengah manusia ketika tidak dilawan oleh yang haq. Namun, ketika yang haq datang, maka yang batil segera lenyap. Oleh karena itu, kebatilan tidaklah laris di tengah masyarakat kecuali ketika mereka berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”
Artinya, bila umat Islam menyampaikan kebenaran maka kebatilan akan hancur dengan sendirinya. Namun, bila umat Islam diam tidak menyerukan kebenaran maka kebatilan itulah yang akan unggul. Karena itu dakwah must go on.
WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]