Fokus

Lima Tahun Kedepan Indonesia Makin Suram

Menimbang rekam jejak Presiden Jokowi lima tahun sebelumnya, juga melihat personil menteri-menteri yang baru diangkat, tak berlebihan bila banyak pihak memperkirakan lima tahun ke depan Indonesia semakin suram.

Salah satunya seperti yang dinyatakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Profesor Suteki. “Menurut saya lima tahun ke depan akan lebih suram,” ujarnya di hadapan sekira 250 peserta Diskusi Tabloid Media Umat: Masa Depan Umat Lima Tahun ke Depan, Kamis (31/10/2019) di Gedung Joang, Jakarta.

 

Tidak Kompeten

Selain kontroversi kemenangannya dari hasil Pemilu 2019, yang dinilai oleh anak penguasa Orde Baru Titiek Soeharto sebagai Pemilu yang lebih curang dari era Pak Harto, Jokowi kembali menuai kontroversi ketika pada 23 Oktober 2019 mengumumkan Kabinet Indonesia Maju. Pasalnya, sebagian orang yang dipilih dianggap tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

Sebut saja Fachrul Razi. Ia ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia dianggap kontroversi lantaran latar belakangnya yang berasal dari militer dan tidak memiliki riwayat tergabung dalam basis keagamaan.

Anggota Komisi VIII atau Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid, misalnya, menilai kompetensi Fachrul jauh dari ruang lingkup tugas Kementerian Agama.

Namun, Jokowi memiliki alasan tersendiri untuk memilih dia. Menurut Jokowi, Fachrul memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme.

Kontroversi semakin santer lantaran seusai dilantik, Fachrul menegaskan bahwa dirinya bukanlah menteri agama Islam yang hanya mengurusi agama Islam saja. Kemudian tanpa angin tanpa hujan dia melakukan serangan narasi terhadap khilafah, cadar dan celana cingkrang.

Kontroversi semakin menjadi tatkala khutbah perdananya sebagai Menteri Agama pada 1 November 2019 itu disebut tak menggunakan shalawat pada khutbah pertama dan tanpa wasiat takwa pada khutbah kedua, yang keduanya merupakan salah satu rukun khutbah Jumat. Rais Syuriyah PWNU Jakarta Zuhri Ya’qub, misalnya. Dia dengan tegas mengatakan khutbah Jumat Menag Fachrul Razi di Istiqlal tidak sah!

Berikutnya adalah Nadiem Makarim. Ia diangkat presiden sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sosok milenial liberal yang menikah dengan non-Muslim di gereja tersebut tidak memiliki latar belakang politisi ataupun di bidang pendidikan.

Jokowi menjelaskan, ia memilih Nadiem karena latar belakang Nadiem yang mendirikan perusahaan rintisan berbasis teknologi semacam Go-Jek. Ia yakin Nadiem bisa menggunakan keahliannya di bidang teknologi untuk menerapkan standar pendidikan yang sama bagi 300 ribu sekolah dengan 50 juta pelajar yang tersebar di seluruh Indonesia.

Padahal kalau tujuannya itu, orang yang memiliki keahlian teknologi semacam Nadiem cukup saja dijadikan sebagai konsultan IT Kemendikbud. Enggak perlu jadi menteri, kan?

 

Rekam Jejak Buruk

Selain penempatan menteri yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Presiden juga menempatkan orang-orang bermasalah di kabinet sebelumnya untuk menjadi menteri lagi.

Sosok Tito Karnavian yang sebelumnya merupakan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) ini ditunjuk Jokowi untuk menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Penunjukan Tito menuai banyak pertanyaan publik. Salah satu alasannya, karena Tito dianggap belum bisa mengungkap kasus penyiraman air keras yang dilakukan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Tito juga tersangkut kasus suap impor daging yang tercatat dalam “Buku Merah”. Tempo.co pada 8 Oktober 2018 memberitakan hasil temuan Indonesialeaks yang mengungkap dokumen pemeriksaan staf bagian keuangan CV Sumber Laut Perkasa (SLP) Kumala Dewi Sumartono tertanggal 9 Maret 2017. Dokumen itu terkait kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) soal aturan impor daging sapi yang melibatkan CV Sumber Laut Perkasa (SLP) Basuki Hariman (pemilik) dan Ng Fenny (general manager).

Ternyata, buku bank warna merah yang berisi catatan aliran dana dari SLP kepada Tito sebagiannya dihapus dengan type-ex dan 15 halaman lainnya dirobek oleh penyidik KPK dari kepolisian, yakni Roland Ronaldy dan Harun.

Seperti tertuang dalam salinan berita acara pemeriksaan KPK yang diungkap Indonesialeaks, 15 halaman yang dirobek dan bagian lain yang di-type ex ada 19 catatan transaksi untuk individu yang terkait dengan institusi Kepolisian RI. Tertulis dalam dokumen itu, Tito tercatat paling banyak mendapat duit. Nominal untuk setiap transaksi berkisar Rp 1 miliar.

Berdasarkan hukum yang berlaku, Roland dan Harun seharusnya dijerat UU Tipikor dengan ancaman 3-12 tahun penjara karena telah menghilangkan barang bukti penyuapan. Namun, oleh Tito, Roland malah diangkat jadi Kapolres Cirebon, sedangkan Harun diberi ‘tiket’ sekolah di Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen) ke-57 tahun ajaran 2017 bersama 257 perwira menengah Polri lainnya untuk meningkatkan jenjang karir.

Kepada wartawan, Jokowi menegaskan, alasannya memilih Tito masuk ke kabinet lantaran Tito memiliki banyak pengalaman. “Ya kita tahu Pak Mendagri ini memiliki pengalaman di daerah, pengalaman yang baik di lapangan,” ujar Jokowi.

Selanjutnya adalah Yasonna Laoly. Kader PDIP yang tersangkut kasus korupsi e-KTP ketika menjadi anggota DPR (2009-2014) tersebut kembali menjadi Menkumham. Padahal di bawah kepemimpinannya, Menkumham pernah dikritik, salah satunya oleh KPK, karena memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman kepada 400 narapidana kasus korupsi pada Agustus 2017.

Kontroversi Yasonna lainnya terkait dengan UU KPK yang tercipta pada akhir periode Jokowi-JK. UU yang semakin memperlemah peran KPK tersebut menurut penyidik senior KPK Novel Baswedan kepada penulis merupakan hasil persekongkolan untuk membunuh KPK.

Jokowi menyebut, penugasan kembali Yasonna salah satu alasannya untuk memperbaiki RUU yang dianggap bermasalah. Karena memang masih tersisa beberapa RUU yang sudah dibahas Pemerintah dan DPR karena protes masyarakat.

Menteri bermasalah lainnya adalah Tjahjo Kumolo yang diangkat menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan, banyak kebijakan yang dirasa cukup kontroversial selama Kemendagri berada di bawah pimpinan Tjahjo.

“Yang kontroversial itu adalah pemberian akses kependudukan terhadap pihak di luar Pemerintah. Belum lagi kontroversi pencabutan perda bernuansa agama dan penunjukan perwira polisi aktif sebagai pelaksana tugas kepala daerah,” ucap Hendri.

Hal lain yang menurut Hendri masih kontroversial, Mendagri memberikan pernyataan untuk memilih Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 di depan kepala desa. Tindakan Tjahjo tersebut tak hanya melanggar aturan undang-undang, tetapi juga norma-norma masyarakat bernegara.

 

Dibawa ke Mana?

Untuk mengetahui ke mana lima tahun ke depan rakyat akan dibawa maka kita harus memperhatikan kata pertama (first words) yang keluar dari pemimpin tertinggi di negeri ini, karena ini adalah kata yang mencerminkan isi otak secara keseluruhan.

“Kita tidak mendapati di dalam first words presiden soal korupsi, keadilan, HAM, pemerataan. Itu tidak ada. Enggak ada itu. Enggak ada. Padahal kita tahu bahwa negeri ini sedang menghadapi persoalan yang luar biasa terkait korupsi, ratusan orang meninggal dalam Pilpres 2019, kerusuhan di Papua, soal ketidakadailan ekonomi, soal ketidakadilan hukum,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto.

Seperti publik tahu, first words yang muncul adalah radikalisme. Setidaknya itu muncul di Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), juga Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Entah apa definisi radikalisme yang dimaksud rezim, tetapi dalam praktiknya di hari-hari pertama menjabat malah menyerang sebagian ajaran Islam. Dengan kompak dan sahut-menyahut hampir setiap hari mereka melakukan serangan verbal terhadap khilafah, cadar, celana cingkrang.

Bahkan selain berulang menyerang khilafah, Menkopolhukam Mahfud MD sempat sekali menyebut bahwa mengajarkan pemisahan pergaulan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram kepada anak kelas 5 SD sebagai “virus-virus jahat” dan tindakan “radikalisme”.

Dengan mengklaim mencegah radikalisme, Kemenag pun mengumumkan tengah merombak 155 buku pelajaran Agama Islam baik untuk madrasah maupun sekolah dari kelas 1 hingga kelas 12 salah satunya terkait khilafah. Bila tak ada aral melintang, buku-buku penggantinya diluncurkan pada Januari 2020.

Mendengar rencana Kemenag tersebut, Mendikbud langsung mengaminkannya. “Saya selalu mendukung apa arahan Presiden  sama apa yang Pak Menag ingin lakukan,” kata Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 14 November 2019.

Walhasil, bila hanya mengandalkan pelajaran sekolah/madrasah, sangat dimungkinkan generasi Muslim ke depan tidak akan mengenal lagi sebagian ajaran Islam, termasuk yang merupakan mahkota kewajiban (tajul furudh) tersebut.

Kalangan aparatur sipil negara pun tak luput dari serangan rezim sekular radikal intoleran. Pada 12 November 2019 Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bekerjasama dengan 10 kementerian dan lembaga meluncurkan situs pelaporan ASN yang diduga terpapar radikalisme. Situs aduanasn.id diklaim untuk memastikan Pancasila dipegang teguh ASN.

Pembuatan situs tersebut dinilai berpotensi besar menimbulkan saling curiga, saling lapor antar anak bangsa. Dikhawatirkan tidak hanya saling curiga dan lapor, malah berpotensi saling stigma, persekusi dan tindakan fisik. “Apabila ini terjadi, dikhawatirkan negara telah mensponsori kebencian antar anak bangsa,” ujar Sekjen LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan dalam rilis pendapat hukumnya yang diterima Alwaie, Rabu (13/11/2019).

Klaim Pemerintah, situs tersebut untuk memastikan “Pancasila dipegang teguh” ASN juga sangat berpotensi membuat Pemerintah menjadi diktator bila tidak ada definisi yang konkret.  “Wajib ada defenisi dan batasan konkret terkait apa saja yang dapat dinilai sebagai ‘Pancasila dipegang teguh’,” tegas Chandra.

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), kebijakan dan tindakan Pemeritah harusnya dibatasi oleh undang-undang. Jika tidak maka akan terjerumus ke dalam negara kekuasaan (machstaat) yang berpotensi menjadi diktator.

Chandra juga menyeru Pemerintah untuk tidak melakukan stigmatisasi dan tindakan persekusi terhadap seseorang dan kelompok dengan tuduhan sebagai “anti Pancasila, anti kebhinekaan, mengganggu dan mempermasalahkan Pancasila”. Apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat.

Belum lagi defenisi radikal tidak memiliki dasar hukum (legal standing). Padahal semestinya setiap tindakan Pemerintah itu harus ada dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan (wetmatig-heid van het berstuur).

Jelaslah bagi rezim, memerangi radikalisme yang sejatinya adalah memerangi Islam, sebagai fokus utama. Ketidakadilan bukan persoalan. Maraknya korupsi bukan persoalan.

“Dari sana kita bisa meraba ke mana kita akan dibawa dan bagaimana hal tadi itu mau diselesaikan,” beber Ismail memandu publik memprediksikan cara rezim ini bertindak untuk lima tahun ke depan.

Ini sangat ironis, bagaimana bisa di negeri mayoritas Muslim, persoalan praktik dan paham Islam itu ditempatkan sebagai masalah yang paling besar dan dijadikan prioritas yang paling tinggi. Menurut Ismail, hal itu hanya mungkin terjadi jika otak para pemimpin negeri ini dan para kroninya mengidap fobia Islam (Islamophobia) dan sekularisme radikal.

 

Semakin Liberal

Di satu sisi ajaran Islam semakin diberangus, di sisi lain liberalisme semakin disuburkan. Di bidang ekonomi, misalnya, kembali ‘si ratu utang renten dan tukang menaikkan pajak’ Sri Mulyani dipilih sebagai Menteri Keuangan sebagai salah satu indikasinya. Dapat diprediksikan utang riba negara semakin membesar, pajak semakin membengkak. Sudah pasti itu akan semakin mencekik rakyat.

Dengan kembali Luhut Binsar Panjaitan dipilih sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dapat diprediksikan investasi asing semakin terbuka terutama dari Cina. Pasalnya, ketika nomenklatur kementeriannya sebelum ditambah kata “dan Investasi” saja, Luhut sudah penuh semangat mendukung masuknya investasi Cina.

Investasi tersebut sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Bukan hanya keharaman  pinjaman uangnya yang berbunga, investasi Cina juga mensyaratkan material pembangunan dan tenaga kerja dari Cina. Selain berdampak dosa besar, minimnya penyerapan tenaga kerja dalam negeri karena sebagian besar tenaga kerja diambil dari Cina, juga akan membangkrutkan pabrik-pabrik material pembangunan infrastruktur dalam negeri yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran rakyat Indonesia sendiri.

Kebijakan rezim yang membebani rakyat juga semakin meningkat. Salah satunya dengan kenaikan seratus persen premi BPJS serta kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya.

Sektor pendidikan juga diprediksikan semakin liberal dan disorientasi keimanan dan ketakwaan. Selain pemisahan mata pelajaran dari keimanan (sekularisasi) yang selama ini terjadi, pelajaran agama Islam pun semakin dikebiri dengan dihapusnya berbagai materi pelajaran yang diklaim rezim sebagai radikal.

Orientasi pendidikan lebih diarahkan pada keterampilan agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan para kapitalis, juga memberikan jalan lebar kepada asing untuk menguasai pendidikan, salah satunya dengan semakin bertambahnya rektor asing.

Di sektor politik, seperti yang tampak menguat sejak enggannya rezim menindak secara hukum penistaan agama yang dilakukan Ahok pada 2016, rezim dan para penjilatnya akan semakin sekuar radikal intoleran, represif, pragmatis dan gemar mengadu domba.

Bila rezim ini tak berputar haluan dan tak ada pula yang dapat menghentikan, maka prediksi lima tahun ke depan Indonesia akan lebih suram bisa jadi kenyataan. Na’udzubilLahi min dzalik. [Joko Prasetyo].

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − 10 =

Back to top button