Hakikat Ahlul Quran
Allah SWT menciptakan manusia. Allah SWT memuliakan mereka dengan tuntunan yang mengatur segala aspek kehidupannya. Allah SWT menyifati mereka yang mengimani, memahami dan mengamalkan al-Quran dengan bahasa kiasan: “keluarga”-Nya (ahluLlâh). Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ
“Sungguh Allah memiliki ‘keluarga’ dari kalangan manusia.”
Sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah saw. menjawab:
أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ للهِ وَخَاصَّتُه
“Ahlul Quran. Merekalah keluarga Allah dan orang-orang spesial-Nya.” (HR Ahmad dan al-Hakim).
Dalam hadis yang mulia ini, predikat AhluLlâh disematkan kepada Ahlul Quran; dipisahkan oleh lafal hum yang menunjukkan pengkhususan predikat AhluLlâh wa khâshshatuhu (al-musnad) kepada ahl al-Qur’ân (al-musnad ilayh) (dhamîr al-fashl li ikhtishâh al-musnad bi al-musnad ilayh).
Seperti apa karakteristiknya? Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad al-Ajurri (w. 360 H) menukil perkataan Isa bin Yunus dalam kitab Akhlâq Ahl al-Qur’ân (hlm. 77-78):
…بَصِيرًا بِزَمَانِهِ وَفَسَادِ أَهْلِهِ، فَهُوَ يَحْذَرُهُمْ عَلَىدِينِهِ، مُقْبِلًا عَلَى شَأْنِهِ، مَهْمُومًا بِإِصْلَاحِ مَا فَسَدِ منْ أَمَرِهِ، حَافِظًا لِلِسَانِهِ، مُمَيِّزًا لَكَلَامِهِ، إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِعِلْمٍ إِذَا رَأَى الْكَلَامَ صَوَابًا، وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ بِعِلْمٍ إِذَا كَانَ السُّكُوتُ صَوَاًبًا
…Memiliki bashîrah (pandangan yang tajam) atas keadaan zamannya dan kerusakan penduduknya. Dialah sosok yang memperingatkan mereka dengan ajaran Din-nya, menerima kedudukannya, disibukkan dengan memperbaiki apa yang manusia rusak, menjadi orang yang memelihara lisannya, memilah-milah perkataannya. Tatkala berbicara, dia berbicara dengan ilmu jika ia dapati kebenaran dalam perkataan tersebut. Tatkala diam, dia diam karena ilmu jika diam adalah kebenaran bagi dirinya.
Betapa indahnya penggambaran dalam maqâlah di atas. Ahlul Quran bukanlah mereka yang diam menutup mata dan menutup-nutupi realita kerusakan masyarakat. Contohnya kerusakan pada zaman ini akibat ideologi kufur Kapitalisme dan Komunisme serta paham-paham sesat menyesatkan semisal Demokrasi. Ahlul Quran tidak diam atas kemungkaran, melainkan aktif melakukan perbaikan. Merekalah yang layak disifati oleh Baginda Rasulullah saw. sebagai sebaik-baik insan. ’Utsman bin ’Affan ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda:
خَيْركُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآن وَعَلَّمَه
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan al-Quran (HR al-Bukhari).
Sejalan dengan predikat khair an-nâs, Durrah binti Abi Lahab ra. berkata: Seseorang pernah berdiri ketika Rasulullah saw. di atas mimbar. Dia lalu bertanya, “Siapakah sebaik-baiknya manusia” Beliau menjawab:
خَيْر النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling patuh, paling bertakwa, paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar dan paling sering menyambung tali silaturahmi (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Karakteristik Ahlul Quran: Mengunggulkan Hukum Al-Quran
Allah SWT menggambarkan secara kiasan bahwa al-Quran adalah hud[an] (petunjuk). Ini untuk menegaskan kedudukan agung menjadi tuntunan hidup manusia. Allah SWT berfirman:
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
Al-Kitab (al-Quran) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertawa (QS al-Baqarah [2]: 2).
Dalam ayat ini, al-Quran disebut dengan kata tunjuk dzâlika. Kata ini menunjukkan pengagungan atas al-Quran (li al-ta’zhîm wa at-tanbîh ’ala ’uluww sya’nihi). Ini diperjelas dengan kiasan (al-majâz al-’aqli) yang menggambarkan kedudukan al-Quran sebagai petunjuk. Padahal Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk (Al-Hâdî). Dia menunjukkan fungsi utama al-Quran sebagai tuntunan hidup manusia.
Pertama: Secara manthûq ayat ini menyebutkan bahwa orang-orang yang mengambil petunjuk al-Quran dan mengambil manfaat kebaikannya adalah orang-orang yang bertakwa. Kedua: Secara mafhûm bisa disimpulkan bahwa orang yang mengambil petunjuk al-Quran akan menjadi orang yang bertakwa (dalam tinjauan).
Al-Quran mengandung petunjuk dalam setiap ayatnya. Kebenarannya ditegaskan oleh Allah dengan penafian atas keraguan. Ini ditandai oleh dua petunjuk: Pertama, huruf lâ dalam ayat ini adalah lâ nafiy (bermakna menafikan). Kedua, kata rayb bermakna keraguan (al-syakk). Dengan demikian frasa lâ rayba bermakna: tidak ada keraguan (lâ syakka), yang berarti pula meyakinkan.
Kebalikan dari petunjuk (al-hudâ’) adalah kesesatan (al-dhalâl). Hal ini menunjukkan bahwa menyalahi al-Quran merupakan sebab kesesatan.
Mereka yang memposisikan al-Quran sebagai petunjuk inilah yang layak menyandang predikat Ahlul Quran (Keluarga al-Quran). Dalam realisasinya, pengamalan al-Quran dan penerapan hukumnya dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan (Khilafah). Inilah yang menjadi intisari dari atsar Utsman bin Affan ra.:
مَا يَزَعُ الله بِالسُّلْطَانِ أَكْثَرُ مِمَّا يَزَعُ بِالْقُرآنِ
Persoalan apa yang Allah selesaikan dengan keberadaan penguasa lebih banyak daripada apa yang diselesaikan oleh al-Quran (tanpa kekuasaan yang menjalankannya).
Karena itu tiada manusia yang paling jahil, kecuali mereka yang menukar petunjuk ini dengan kesesatan. Di antaranya dengan mengedepankan hukum jahiliah daripada hukum Allah, sebagaimana peringatan-Nya:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Mahmud bin Abdurrahim Shafi dalam Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân (VI/375) menegaskan bahwa huruf hamzah pada awal ayat ini, afahukma, dan man dalam kalimat wa man ahsanu, merupakan bentuk istifhâm, yakni kata tanya. Namun, maksudnya adalah pengingkaran (al-istifhâm al-inkâri). Dalam ilmu balaghah, ia merupakan bentuk kata tanya yang keluar dari konteks fungsi hakikinya, yakni mengandung maksud pengingkaran.
Pertama: Kalimat afahukma al-jâhiliyyah yabghûna merupakan pengingkaran sekaligus bentuk keheranan serta celaan atas perbuatan mereka karena berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan mencari hukum lain. Hal ini merupakan hal yang ganjil dan mengherankan. Artinya, perbuatan mencari hukum jahiliah merupakan perkara yang paling tercela dan mengherankan. Perbuatan semacam ini, menurut Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb (XII/375), mutlak kejahilannya dan jelas berasal dari hawa nafsu (mahdh al-jahl wa sharîh al-hawâ’).
Kedua: Kalimat wa man ahsanu minaLlâhi hukm[an] merupakan pengingkaran atas adanya hukum yang lebih baik daripada hukum Allah atau setara dengannya, sebagaimana penggunaan konteks kalimatnya. Kata hukm dalam ayat ini pun berbentuk nakîrah (tanpa alif lam) yang cakupannya umum (mubham). Tidak spesifik. Dengan demikian bisa ditegaskan bahwa tidak ada hukum apapun yang lebih baik daripada hukum Allah. Kata ahsanu (lebih baik) merupakan bentuk tafdhîl. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik atau menandingi hukum Allah SWT.
Kata hukma dibaca afahukma (bukan afahukmu), karena kedudukannya sebagai objek (al-maf’ûl bihi) yang dikedepankan. Ia diletakan di depan subjek dan kata kerja (yabghûna) sebagai pengkhususan (takhshîsh) yang berfungsi menekankan, menguatkan pengingkaran dan celaan atas perbuatan berhukum dengan hukum jahiliah. Ini sebagaimana kaidah taqdîm al-maf’ûl li al-takhshîsh, yang diamini mayoritas ulama ditegaskan Al-Hafizh al-Suyuthi dalam Syarh Jam’i al-Jawâmi’ (II/10).
WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]