Nisa

Menggali Jejak Khilafah Di Tengah Polemik Revisi Hukum Keluarga

Keluarga Indonesia ada dalam ancaman serius. Tidak ada ketahanan, generasi yang lemah dan kekerasan merajalela. Kebijakan yang ada tak mampu menghentikan wabah kerapuhan keluarga. Bahkan kementerian khusus tidak bisa memberikan perlindungan dan menangani persoalan seputar kekerasan dan  kekerasan seksual yang dihadapi ibu dan anak. Problem ini adalah salah satu potret hasil pemberlakuan sistem sekuler kapitalistik hari ini.  Miris.  Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa wabah kronis kehancuran keluarga di negeri mayoritas muslim ini sesungguhnya menduplikasi  persoalan yang sama yang dihadapi dunia Barat yang didominasi non-Muslim. Karena itu tak layak untuk meneruskan berkiblat pada Barat sebagai kiblat dalam membangun keluarga.

Lalu kemana kita hendak mencari rujukan untuk mendapatkan keluarga berketahanan dan berkemampuan mencetak generasi unggul? Sejarah negeri ini saat memberlakukan Islam dalam hukum keluarga patut menjadi i’tibar bagi kita semua.

 

Jejak Syariah Islam dalam Hukum Keluarga

Menggali masa lalu negeri ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik adalah kemestian. Dari masa lalu tersebut kita bisa mewujudkan harapan untuk meraih masa depan penuh kebaikan dan bahkan kejayaan. Masa lalu negeri ini sejak masuknya Islam adalah pangkal kebajikan.

Adanya Kesultanan Islam yang memberlakukan syariah sebagai hukum umum  adalah sumber lahirnya hukum keluarga berdasarkan Islam. Syariah Islam dalam hukum-hukum keluarga inilah yang membentuk keluarga-keluarga Muslim yang unggul untuk ukuran zamannya. Keluarga Muslim di Nusantara adalah keluarga yang setipe dengan keluarga Muslim di Jazirah Arab dan di Istanbul Turki sebagai pusat Kekhilafahan di masanya. Setangguh apa mereka?

Ungkapan Gaston Jezz, seorang profesor hukum keluarga dari Swiss, menggambarkan buah pemberlakuan hukum keluarga pada masa Khilafah Utsmani, “gave birth to the strongest family hearth in the world, and this entity founded a public life which has never been seen in the history of any nation.”  Hukum keluarga berdasarkan syariah melahirkan keluarga kuat dan masyarakat yang istimewa yang tidak ada dalam sejarah bangsa manapun. Masya Allah.

Lahirnya Kesultanan Islam di pelbagai wilayah negeri ini sejak abad ke-13 M melahirkan hukum-hukum keluarga berdasarkan Islam. Pasalnya,  adanya institusi politik Islam berupa kesultanan adalah indikasi kuat telah berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat Nusantara, tak terkecuali hukum keluarga. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun dalam Kitab Al-Muqaddimah, “Rakyat itu akan mengikuti agama dan kebiasaan raja-rajanya.” (li anna an-nasa ‘ala dini mulukiha wa ‘awa’idiha).

Ramly Hutabarat dalam Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia menjabarkan bahwa temuan beberapa karya fikih para ulama Nusantara menunjukkan bahwa hukum syariahlah yang diadopsi sebagai hukum umum pada masa tersebut.

Di antara hukum keluarga tersebut adalah tentang pernikahan dan waris. Sultan memberikan wewenang (tawliyyah) kepada hakim/qadhi untuk menyelenggarakan pengadilan berdasarkan syariah Islam. Tentu implementasi syariah dalam hukum keluarga ini adalah hal tak terpisahkan dari praktik berlakunya hukum syariah untuk menyelesaikan sengketa, menghukum pelaku kriminal, bidang ekonomi dan pemerintahan.

 

Sekularisasi Hukum Keluarga di Masa Kolonial Hingga Kemerdekaan

Implementasi hukum Islam dan lembaga peradilan Islam mulai memudar hingga tercabut dari kehidupan masyarakat Muslim Nusantara sejak masuknya penjajah. Kaum kolonial, Belanda khususnya, melakukan sekulariasi Lembaga peradilan. Pada Maret tahun 1621 pemerintah kolonial menginstruksikan pelaksanaan hukum sipil Belanda termasuk dalam pembagian waris. Namun, karena instruksi ini tidak membawa dampak signifikan, menyangkut hukum-hukum keluarga masyarakat tetap merujuk pada Islam yang dikokohkan oleh keputusan ulama setempat. Akhirnya, pada tahun 1624 pemerintah Belanda menetapkan pembedaan lembaga peradilan.  Hukum Islam berlaku bagi orang Islam di lembaga pengadilan Islam dan tidak berlaku bagi warga non pribumi.

Politik sekularisasi  terus dilakukan oleh kaum kolonial dengan beragam cara. Mereka sadar kekuatan syariah yang dijalankan oleh masyarakat akan merugikan penjajah bahkan mendorong perlawanan terhadap penjajah.  Belanda membenturkan hukum Islam dengan adat. Kaum penjajah menghasut kalangan ningrat dan memberi pentas agar mereka menggusur hukum Islam dengan adat. Caranya dengan menghidupkan tradisi lokal dan lembaga-lembaga kuno untuk merebut loyalitas rakyat. Bahkan penjajah menyusun kitab kompilasi hukum Islam tentang hukum keluarga, waris dan wakaf agar sesuai kepentingan mereka.

Pengadilan agama semakin dibatasi wewenangnya. Tahun 1931 melalui lembar negara Staatsblad No. 53  kewenanan peradilan agama pada diri seorang penghulu dibatasi hanya pada pernikahan. Adapun kewenangan soal waris dicabut. Pengebirian terhadap lembaga peradilan Islam ini terus berlangsung hingga masa Jepang. Pada masa ini umat Islam hanya diberi gula-gula dengan pendirian Kantor Urusan Agama Islam (Shumubu) tanpa perubahan substansi pada implementasi hukum silam yang terus dibatasi.

Pengaruh hukum kolonial diakui masih menjadi rujukan penyusunan hukum nasional. Tidak terkecuali dalam penempatan syariah Islam dalam hukum keluarga. Penempatan hukum Islam sebagai subsistem hukum nasional sesungguhnya adalah kekalahan umat Islam dalam memperjuangkan tegaknya seluruh syariah. Masih adanya sebagian syariah dalam hukum keluarga sebagaimana diklaim terdapat di UU no 1 tahun 1974, tidak menghilangkan fakta semakin mengecilnya peran syariah dalam masyarakat Muslim.

Lebih buruk lagi, umat Islam di negeri ini juga terbawa arus buatan penjajah yang dilabel sebagai reformasi hukum keluarga Islam. Arus ini bermula dari pusat Khilafah Turki menjelang keruntuhannya. Saat itu diadopsi Ottoman Law of Familly Right (Qanun Qarar al-Huquq al-‘A’ilah al-Utsmaniyyah) pada tahun 1917. Faktanya ini bukan kemajuan, tetapi penggusuran terhadap syariah dan menggantikannya dengan UU sekular liberal.

 

Polemik UU Keluarga dan Kebutuhan Terhadap Khilafah

Tanpa mengambil pelajaran dari sejarah perkembangan hukum keluarga di negeri ini, beragam  rencana perundangan baru untuk menghentikan wabah krisis keluarga dipastikan hanya akan memunculkan  polemik yang menguras energi umat. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) adalah salah satunya. RUU ini dinilai publik sangat kental nilai liberal.

Tidak hanya ambigu dalam mendefinisikan kekerasan seksual dan tidak mengatur  kejahatan seksual, RUU P-KS ini justru berpotensi melegalkan praktik seks bebas, pro LGBT dan mendukung praktik aborsi yang  dilarang agama. Saat ini pengusungnya sedang mendesakkan agar RUU segera disahkan.

RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) sebagaimana namanya digadang memberi jalan keluar atas rapuhnya keutuhan keluarga. RUU ini memunculkan perdebatan mendasar karena dinilai sarat muatan ‘islami’. Ada beberapa pasal tentang rincian kewajiban suami maupun istri untuk mewujudkan keutuhan keluarga.  Sayang RUU ini banyak ditolak karena dianggap terlalu mencampuri ruang privat warga negara. Akan halnya Rancangan Qanun Aceh (Raqan=Rancangan Perda) tentang Hukum Keluarga Aceh yang saat ini sedang menjadi bahan perdebatan sengit.  Secara tersurat, Raqan ini bersandar pada implementasi syariah Islam soal hukum keluarga. Ada target meningkatkan ketahanan rumah tangga dan meminimalisir terjadinya perceraian. Di pasalnya ada pasal untuk menertibkan praktik kadi (penghulu) liar yang dinilai meresahkan. Namun, perdebatan mengemuka karena menganggap Raqan ini hanya penting untuk meringankan syarat poligami.

Semua polemik di atas merepresentasikan pertarungan ideologi yang kental dalam pengambilan kebijakan. Ini juga menegaskan bahwa perangkat sistem sekular yang berjalan tidak memadai untuk menghadirkan Islam untuk diimplementasikan secara utuh, hingga lahir solusi.  Syariah Islam hanya menghasilkan rahmah- maslahat bagi semesta bila dipraktikkan sempurna oleh institusi politik (Khilafah). Sepantasnya kita memiliki optimisme bahwa kembali berjalannya syariah secara kaffah hanya soal kemauan politik. Rekam jejak penerapan hukum Islam di ranah keluarga dan seluruh aspek sudah ditegaskan oleh fakta sejarah. Tinggal mewujudkan  kesadaran umum agar masyarakat Muslim hanya ridha saat diatur dan dianungi Islam kaffah. Juga menunggu ketegasan para pemilik wewenang untuk menghapus sekularisasi. [Iffah Ainur Rochmah]

 

Daftar Pustaka

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Pustaka Al Kautsar 2017

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia, 2005

  1. Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Penerapan Syariat Islam di Indonesia, 2015

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − 5 =

Back to top button