Siyasah Dakwah

Khilafah Dan Nusantara (Dari Masa Ke Masa)

Zabaj atau Sribuza adalah sebutan orang-orang Arab bagi jajaran kepulauan di timur Hindia. Kepulauan inilah penyuplai utama rempah-rempah, kapur barus, kesturi, serta hasil-hasil metalurgi bagi pusat-pusat peradaban Mesir kuno, Babylonia, Persia, Romawi dan kota-kota dagang di Jazirah Arab. Nusantara serta para pelautnya telah lama dikenal oleh peradaban-peradaban tersebut.

Perjanjian Lama mencatat nama Ophir sebagai tempat muasal emas Kerajaan Nabi Sulaiman. Ophir sendiri merupakan nama sebuah gunung di Sumatra Barat. Pulau Emas atau Svarnabhumi adalah sebutan Sumatera pada masa lampau.

Al-Quran mencantumkan kata kafuur atau kapur barus, sebuah hasil bumi utama yang dihasilkan dari hutan Sumatera.

Dalam Tarikh ath-Thabari disebutkan bahwa salah satu pedang Rasulullah saw. adalah Pedang Qala’i. Pedang ini berbahan baja tempa Nusantara. Karena itu Nusantara bukanlah sebuah wilayah asing bagi penduduk Arab.

Ketika Peradaban Islam bangkit di Madinah dan dakwah meluas ke penjuru Jazirah Arab serta keluar melewati batas-batasnya, dakwah ini menyentuh komunitas Nusantara dan mencapai kepulauan ini. Dalam Tarikh ath-Thabari, dikisahkan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab telah masuk Islam kaum Sababijah yang tinggal di wilayah Persia. Oleh Sayyidina Umar ra., kaum yang dikenal pemberani dan jago beladiri ini diberi tugas menjadi penjaga Baitul Mal. Sababijah adalah keturunan pelaut Nusantara yang membuat koloni di pesisir Arab.

Pada masa Sayidina Utsman bin Affan menjadi khalifah, dikirimlah duta ke negeri Cina. Utusan yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash ini menuju Cina menggunakan jalur laut. Diperkirakan utusan tersebut sempat singgah di wilayah Nusantara, galibnya para pelaut yang melayari jalur tersebut. Namun, belum ditemukan catatan mengenai hal ini. Catatan tertua terkait hubungan Daulah Khalifah dengan wilayah Nusantara dicatat oleh Al-Jahiz (w. 822 m) dan Ibn Abd Al Rabbih (w.940 m) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farid. Mereka berdua mencatat surat dari Maharaja Al-Hind kepada Khalifah Bani Umayyah. Al-Jahiz mencatat surat yang dikirim kepada Muawiyah bin Abi Sufyan (w. 661 M). Adapun Ibn Abd Al Rabbih mencatat surat yang dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz (w.720 m).

Pengirim kedua surat tersebut diperkirakan adalah orang yang sama yaitu Maharaja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya. Menurut S.Q. Fatimi dalam Two Letters from Maharaja to the Khalifah, ciri-ciri kondisi kerajaan yang digambarkan dalam kedua surat tersebut sama dengan ciri-ciri wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.

Pada masa-masa ini (abad ke-8 hingga ke-13 masehi), armada dagang Muslim melayari perairan Nusantara. Komunitas Islam hadir di kota-kota pelabuhan di sepanjang kepulauan ini. Komunitas Muslim diperkirakan telah menetap di wilayah Barus (pantai barat Sumatera) pada akhir abad ke-8. Di Jawa, komunitas Muslim diperkirakan mulai menetap di wilayah Leran Gresik sejak abad ke-9 Masehi. Di Kepulauan Maluku, komunitas Muslim telah ditemukan sejak abad ke-11 Masehi.

Perang Salib selama tiga abad di Syam dan Palestina serta Penyerbuan Tatar-Mongol ke Baghdad pada 1258 memberikan pengaruh cukup besar bagi islamisasi dan hubungan Daulah Khilafah dengan Nusantara.

Nusantara menjadi tempat pelarian bagi keluarga Khalifah Abbasiyah; juga para ulama, khususnya dari wilayah Syam, Irak dan kawasan Asia Tengah yang porak-poranda oleh perang. Wilayah kepulauan ini juga menjadi pos terluar bagi Mamluk Bahri untuk mengamankan lajur laut yang menyokong ekonomi dan militer Daulah Islam. Salah satu tempat yang dituju adalah ujung barat pulau Sumatra (Pasai). Di tempat ini bersemayam jasad Shadrul Akabir Abdullah bin Muhammad al-Abbasi. Beliau adalah cucu Khalifah al-Muntashir Billah, Khalifah kedua terakhir Bani Abbasiyyah di Baghdad.

Keluarga Khalifah serta pasukan Mamluk memberikan pengaruh cukup besar bagi Islamisasi di wilayah tersebut. Pada tahun 1267, penguasa lokal di wilayah tersebut yang bernama Meurah Silu memeluk Islam dan dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Malik ash-Shalih. Inilah adalah tahun-tahun penting bagi perkembangan Islam di Nusantara, yaitu dengan hadirnya institusi politik pertama di wilayah ini.

Kesultanan Samudera Pasai memberikan baiat kepada Khalifah Abbasiyah yang sejak tahun 1261 berkedudukan di Kairo Mesir. Untuk selanjutnya, Samudera Pasai bersama Kesultanan Malaka (lahir 1414 m) menjadi ujung tombak dakwah Islam ke penjuru Nusantara.

Melalui Samudera Pasai dan Malaka dikirimlah misi dakwah Islam ke jantung Majapahit dan Pajajaran di Pulau Jawa. Maulana Malik Ibrahim (w.1419), salah seorang anggota Walisongo angkatan pertama yang wafat di Gresik, pada nisannya terpahat gelar “Umdah as-Salathin wal Wuzara’. Ini merupakan gelar bagi wakil sultan Samudra Pasai. Juga gelar “Burhan ud-Daulah wa ad-Diin”. Ini adalah gelar dari Khalifah Abbasiyah kepada para pejabat-pejabat penting.

Maulana Malik Ibrahim adalah pemimpin Walisongo yang pertama dan dari para mu’alim inilah Islam pada akhirnya mampu merevolusi Jawa dan ¾ Nusantara.

 

Madrasah Haramain dan Jihad Nusantara

Pada tahun 1182, Renauld D’Chattilon, salah seorang pemimpin garnisun Salib Eropa berlayar di Laut Merah. Ia menyerang beberapa pelabuhan dan kampung nelayan di sepanjang pantai. Tujuan pelayaran ini adalah membuka serangan ke Makkah dan Madinah. Mendengar hal ini Sultan Shalahuddin al-Ayyubi memandang perlu memperkuat garnisun militer di Jeddah. Usaha ini diteruskan oleh para penerusnya, termasuk para pemimpin Mamluk dan Utsmani. Jeddah yang awalnya hanya berupa pelabuhan penyeberangan kecil (dari Arab ke Afrika atau sebaliknya), segera menjelma menjadi kota penting, gerbang menuju dua kota suci (Haramain). Ketika Islam mencapai wilayah Asia Timur Jauh, jamaah haji di wilayah ini secara simultan masuk ke Makkah dan Madinah melalui Jeddah.

Sejak era Abbasiyah kedua, gelombang futuhat kembali bergairah. Islam pun kembali keluar ke batas-batas wilayahnya. Prosesi ibadah haji menjadi momentum berkumpulnya kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia. Semakin aman dan meluasnya wilayah Dunia Islam sepanjang abad ke-13 Masehi membuat prosesi haji diikuti pula oleh bangsa-bangsa yang jauh, termasuk dari Nusantara. Mereka datang dan bermukim di wilayah Haramain sambil menunggu angin muson bertiup menuju negeri mereka kembali. Selama proses mukim, mereka menggunakan kesempatan untuk mencari ilmu kepada para ulama yang juga datang dan bermukim di wilayah Haramain. Haramain pun kembali semarak sebagai pusat keilmuan setelah sebelumnya pada abad kesembilan Masehi meredup karena serangan bertubi-tubi kaum Syiah ke wilayah ini.

Bangkitnya madrasah-madrasah Haramain menjadi keuntungan bagi para pencari ilmu dari wilayah-wilayah terjauh Daulah Islam. Mereka bisa menimba berbagai disiplin tsaqafah Islam sekaligus melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Ketika islamisasi Nusantara mencapai puncaknya abad ke-15 Masehi dengan hadirnya banyak kesultanan, maka kehadiran para ulama dipandang perlu bagi kesultanan-kesultanan tersebut. Para ulama ini berfungsi sebagai guru, wazir, sekaligus penghubung kesultanan-kesultanan tersebut dengan pusat Daulah Islam. Dikirimlah secara simultan putra-putra terbaik di wilayah-wilayah kesultanan untuk belajar di madrasah-madrasah Haramain. Pada era ini (abad ke-15 dan 16 masehi) mulai terjadi peningkatan jumlah jamaah haji, pencari ilmu, dan para ulama dari Nusantara yang kemudian dikenal sebagai Ashabul Jawiyyin.

Era ini dikenal sebagai era pengiriman utusan-utusan Kesultanan di Nusantara ke pusat Daulah Khilafah, terutama sejak pusat Daulah berpindah dari wangsa Abbassiyah di Mesir ke bangsa Utsmani di Istanbul Turki. Bangsa Utsmani mendapat tempat tersendiri di kalangan kaum Muslim sedunia sejak mereka berhasil mewujudkan bisyarah  Rasulullah saw. tentang futuhat Konstantinopel. Konstantinopel berhasil dibebaskan pada tahun 1453 oleh Sultan Muhammad II yang digelari Al-Fatih.

Pada 1516, setelah mengalahkan pasukan Mamluk di Marj Dabiq Suriah, Sultan kesembilan Utsmani, Salim I mendapatkan gelar Khalifah dari bangsa Abbassiyah.

Di tangan bangsa Utsmani, marwah Kekhilafahan kembali meninggi. Sultan-sultan di Nusantara secara bergantian mengirimkan utusan ke Istanbul untuk berbaiat atau mengadukan permasalahan mereka, khususnya ancaman dari para penjajah Barat seperti Portugis dan Belanda atau gangguan kerajaan-kerajaan kafir di sekitar mereka seperti kerajaan Siam, Pajajaran dan Blambangan. Kesultanan Aceh pada tahun 1565 mengirimkan utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan dalam menghadapi Portugis yang beberapa tahun sebelumnya menguasai Malaka. Khalifah mengirimkan bantuan berupa para ahli artileri. Ahli artileri tersebut, setibanya di Aceh, kemudian disebar ke penjuru Nusantara untuk membantu kesultanan-kesultanan lain dalam menghadapi orang-orang kafir. Beberapa ahli artileri Turki membantu pembuatan meriam di Kesultanan Demak. Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, meriam Demak ini beraksi ketika Kesultanan Demak menaklukkan Panarukan di Jawa Timur. Kemudian pada masa Sultan Trenggono, meriam ini dihadiahkan kepada Maulana Hasanuddin dari Banten sebagai hadiah pernikahan. Di wilayah timur, ahli senjata Turki membantu Kesultanan Ternate dalam menghadapi cengkeraman Portugis di Maluku. Kesultanan Ternate di bawah pimpinan Sultan Baabullah Datu Syah berhasil melucuti kekuatan Portugis di Maluku. Dalam pelayaran keliling dunianya, Sir Francis Drake dari Inggris mencatat pertemuannya dengan sang sultan yang ketika itu didampingi oleh empat ahli senjata berkebangsaan Turki.

Portugis kemudian digantikan oleh Belanda melalui perusahaan dagang Hindia Timur (VOC). VOC dengan lihai dan licik menguasai satu persatu kesultanan-kesultanan di Nusantara. Hubungan kepada Utsmani lebih ditingkatkan lagi khususnya melalui Kesultanan Aceh. Pada 1638, Kesultanan Banten mengirimkan utusan kepada Khalifah Utsmani melalui Syarif Makkah. Pada 1641, Susuhunan Hanyakrakusuma dari Mataram mengirimkan utusan kepada Khalifah Utsmani dengan menumpang kapal Aceh. Sebagian sejarahwan Mataram mengatakan bahwa utusan ini berhasil diterima oleh Khalifah Murad IV di Istanbul. Sejarahwan yang lain menyatakan bahwa utusan ini hanya sampai Mekkah. Utusan Mataram berhasil membawa hadiah berupa panji-panji, tarbusy, dan segentong air zam-zam, juga gelar “Sultan” yang disematkan kepada pemimpin Mataram.

Pada era selanjutnya, hubungan Nusantara dengan Kekhilafahan Utsmani terjalin melalui jaringan ulama-ulama Haramain dan Hadhramy. Selain berperan sebagai jaringan intelektual, jaringan ulama ini berperan sebagai penggalang jihad fi sabilillah melawan penjajah Belanda. Syaikh Yusuf al-Makassary (w.1699) menjadi kunci intelektual di wilayah Sulawesi dan kepulauan sekitarnya. Beliau kemudian menggalang jihad di Makassar dan Banten hingga kemudian ditangkap dan diasingkan ke Srilanka dan Afrika Selatan hingga wafatnya.

Seabad kemudian muncul Syaikh Abdusshomad al-Palimbani (w. 1789) sebagai amir Ashabul Jawiyyin dan mufti mazhab Syafii di Makkah. Karyanya yang berjudul Nashihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin fi Sabilillah menginspirasi jihad melawan Belanda di Nusantara.

Snouck Hurgronje mencatat bahwa Teungku Cik Pantee Kulu terinspirasi kitab ini ketika mengarang Hikayat Prang Sabi yang menjadi ruh Perang Aceh. Syaikh Abdusshomad juga tercatat melakukan korespondensi dengan wangsa Mataram di Jawa (Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I) dan membujuk mereka agar melawan Belanda.

Pengganti Syaikh Abdusshomad adalah Syaikh Dawud Al-Fattani (w.1847). Ulama dari wilayah Fattani (Thailand Selatan) ini menjadi penghubung Kekhilafahan Utsmani dengan Kesultanan Fattani dan Kedah yang terancam oleh invasi Kerajaan Siam. Syaikh Dawud menjadi guru bagi ulama-ulama Nusantara. Diperkirakan dari jalur inilah Pangeran Diponegoro mendapat gambaran terkait Utsmani dan hierarki pasukan Janissarie Utsmani.

Pangeran Diponegoro, sebelum menggalang perang melawan Belanda, banyak belajar dan berdiskusi kepada Haji Badaruddin dan Kyai Mojo. Haji Badaruddin dan ayah Kyai Mojo (Kyai Baderan) belajar langsung kepada Syaikh Dawud Al-Fattani di Makkah.

 

Sultan Abdul Hamid II dan Kesadaran Politik di Indonesia

Abdul Hamid II naik ke tahta Kekhilafahan Utsmani pada tahun 1876. Kebijakan utama beliau adalah modernisasi Utsmani (khususnya angkatan perang) dan Pan Islamisme atau persatuan Islam di bawah bendera Khalifah. Beliau sangat memperhatikan negeri-negeri Muslim, termasuk wilayah Al Jawiy atau Hindia Timur yang sebagian besar dikuasai oleh Belanda. Sultan Abdul Hamid II menginisiasi adanya kantor Konsulat Utsmani di Batavia dan Singapura. Kantor Konsulat Utsmani di Batavia dibuka pada tahun 1883 dengan konsul pertama dijabat oleh Sayyid Abdul Aziz Al-Musawi, seorang sayyid keturunan Hadhrami dan menantu Alibasah Sentot Prawirodirjo. Sayyid Abdul Aziz memiliki seorang menantu yang berprofesi sebagai saudagar besar dan menjadi penganjur Pan Islamisme di Hindia Timur. Menantunya tersebut bernama Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas.

Sayyid Abdullah berasal dari keluarga diplomat-saudagar yang malang melintang di kawasan Hindia. Kakeknya membantu jejaring Kesultanan Mughal dengan Kekhilafahan Utsmani pada masa penjajahan Inggris di India. Atas jasanya tersebut, beliau mendapat hadiah cukup besar dan membuka usaha di Hindia Timur. Sayyid Abdullah memiliki jejaring pergaulan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dekat dengan para pejabat Utsmaniyah, beliau juga dekat dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Yusuf an-Nabhani.

Di dalam negeri beliau menjadi penyokong Al Attas School dan Madrasah Jamiatul Khair. Kedua sekolah ini merupakan sekolah Islam modern pertama di negeri ini. Sayyid Abdullah juga menyokong kegiatan pers, terutama untuk mendukun ide Pan Islamisme dan perlawanan terhadap Belanda. Beliau dikenal membantu penerbitan “Medan Prijaji” yang dibuat oleh Mas Tirtoadhisoerjo dan “Utusan Hindia” yang diterbitkan oleh HOS Tjokroaminoto. Sayyid Abdullah juga diketahui secara finansial membantu KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.

Peran menarik juga dilakukan oleh Jamiatul Khair. Pada tahun 1903, perkumpulan ini mengadakan Muktamar Khilafah yang dihadiri oleh Konsul Utsmani yang saat itu dijabat oleh Muhammad Amin Bey. Dalam pidatonya, Muhammad Amin Bey menyampaikan keharaman atas kaum Muslim untuk tunduk di bawah kekuasaan orang-orang kafir. Dari pertemuan ini terperciklah semangat memerdekakan negeri ini dari penjajahan Belanda.

Pendek kata, hubungan Daulah Khilafah dengan Nusantara adalah Khilafah telah mencerahkan negeri ini dengan Islam, kemudian menjaganya dari perbudakan penjajahan melalui semangat jihad fi sabilillah. Lalu etika memasuki gerbang modern, Daulah Khilafah memperkenalkan bangsa ini kebangkitan, kemerdekaan dan harga diri sebagai seorang Muslim. WalLahu’alam bi ash-shawab. [Nur Fajarudin, M.Pd.; (Budayawan dan Pegiat Komunitas Literasi Islam)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − nine =

Back to top button