Telaah Kitab

Ketentuan Tentang ‘’Usyr

Usyur adalah segala sesuatu yang diambil dari hasil tanah ‘usyriyah.  Tanah-tanah ‘usyriyah itu mencakup: Pertama, Jazirah Arab.  Ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua penyembah berhala yang menghuni Jazirah Arab hanya diberi dua opsi saja, diperangi atau masuk ke dalam agama Islam. Jizyah tidak diterima dan dipungut dari mereka.   Rasulullah saw. pun tidak mewajibkan kharaj apapun atas tanah mereka walaupun terjadi peperangan dan penaklukan di atasnya.

Kedua: Setiap tanah yang penduduknya masuk Islam, seperti Indonesia dan Asia Tenggara. Rasulullah saw. bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا الله فَمَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا الله فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَه وَنَفْسَه إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُه عَلَى الله

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Siapa saja yang mengucapkan ‘Tiada Tuhan Selain Allah’, terpeliharalah dariku jiwanya dan hartanya kecuali dengan haknya serta perhitunggannya di sisi Allah (HR Muslim).

 

Tanah Termasuk Harta.

Ketiga: Setiap tanah yang ditaklukkan secara paksa, kemudian Khalifah membagikan tanah tersebut kepada (pasukan) tentara yang turut peperangan, seperti tanah Khaibar; atau tanah yang kepemilikannya ditetapkan Khalifah bagi orang-orang yang turut berperang, seperti yang dilakukan Khalifah Umar terhadap pasukan yang berasal dari Jazirah Syams.  Beliau menetapkan tanah yang berada di lembah sungai Ibad di Hamsha dan Maraja Baradiy di Damsyik untuk mereka (pasukan Syams).

Keempat: Setiap tanah yang penduduknya melakukan perjanjian damai dengan ketetapan bahwa kepemilikannya tetap berada di tangan mereka dan mereka bersedia membayar kharaj. Tanah ini menjadi tanah ‘usyur saat penduduknya masuk Islam, atau penduduknya menjual tanah tersebut kepada seorang Muslim.

Keempat: Setiap tanah mati (tanah mawat) yang dihidupkan oleh seorang Muslim. Rasul saw. bersabda:

مَنْ عَمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati yang tidak dimiliki seorang pun, ia lebih berhak atas tanah itu (HR Ahmad).

 

Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dengan redaksi:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَه

Siapa saja yang  menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut menjadi miliknya (HR al-Bukhari).

 

Status tanah ‘usyuriyah ini tetap. Tidak akan berubah menjadi tanah kharajiyah, kecuali jika seorang kafir membeli tanah ‘usyriyah dari seorang Muslim, maka orang kafir tersebut wajib membayar kharaj atas tanahnya, dan ia tidak wajib menyerahkan ‘usyur.  Sebabnya, ‘usyr itu serupa dengan zakat, dan orang kafir tidak wajib menunaikan zakat.

 

Berkumpulnya Kharaj dan ‘Usyur

Kharaj ditetapkan atas tanah orang kafir yang ditaklukkan secara paksa. Jika tanah tersebut tetap berada di tangan orang kafir, maka dari tanah itu diambil kharaj, baik ditanami maupun tidak. Tanah seperti itu tidak ditetapkan ‘usyur, karena ‘usyur itu serupa dengan zakat. Orang kafir tidak berkewajiban membayar zakat. Jika pemiliknya yang kafir masuk Islam, atau tanahnya dijual kepada seorang Muslim, maka kewajiban membayar kharaj-nya tidak bisa dibatalkan.   Pasalnya, status asal dari tanah tersebut, sebagai tanah kharajiyyah, tidak akan berubah sepanjang masa. Akibatnya, pemilik tanah yang baru wajib membayar ‘usyur dan kharajKharaj wajib diambil atas tanahnya. ‘Usyur wajib diambil atas hasil bumi seorang Muslim.

Ketentuan ini didasarkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul saw. yang tidak meniadakan dua kewajiban ini. Keduanya merupakan kewajiban dengan sebab-sebab yang berbeda satu sama lain. Keadaan ini sama seperti seseorang yang sedang berihram lalu membunuh binatang yang hidup di Tanah Haram. Dia wajib membayar harga binatang tersebut kepada pemiliknya berupa denda dan balasan yang merupakan hak Allah.

Adapun dalil yang dijadikan sandaran pengikut pengikut mazhab Imam Hanafi untuk meniadakan berkumpulnya kewajiban ‘usyur dan kharaj, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasul saw.:

لا يجتمع عشر وخراج في أرض مسلم

Tidaklah berkumpul antara ‘usyur dan kharaj pada tanah seorang Muslim.

 

Sesungguhnya pernyataan ini bukanlah hadis.  Pasalnya, para ahli hadis tidak menetapkan hadis ini berasal dari perkataan Rasulullah saw. (Lihat: Al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, 3/236).

Ketika kewajiban kharaj dan ‘usyur bertemu, maka kharaj dibayar terlebih dulu. Jika sisanya mencapai nishab zakat tanaman dan buah-buahan, barulah zakatnya dikeluarkan. Jika tidak mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat atas tanah tersebut.

 

Pemetaan Status Tanah-tanah Kaum Muslim Sekarang

Masa penaklukkan berakhir cukup lama. Kebanyakan orang pun tinggal di daerah-daerah yang ditaklukkan secara paksa maupun perdamaian berbondong-bondong masuk Islam. Arsip-arsip yang mencatat status-status tanah di negeri Islam pun hilang. Akibatnya, tidak bisa dilacak lagi mana tanah kharajiyah, ‘usyriyah, tanah hadiah (pemberian), maupun tanah yang dihidupkan.

Berdasarkan informasi mengenai bagaimana cara daerah itu ditaklukkan, kita bisa menetapkan status hukum atas tanah-tanah di negeri-negeri Islam sekarang sebagai berikut:

Pertama, seluruh tanah Irak (termasuk Kuwait), Iran, India, Pakistan, Afganistan, Turkistan, Bukhara, Samarkand, tanah negeri Syam, Turki, Mesir, Sudan dan Afrika Utara, seluruhnya ditetapkan sebagai tanah kharaj. Sebabnya, tanah-tanah tersebut ditaklukkan secara paksa sehingga wajib diambil kharaj atas penduduknya, baik yang Muslim maupun kafir. Disamping itu, bagi kaum Muslim yang memiliki tanah di daerah itu wajib mengeluarkan ‘usyur atas hasil bumi tanah tersebut, dengan terlebih dahulu membayar kharaj-nya dan jika sisanya sudah mencapai senishab. Namun, jika ada dokumen dan bukti yang menunjukkan bahwa status tanah yang dimiliki kaum Muslim di wilayah tersebut adalah tanah ‘usyriyah, maka pemiliknya (khusus hanya kaum Muslim saja) dibebaskan dari kewajiban membayar kharaj, tetapi ia wajib membayar ‘usyur-nya.

Kedua, Jazirah Arab (termasuk Yaman), Indonesia, Asia Tenggara dan wilayah-wilayah yang lain, semuanya adalah tanah ‘usyriyah, bukan tanah kharajiyah.  Oleh karena itu, tidak diwajibkan apapun atas tanah tersebut, kecuali ‘usyur, yaitu mengeluarkan sepersepuluh dari hasil bumi yang keluar dari tanah tersebut.

 

Cara Penentuan Kharaj

Penentuan besaran kharaj yang harus diserahkan kepada Negara diserahkan kepada orang-orang yang memiliki keahlian dalam pengukuran tanah, penaksiran jumlah dan cara kalkulasinya.  Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab tatkala hendak menetapkan kharaj atas tanah subur yang terletak di daerah Irak. Beliau bermusyawarah dengan para Sahabat untuk menentukan siapa yang akan ditugaskan menangani masalah itu. Khalifah Umar berkata kepada mereka, “Karena hal ini merupakan urusanku, adakah seorang laki-laki yang berakal kuat serta mampu menempatkan tanah pada tempatnya dan menempatkan penduduknya pada tempatnya?”

Semuanya sepakat mengusulkan Utsman bin Hanif. Mereka berkata, “Serahkan saja kepada dia. Dia adalah seorang yang berpandangan luas, berakal kuat dan berpengalaman.”

Mendengar itu, Khalifah Umar segera menemui dia dan menyerahkan urusan pengukuran tanah Sawad (di Irak) kepada dirinya. (HR Abu Ubaid).

Orang yang ditugaskan menangani penentuan besarnya kharaj harus mengetahui realitas tanah; apakah termasuk kategori subur, produktif dan banyak hasil panennya, atau termasuk kategori tanah yang kurang baik (tidak subur) dan kurang produktif. Mereka harus mengetahui keadaannya apakah diairi dengan air hujan, mata air, sumur, selokan/sungai; ataukah diairi dengan cara saluran air (irigasi), penyiraman atau menggunakan alat. Semua hal ini harus diketahui untuk menetapkan beban kharaj yang harus diserahkan atas tanah tersebut. Beban kharaj tidaklah sama dan harus disesuaikan dengan faktor-faktor di atas. Penaksir juga harus mengetahui jenis tanaman pangan dan buah-buahan yang ditanam di atas tanah tersebut serta berapa jumlah hasil panennya.  Tanaman pangan dan buah-buahan yang mahal dan berharga, tentunya lebih besar kharaj-nya dibandingkan tanaman dan buah-buahan yang berharga murah.

Letak tanah yang hendak dipungut kharaj-nya juga harus diketahui; apakah tanah tersebut dekat dengan perkotaan dan pasar, atau jauh;  apakah di tanah tersebut mudah dilalui alat transportasi atau tidak, dengan jalan lebar atau tidak; ataukah tanah itu sukar dilalui alat transportasi.

Semua hal di atas harus diketahui oleh sang penaksir untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan besarnya kharaj yang harus ditarik; agar pemilik tanah tersebut tidak dizalimi dan diperlakukan secara tidak adil.

Kharaj bisa ditetapkan atas tanah saja atau atas tanaman dan buah-buahannya. Jika kharaj ditetapkan atas tanah, maka penetapan haul-nya harus dihitung berdasarkan tahun Qamariyah.  Sebab, tahun Qamariyah telah ditetapkan oleh syariah sebagai standar penghitungan waktu pembayaran zakat, macam-macam denda (diyat), jizyah, dan lainnya. Apabila kharaj dipungut atas tanaman pangan dan buah-buahan, maka ketentuannya didasarkan pada jumlah tanaman pangan dan buah-buahan yang telah siap panen, dan jenis-jenis buah-buahan dan tanamannya.

Penarikan kharaj juga harus memperhatikan hal dan saat pembayarannya. Pembayaran kharaj bisa dalam bentuk uang, atau uang dicampur dengan biji-bijian dan buah-buahan, atau terpisah-pisah masing-masing. Jika pembayaran kharaj atas tanaman pangan dan buah-buahan dalam bentuk uang, atau uang dan biji-bijian, atau sendiri-sendiri, maka haul-nya didasarkan tanaman pangan dan buah-buahan yang telah sempurna dan dengan mempertimbangkan jenis-jenis tanaman dan buah-buahannya.

 

Pengukuran Kharaj

Penetapan jumlah kharaj ditetapkan berdasarkan penaksiran dan pengukuran yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam perhitungan dan penaksiran. Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ketika mengutus Utsman bin Hanif untuk menghitung kharaj atas tanah yang berada di sekitar Sungai Eufrat. Beliau juga mengutus Hudzaifah bin Yaman untuk menetapkan kharaj atas segala sesuatu yang ada di sekitar Sungai Tigris (Dajlah). Mereka berdua mengukur tanah hitam (subur) tersebut, dan menghitung jumlah kharaj yang harus dibayar; kemudian melaporkan hasilnya kepada Khalifah Umar bin Khaththab. ‘Amru bin Maimun berkata, “Aku melihat Umar bin Khaththab.  Lalu Ibnu Hanif mendatangi dia dan terjadilah percakapan dengan dirinya.  Aku mendengar Umar berkata kepada Ibnu Hanif, ‘Demi Allah, jika engkau menetapkan satu dirham untuk setiap satu jarib tanah, dan satu dirham untuk setiap satu qafidz makanan, maka hal itu tidak menyulitkan dan memberatkan mereka.’” (Abu Ubaid, Al-Amwal, hlm. 60).

Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Ubaid ats-Tsaqafiy dinyatakan: “Khalifah Umar bin al-Khaththab telah menetapkan kepada penduduk Sawad untuk setiap jarib tanah kering ataupun rawa sebanyak satu qafidz dan satu dirham, serta atas buah kurma yang baru matang sebanyak lima dirham dan lima qafidz.” (Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 7/591).

Asy-Sya’biy telah menuturkan sebuah riwayat: “Sesungguhnya Umar telah mengutus Utsman bin Hanif ke Tanah Sawad  dan menetapkan kharaj setiap jarib gandum sebanyak dua dirham, setiap jarib khinthah sebanyak empat dirham, setiap jarib tebu sebanyak enam dirham, setiap jarib kurma sebanyak delapan dirham, setiap jarib anggur sebanyak 10 dirham dan setiap jarib zaitun sebanyak 12 dirham.” (HR Abu Ubaid).

Riwayat di atas menunjukkan bahwa kharaj yang ditetapkan Utsman bin Hanif atas Tanah Irak dan kharaj yang ditetapkan Umar tidaklah sama. Berbeda-beda bergantung pada keadaan tanahnya, wujud fisiknya, pengairannya, serta jenis tanaman yang ditanam di atasnya. Kharaj dipungut dari tanah kering yang sengaja ditanami; tanah rawa-rawa, atau tanah yang tertutup air. Kharaj diambil atas tanah, tanaman pangan maupun buah-buahan, dan bisa dibayar dalam bentuk uang maupun biji-bijian.  Penetapan jumlah kharaj harus disesuaikan dengan kemampuan. Penduduk tidak dibebani dengan hal-hal yang berada di luar kemampuan mereka—seperti kegagalan panen, bencana, dan sebagainya—dan sisanya menjadi hak mereka.

Perhitungan kharaj bukanlah perhitungan yang bersifat tetap dan tidak boleh berubah.  Perhitungan jumlah kharaj disandarkan pada ijtihad Khalifah. Karena itu boleh dilakukan penambahan maupun pengurangan. Khalifah berhak menambah atau mengurangi beban kharaj yang harus ditanggung oleh penduduk berdasarkan ijtihadnya. Tentu dengan tetap memperhatikan kualitas tanah, produktivitas, kerusakan tanaman, bencana, kemudahan dalam hal pengairan, transportasi, fluktuasi harga pasar, dan lain sebagainya.

Hendaknya juga diperhatikan dan diperhitungkan keadaan awal dan keadaan terakhir ketika kharaj hendak dipungut, agar tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh pemilik tanah maupun petugas pemungut kharaj.

 

Pembelanjaan Kharaj

Kharaj adalah hak seluruh kaum Muslim. Pembelanjaannya harus dialokasikan untuk kemaslahatan kaum Muslim dan kelancaran urusan pengaturan negara.    Atas dasar itu, semua urusan negara yang berkaitan erat dengan kemaslahatan kaum Muslim bisa didanai dari kharaj; mulai dari penggajian pegawai dan tentara, santunan, rekrutmen tentara, penambahan logistik dan persenjataan, subsidi bagi orang-orang yang tidak mampu, dan semua urusan yang ditujukan untuk kemashlahatan urusan negara.

Pihak yang mengelola dan mengontrol pengalokasian kharaj adalah Khalifah atau orang yang diberi wewenang oleh Khalifah. [Gus Syam]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two + 19 =

Back to top button