Fikih

Bolehkah Menerima Gaji dari Majikan yang Bertransaksi Riba?

Soal:

Salah seorang saudara telah membuat saya merasa sulit dengan pertanyaan yang saya pandang benar meski saya berusaha menjelaskan kondisi kehidupan yang kita jalani, tetapi dia belum puas (menerima).

Pertanyaannya berkaitan dengan gaji imbalan kerja yang diterima di kantor-kantor publlik di rezim kapitalis yang ghalabatu azh-zhan harta itu merupakan riba atau bagian dari riba. Perlu diketahui bahwa negara yang memberikan imbalan atas pekerjaan di kantor publik itu, gaji itu atau sebagiannya dibayar dari utang ribawi yang berasal dari negara asing atau dari IMF.

Apakah kami para pegawai telah mengambil kompensasi kerja kami di kantor-kantor publik (menjadi pegawai negara) itu merupakan harta riwabi atau tidak? Jika jawabannya ya, lantas bagaimana cara kita mengatasinya dan hidup tanpa pekerjaan? [Ammar dari Tunisia].

 

Jawab:

Berkaitan dengan gaji yang diterima pegawai negeri sebagai imbalan kerjanya maka hukumnya berkaitan dengan pekerjaan yang dia lakukan.

Jika pekerjaan yang dia lakukan adalah haram, seperti orang yang bekerja sebagai intelijen untuk memata-matai kaum Muslim atau bekerja dalam menyiksa orang dan para pengemban dakwah,  dsb, maka gajinya itu adalah haram sebab dia peroleh dari pekerjaan yang haram.

Adapun jika pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan yang mubah (halal), seperti dia bekerja sebagai guru, insinyur atau dokter di rumah sakit pemerintah atau pekerjaan semacam itu yang mubah, maka gajinya itu halal. Tidak membahayakan dia jika pihak yang memberi dia gaji itu, hartanya bercampur dari transaksi riba dan transaksi haram lainnya dengan transaksi yang boleh. Mengambil gajinya dari harta campuran yang halal dan haram itu adalah boleh kecuali gajinya itu diambil dari harta curian, atau hasil ghashab, atau dari harta yang zatnya haram seperti khamar dan babi. Jika gajinya dari harta curian atau harta yang zatnya haram maka tidak boleh. Penjelasannya sebagai berikut:

Harta haram itu ada banyak jenisnya. Pertama: Haram zatnya seperti khamr. Ini tidak boleh dihadiahkan, dijadikan upah dan tidak boleh diperjualbelikan. Harta tersebut haram bagi pemilik khamar dan orang yang menerimanya. Rasulullah saw. bersabda:

حُرِّمَتِ الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا

Khamar itu diharamkan dengan zatnya (HR an-Nasai).

 

Kedua: Harta yang haram karena hak adami yang dicuri atau di-ghashab. Ini adalah haram bagi orang yang mencurinya dan orang yang meng-ghashab-nya; juga tidak boleh dihadiahkan dan dibayarkan sebagai upah. Harta tersebut haram bagi orang yang memperolehnya dan orang yang menerimanya. Sebabnya, harta ini adalah hak milik pemiliknya, dan di mana saja ditemukan maka dikembalikan kepada pemiliknya. Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.:

إِذَا سُرِقَ مِنَ الرَّجُلِ مَتَاعٌ، أَوْ ضَاعَ لَه مَتَاعٌ، فَوَجَدَه بِيَدِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ ِبِالثَّمَنِ

Jika suatu barang dicuri dari seseorang atau barang miliknya hilang, lalu dia dapati harta itu sendiri ada di tangan seseorang, maka dia lebih berhak dengannya, dan pembeli meminta kembali harganya kepada si penjual (HR Ahmad).

 

Ini adalah nas bahwa harta yang dicuri dikembalikan kepada pemiliknya.

Ghashab juga demikian.  Dijamin untuk orang yang di-ghashab. Karena itu wajib bagi orang yang meng-ghashab untuk mengembalikan barang yang di-ghashab itu kepada pemiliknya. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi saw.:

عَلَى اليَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

Tangan itu wajib bertanggung jawab atas apa yang dia ambil sampai dia tunaikan (HR at-Tirmidzi).

 

Ketiga: Harta haram karena muamalah yang batil semisal harta riba dan harta judi. Jika seseorang memiliki harta campuran dari riba dan harta halal, maka bagian ribawi dari hartanya adalah haram hanya bagi orang yang memperolehnya. keharamannya tidak sampai kepada orang yang mendapatkannya dengan cara yang syar’i dari pemilik harta riba itu atau dari pemilik harta judi itu. Misalnya, orang menjual barang kepada pemilik harta riba dan dia mengambil harganya; atau seorang wanita (istri) memperoleh dari pemilik riba itu sebagai nafkahnya; atau pemilik riba itu menghadiahi salah seorang kerabatnya atau semacam itu di antara muamalah yang syar’i. Dalam hal demikian dosa harta riba itu terjadi pada orang yang melakukan riba dan tidak pada orang yang menerima harga, nafkah atau hadiah itu. Yang demikian karena keharaman itu tidak berkaitan dengan dua dzimmah dalam keadaan ini. Di antara dalil hal itu adalah  firman Allah SWT:

وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ

Tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemadaratannya kembali kepada dirinya sendiri. Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS al-An’am [6]: 164).

 

Nabi saw. pun pernah bermuamalah dengan orang Yahudi di Madinah. Perlu diketahui, sebagian besar harta mereka (orang Yahudi) berasal dari riba (lihat: QS an-Nisa’ [4]: 160-161).

Rasulullah saw. juga pernah menerima hadiah dari mereka. Ibnu Abbas ra. berkata:

أَنَّ امْرَأَةً مِنَ الْيَهُودِ أَهْدَتْ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم شَاةً مَسْمُومَةً، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا، فَقَالَ مَا حَمَلَكِ عَلَى مَا صَنَعْتِ ؟ قَالَتْ: أَحْبَبْتُ-أَوْ أرَدْتُ-إِنْ كُنْتَ نَبِيّاً فَإِنَّ الله سَيُطْلِعُكَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَبِيّاً أُرِيحُ النَّاسَ مِنْك

Seorang wanita Yahudi pernah menghadiahkan seekor domba yang dibubuhi racun kepada Rasulullah saw. Lalu beliau mengirim utusan kepada wanita itu. Beliau bertanya, “Apa yang mendorong kamu melakukan apa yang engkau lakukan itu?” Wanita itu menjawab, “Aku ingin, jika engkau memang nabi, Allah akan memberitahumu atasnya. Jika engkau bukan seorang nabi, aku akan membebaskan orang-orang darimu.” (HR Ahmad).

 

Telah ada riwayat sahih dari sebagian Sahabat dan Tabi’in, mereka membolehkan menerima hadiah dari pelaku riba. Pertama: seorang laki-laki datang kepada Ibu Mas’ud, lalu ia berkata:

إِنَّ لِي جَاراً َيَأْكُلُ الرِّبَا وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي، فَقَال: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ

Saya punya tetangga yang memakan riba dan dia terus saja mengundangku.

 

Ibnu Mas’ud berkata: “Pemberiannya untukmu, sedangkan dosanya menjadi tanggung jawab dia.” (Dikeluarkan oleh Abdur Razaq ash-Shan’ani di dalam Mushannaf-nya).

Kedua: Al-Hasan ditanya, apakah makanan penukar uang boleh dimakan? Al-Hasan berkata:

قَدْ أَخبرَكُمُ الله عَنِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، إِنَّهُمْ يَأْكُلُونَ الرّبَا، وَأَحَلَّ لَكُمْ طَعَامَهُمْ

Allah SWT telah memberitahu kalian tentang orang Yahudi dan Nasrani bahwa mereka memakan riba dan Allah SWT menghalalkan untuk kalian makanan mereka (HR Abdu ar-Razaq ash-Shan’ani di Mushannaf-nya dari Ma’mar).

 

Ketiga: Diriwayatkan dari Manshur: Aku katakan kepada Ibrahim:

نَزَلْتُ بِعَامِلٍ، فَنَزَلَني وَأَجَازَنِي قَالَ: “اقْبَلْ”، قُلْتُ: فَصَاحِبُ رِبَا، قال: “اقْبَلْ مَا لَمْ تَاْمُرْهُ أَوْ تُعِنْهُ

“Aku bertemu orang yang perlu pekerja, lalu dia mempekerjakanku dan memberiku upah.”

Ibrahim berkata, “Terimalah.” Aku katakan, “Dia pelaku riba.” Ibrahim berkata, “Terimalah selama kamu tidak menyuruh dia atau membantu dia (atas ribanya).” (HR Abdu ar-Razaq ash-Shan’ani di Mushannaf-nya dari Ma’mar).

Meskipun demikian, yang lebih afdhal hendaknya dia tidak bermuamalah dengan para pemilik harta yang bercampur riba. Hendaknya dia tidak menjual kepada mereka, dan tidak menerima hadiah dari mereka. Ini dari sisi ke-wara’-an. Dengan itu penjual tidak mengambil harga yang tercemar dengan riba untuk barang dagangannya, dan dia tidak menerima hadiah mereka sehingga tidak berasal dari harta riba. Dengan itu pula seorang Muslim menjauhi sejauh-jauhnya dari semua yang tidak murni atau bersih.

Para Sahabat Rasul saw. biasa menjauh dari banyak pintu mubah karena khawatir dekat dari yang haram. Rasulullah saw. bersabda:

لَا يَبْلُغُ العَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ البَأْسُ

Seorang hamba tidak mencapai derajat muttaqqin sampai dia meninggalkan apa saja yang tidak bermasalah karena berhati-hati terhadap apa saja yang bermasalah (HR at-Tirmidzi).

 

Ringkasnya, Anda boleh menjual kepada orang yang hartanya merupakan campuran dari riba dan harta halal. Anda boleh menerima hadiahnya. Anda boleh mengambil gaji Anda dari dia. Namun, yang lebih afdhal, Anda tidak menjual kepada dia, tidak menerima hadiahnya dan tidak bekerja kepada dia dan mengambil gaji darinya.

Atas dasar itu, pegawai yang bekerja di dalam pekerjaan yang mubah di kantor-kantor publik (pegawai negeri) dan mengambil gaji dari majikan yang hartanya merupakan campuran harta haram dan harta halal, gajinya adalah halal untuk dirinya dan dia boleh mengambilnya tanpa rasa keberatan.

Dosa berkaitan dengan riba tidak jatuh pada pegawai tersebut, tetapi dosa itu jatuh pada pihak yang menjadi majikannya.

WalLâh a’lam wa ahkam.

 

[Soal-Jawab Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 9 Dzulqa’dah 1441 H/30 Juni 2020 M]

 

Sumber:

Http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/69114.html

Https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2672298846349456?__tn__=K-R&_rdc=1&_rdr

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × four =

Back to top button