Nafsiyah

MENCINTAI DAKWAH DAN PENGEMBANNYA

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itu bertanda. Tandanya adalah walâ’ (loyal) kepada Allah dan Rasul-Nya. Tunduk pada Din-Nya. Barâ’ah (berlepas diri) dari segala hal yang menyelisihi Din-Nya. Hal ini meniscayakan cinta pada apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Termasuk cinta pada Din-Nya dan pengembannya. Pada saat yang sama membenci segala hal yang Allah dan Rasul-Nya benci. Termasuk membenci keburukan dan perbuatan pengembannya. Hal itu merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الْإِيْماَنِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ لله، وَأَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Ada tiga perkara, yang jika ketiganya ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: siapa saja yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya;  mencintai seseorang yang tidak ia cintai kecuali karena Allah;  benci kembali pada kekufuran sesudah Allah menyelamatkan dia dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam api (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Hadis ini mengandung petunjuk agung bahwa tanda keimanan adalah loyal kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada orang beriman yang loyal kepada Allah dan Rasul-Nya; pada saat yang sama berlepas diri dari kekufuran dan pengembannya. Sifat ini bahkan digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai ikatan iman yang paling kokoh. Rasulullah saw. bersabda:

أَوْثَقُ الْإِيماَنِ الْوَلَايَةُ فِي اللهِ بِالْحَبِّ فِيهِ وَالْبُغْضِ فِيهِ

Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci karena Allah (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).

 

Kata awtsaq merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yakni pengutamaan sifat kokoh dari ikatan iman. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (hlm. 390), menegaskan bahwa pertanda manisnya iman adalah: manakala seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah, melarang dirinya loyal pada musuh-musuh-Nya dan siapa saja yang Allah benci secara umum. Dengan demikian din ini seluruhnya hanya untuk Allah. Lalu manakala seseorang mencintai dan membenci karena Allah, maka ia memberi dan menahan pemberian juga karena Allah.

Petunjuk-petunjuk agung ini menegaskan bahwa loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan Din-Nya, serta kecintaan pada orang-orang beriman yang mencintai Diri-Nya merupakan bukti keimanan dan ikatan iman yang paling kuat. Hal ini meniscayakan kecintaan pada golongan-Nya (hizbuLlâh), yakni mereka yang mendakwahkan Din-Nya dan menetapi metode dakwah yang digariskan oleh Rasul-Nya (lihat: QS Ali Imran [3]: 104). Ini sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ  ٧

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).

 

Keimanan menjadi landasan dari semangat untuk memperjuangkan Din-Nya. Sebab makna hakiki di balik pesan agung “in tanshuruLlâh” (jika kalian menolong Allah) adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya, syariah-Nya dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh). Ini sebagaimana penafsiran para ulama. Diungkapkan secara majazi kepada Allah untuk menunjukkan betapa besarnya kedudukan amal menolong Din-Nya. Bukankah terang-benderang bagaimana Islam mendorong orang-orang beriman untuk saling menolong dalam kebaikan?

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ ٧١

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar  (QS at-Taubah [9]: 71).

 

Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT menginformasikan akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada mereka yang menegakkan dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal ini disebutkan secara khusus sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (yuthî’ûnaLlâha wa rasûlahu). Sebagai konsekuensi sifat iman adalah tolong-menolong dalam menegakkan kebenaran. Rasulullah saw. pun mendorong kaum Muslim untuk saling menasihati. Tamim ad-Dari ra. menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

Agama itu adalah nasihat.

 

Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi bersabda:

للهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ

Untuk Allah, Kitab suci-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya (HR Muslim dan Ahmad).

 

Hadis ini merupakan salah satu hadis yang sangat agung kedudukannya karena mengandung pokok-pokok ajaran Islam. Di dalamnya Rasulullah saw. menyifati an-nashîhah sebagai fondasi Islam. Al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Ied (w. 702 H) dalam Syarh al-Arba’în (hlm. 52), menjelaskan makna nasihat untuk kaum Muslim, yakni memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas. Itu semua merupakan gambaran dari sifat istimewa umat Baginda Rasulullah saw. Mereka tertunjuki untuk saling mencintai karena Allah. Mereka menjalin kesatuan visi untuk menegakkan kehidupan Islam. Mereka membenci keburukan. Ini sebagaimana disifati dalam firman-Nya:

وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُونَ  ٧

Akan tetapi, Allah menjadikan kalian mencintai keimanan, menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian serta menjadikan kalian membenci kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (QS al-Hujurât [49]: 7).

 

Jangan Mempersekusi Dakwah!

Cinta karena Allah dan Rasul-Nya wajib dibuktikan dengan sikap mendukung dakwah dan para pengembannya. Bukan malah menghalang-halangi bahkan mempersekusi dakwah dan para pengembannya. Pasalnya, perbuatan buruk mereka yang mempersekusi dakwah dan pengembannya, apapun motifnya, pasti kembali pada dua sisi kebatilan: (1) Syubhat (pemahaman yang bertentangan dengan Islam); atau (2) Syahwat (jabatan, materi dan lainnya). Siapapun yang mempersekusi dakwah berarti dia meniti jalan setan (QS an-Nur [24]: 21), mencontoh karakter perbuatan kaum munafik (QS at-Taubah [9]: 67) dan meniru perbuatan kaum kuffar dalam firman-Nya:

يُرِيدُونَ لِيُطۡفِ‍ُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ  ٨

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya (QS ash-Shaff [61]: 8).

 

Kaum kuffar dikecam Allah (QS al-Maidah [5]: 78-79; QS al-Maidah [5]: 63). Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut berhubungan dengan kaum Yahudi, Nasrani dan musyrik. Setiap golongan ini berupaya menguasai tempat-tempat ibadah. Tujuannya untuk menghalang-halangi manusia dari mengingat Allah di dalamnya, bahkan berupaya meruntuhkan tempat-tempat ibadah itu. Realitas kondisi ini terjadi sejak risalah Islam turun kepada mereka. Ini seperti apa yang dilakukan kaum musyrik terhadap Rasulullah saw. ketika Baitul Haram (Ka’bah) dalam kekuasaan mereka. Lalu mereka melarang Rasulullah saw. dan para sahabatnya untuk beribadah di Ka’bah.

Syaikh ’Atha bin Khalil menguraikan lebih lanjut, bahwa tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi kebenaran terucap di rumah-rumah Allah, dan berupaya menghancurkan tempat-tempat ibadah (masâjid). Sama saja apakah berupa penghancuran fisik—seperti  merobohkan-nya—atau penghancuran non-fisik dengan menjadikan tempat-tempat ibadah itu sebagai tempat yang dijauhkan dari seruan kebenaran, dan malah disebarkan di dalamnya seruan kebatilan. Karena itu perbuatan tercela ini wajib dijauhi oleh mereka yang mengaku mengimani Allah SWT. Perbuatan tersebut bertentangan dengan tuntutan keimanan dan sifat persaudaraan kaum  beriman (QS al-Hujurat [49]: 10) yang dituntut saling mencintai karena Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:

وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci dan saling berselisih. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; Dosen, Peneliti Balaghah al-Quran & Hadis Nabawi]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + 13 =

Back to top button