Bahaya Liberalisasi Perempuan Saudi
Laporan Global Gender Gap 2016 yang dirilis World Economic Forum mendudukkan Saudi Arabia pada ranking 141 dari 144 negara.1 Posisi itu menjadikan perempuan Saudi disebut ‘mengalami diskriminasi jender yang paling parah di Timur Tengah’. Demi menghilangkan stereotif itu, Pemerintah Saudi memberi angin kebebasan bagi perempuan untuk unjuk gigi di ruang publik.
Yang paling menyita perhatian adalah ketika pada September 2017 Raja Salman bin Abdulaziz mengeluarkan dekrit pencabutan larangan menyetir bagi perempuan.2 Sungguh aneh memang bila Saudi adalah satu-satunya negara yang melarang perempuan menyetir kendaraan. Bila ketahuan mengemudi di jalanan umum, mereka bisa didenda dan dipenjara. Kelonggaran lainnya, sejak Januari 2018 perempuan diperbolehkan menonton pertandingan sepak bola secara langsung.3
Arab Saudi menjadi akomodatif bagi perempuan tak lepas dari pengaruh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS). Kerajaan yang dikenal ultrakonservatif itu menempuh reformasi sosial dan ekonomi melalui pencanangan Program ‘Vision 2030’.4 Program ambisius agar Saudi masuk dalam kelompok 15 negara perekonomian terbesar dunia—melalui diversifikasi ekonomi non minyak bumi ini—tak lepas dari upaya meningkatkan partisipasi perempuan di semua sektor.5
Visi 2030: Islam Moderat, Liberalisasi dan Kapitalisasi
Perwujudan Visi 2030 juga terkait dengan Islam moderat. Secara lugas, MBS mengatakan, kembali ke ‘Islam moderat’ merupakan kunci dalam rencananya untuk memodernisasi Saudi. Dia bertekad untuk menghapuskan sisa-sisa ekstremisme.6 Ekstremisme itu dia lukiskan sebagai Arab Saudi sebelum 1979, ketika terjadi revolusi Islam di Iran dan para militan menduduki Masjidil Haram. Akibatnya, hiburan umum dilarang dan para ulama mendapat lebih banyak wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat umum.7
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat di Washington menyambut baik perkembangan Saudi dengan visinya dan menyebut hal itu sebagai ‘langkah ke arah yang benar’.8
Saudi Arabia adalah salah satu sekutu kunci AS. Komitmennya untuk melawan ekstremis-me ditunjukkan dengan kesediaannya sebagai tuan rumah KTT Arab-Islam-Amerika di Riyadh 20-21 Mei 2017. Padahal KTT ini dibuka Donald Trump yang sangat anti-Islam. Dalam pidatonya, Trump menawarkan kemitraan kepada negara-negara Muslim untuk memerangi terorisme serta ekstremisme.9
Counter Violence Extremism (CVE) adalah propaganda AS yang diaruskan PBB sebagai rangkaian WoT (War on Terror). Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memaksa Dunia Islam mengadopsi ide Islam moderat. Building Moderate Muslim Network adalah rekomendasi RAND Corporation untuk memenangkan perang gagasan antara Dunia Islam dan Barat pasca peristiwa 9/11.10
Strategi itu ditempuh untuk mengamankan berbagai kepentingannya di Dunia Islam. Keberpihakan rezim Salman atas perempuan merupakan implikasi keberpihakannya pada Islam moderat. Hal ini sesuai definisi Islam moderat sebagaimana konsep Angel Rabasa, ilmuwan politik senior RAND Corporation, yang menyatakan Islam Moderat sebagai ‘mau menerima pluralisme, kesetaraan jender, demokratisasi, humanisme dan civil society’.
Demi melaksanakan rekomendasi itulah berbagai gerakan untuk meliberalisasi perempuan dilakukan. Kini, perempuan Saudi boleh mendatangi pusat hiburan dan arena olah raga. Setelah 30 tahun dilarang, mereka boleh mendatangi bioskop yang akan dibuka Maret 2018. Desember 2017 lalu ribuan perempuan meramaikan konser pertama penyanyi perempuan.11 Kerajaan juga menyelenggarakan kompetisi squash perempuan. Sebelum itu, November 2017 diadakan turnamen bola basket mahasiswi di Jeddah.12 Lari maraton yang diikuti ratusan perempuan berpakaian Muslim juga digelar 3 Maret 2018, mengelilingi wilayah timur Al-Ahsa. Bahkan Kementerian Olahraga berencana menggelar perlombaan lari khusus perempuan di Makkah April mendatang.13
Saudi juga mengawinkan isu liberalisasi perempuan dengan kapitalisasi. Sesuai Visi 2030, Arab Saudi berupaya meningkatkan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja dari 22 persen menjadi 30 persen dan mengurangi tingkat pengangguran dari 11,6 persen menjadi 7 persen.14
Demi kepentingan itu, mereka membuka pendaftaran bagi perempuan untuk masuk militer Maret 2018 ini di Provinsi Riyadh, Makkah, al-Qassim dan Medina. Tugasnya bukan bertempur, tetapi untuk divisi keamanan penyelidikan pidana, penanganan kejahatan terkait narkoba, maupun menyangkut peraturan lalu lintas.15 Mereka juga terbuka untuk bekerja sebagai pemandu wisata berlisensi dari Saudi Commission for Tourism and National Heritage (SCTNH).16
Untuk mengawal kesetaraan, dua anggota Dewan Syura perempuan, Dr. Mody AlKhalaf dan Dr. Latifah Ashaalan, meminta Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial mengawasi perbedaan upah perempuan dan laki-laki karena masalah ini masih kerap terjadi.17
Bukan Kemajuan, Justru Kemadaratan
Sejatinya kesetaraan jender adalah isu berbisa yang dijalankan Barat dalam menjajah Dunia Islam. Tujuannya adalah untuk tadmir al-usrah (penghancuran keluarga). Berkaca dari wilayah lain yang telah menerapkan kesetaraan jender, ternyata bukan kemajuan, kesejahteraan ataupun ketentraman kehidupan yang didapat kaum perempuan. Justru kemadaratan yang menimpa. Tuntutan liberalisasi perempuan yang diikuti dengan peningkatan peran mereka di sektor publik harus dibayar mahal dengan hilangnya rasa keamanan pada diri perempuan. Bahkan muncul kerusakan sosial dalam tatanan masyarakat. Gerakan #MeToo yang mendunia seiring Women March 2018—yang diawali pengakuan korban-korban pelecehan seksual di industri perfilman Hollywood—membuktikan bahwa kekerasan seksual meluas seiring peningkatan area aktivitas perempuan.
Di sisi lain, kesetaraan perempuan yang didapat di dunia kerja ternyata hanya mimpi. Dunia kapitalis hanya menjadikan mereka sebagai obyek kapitalisasi, bukan karena profesionalitas. Karena itu UN Women pada 18 September 2017 masih meluncurkan Equal Pay International Coalition demi mendapatkan gaji yang sepadan antara laki-laki dan perempuan.18
Saudi Arabia bukanlah negara yang berlandaskan konsep syariah kâffah. Wajar bila mereka tidak clear dalam menempatkan perempuan sesuai tuntunan syariah. Padahal Islam telah mengatur perempuan secara sempurna. Mereka diizinkan untuk melakoni peran publik pada area yang diperkenankan oleh syariah. Mereka boleh menyetir mobil, berolah raga dan bekerja asal tidak berkhalwat, ikhtilâth dan memperlihatkan aurat. Jika mereka bekerja, tidak untuk dikapitalisasi dan dieksploitasi.
Jadi angin kebebasan yang dijajakan gerakan pengarusutamaan jender sejatinya adalah tipuan untuk menjerumuskan Dunia Islam. Tidak ada posisi yang mulia bagi perempuan kecuali menempatkan mereka sesuai tatanan syariah Islam.
Sejatinya bukan kemajuan dunia semu yang diinginkan perempuan jika pada ujungnya membawa pada madarat dan menjauhkan dari berkah Allah SWT: Kitab (Al-Quran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (TQS Shad []: 29). [Pratma Julia Sunjadari]
Catatan kaki:
1 http://reports.weforum.org/global-gender-gap-report-2016/middle-east-and-north-africa/
2 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42661594
3 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42661593
4 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-43154213
6 http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41748637
7 Ibidem 7
8 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-43154213
10 Building moderate Muslim networks / Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, Peter Sickle. Published 2007 by the RAND Corporation
11 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42661593
12 http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42661593
15 http://www.bbc.com/indonesia/dunia-43203749