
Cuma Dagelan Politik Sekuler
Pilpres 2024 dinilai terlalu banyak sandiwara politik. Bahkan ada yang menilai siapapun pasangan capres dan cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2024 nanti tidak lepas dari kekuatan oligarki di belakang mereka. Secara sederhana oligarki bisa diartikan sebagai sebuah kekuatan politik di tangan segelintir orang (rule by the few) atau kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir kaum kaya.
Di Indonesia, dalam sebuah webinar pada 9 Juni 2020 yang diselenggarakan KPK, Profesor Jeffrey Winters, Chair of the Departement of Political Science, Northwestern University, menyebutkan bahwa hampir 100 persen dana kampanye yang digunakan partai politik di Indonesia berasal dari para oligarki.
Oligarki tentu memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap siapa yang akan menjadi presiden karena itu akan menentukan “nasib” bisnis mereka. Di antara tujuan oligarki mendukung pasangan capres-cawapres adalah untuk melindungi dan mengamankan kekayaannya dari redistribusi, semisal pajak dan korupsi, juga agar dekat dengan kekuasaan. Dengan itu mereka dapat mempengaruhi penguasa sehingga terhindar dari kesulitan dalam perizinan, pengembangan bisnis dan berbagai gangguan lainnya. Oligarki juga bertujuan agar bisnis mereka berkembang besar dan menggurita dengan dukungan dari kekuasaan.
Di sisi lain para politisi tentu membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi politik Pilpres. Jadi hubungan antara penguasa dan pengusaha dalam sistem demokrasi sejatinya seperti simbiosis mutualisme, yakni saling membutuhkan satu sama lain.
Jelas, sistem demokrasi sekuler rentan melahirkan politik yang pragmatis, bukan idealis, apalagi ideologis. Pragmatisme politik ini sulit dihindari. Pasalnya, semua keputusan politik di dalam sistem demokrasi merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan elit politik. Dalam konteks Pilpres, acuan elit politik dan oligarki adalah “siapa yang berpeluang menang lebih besar” dan “saya mendapatkan apa”. Karena itu jika ada orang yang memiliki kapabilitas dan integritas yang baik, memiliki gagasan yang cemerlang, tetapi tidak ada dalam radar survey, jangan harap bisa dicalonkan partai politik.
Dari sini kita menyayangkan partai Islam yang masih malu-malu atau bahkan malah takut menampilkan jatidirinya sebagai partai Islam dengan menawarkan syariah Islam sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh bangsa. Alih-alih menawarkan syariah Islam, partai Islam malah terjebak dalam kubangan sekulerisme yang semakin menjauhkan umat dari Islam. Keberadaan partai Islam juga masih dianggap publik hanya memperjuangkan kepentingan elit partai, bukan kepentingan rakyat banyak.
Karena itu sudah saatnya umat Islam sadar bahwa sistem politik liberal, selain bertentangan dengan Islam, sejatinya telah banyak merugikan kaum Muslim. Sudah saatnya energi umat ini difokuskan untuk perjuangan yang sebenarnya, yakni menerapkan syariah Islam. [Endah Sulistiowati ; (Direktur Muslimah Voice)]