Politik Identitas, Why Not?
Elit politik terutama yang bakal berkompetisi pada Pilpres 2024 diingatkan oleh sejumlah pihak untuk memiliki komitmen antipolitik identitas. Pasalnya, politik identitas dianggap oleh mereka akan selalu ada pada Pemilu. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar pelaksanaan Pemilu tahun 2024 berjalan lancar tanpa adanya politik identitas. Hal ini agar tidak ada lagi polarisasi sosial saat Pemilu. Jokowi mengatakan, pemerintah mendukung sepenuhnya tahapan Pemilu yang sedang dipersiapkan oleh KPU. Ia meminta demokrasi Indonesia harus semakin dewasa dan konsolidasi nasional harus diperkuat. Mereka juga menolak gerakan politik yang mengatas-namakan agama membuat diskursus hubungan Islam dan politik kembali menguat.
Padahal jelas, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ajaran yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3). Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik. Dalam al-Quran, Allah SWT menjelaskan tentang kewajiban menaati ulilamri (QS an-Nisa’ [4]: 59). Menurut para ulama, ulil amri adalah penguasa. Penguasa dan kekuasaan tentu perkara yang tidak bisa dilepaskan dari politik.
Politik (siyâsah) dalam pengertian pengaturan urusan-urusan umat manusia (rakyat) menjadi penting. Islam memerintahkan agar umat Islam mengatur segala urusan mereka baik individidu, keluarga, masyarakat hingga negara berdasarkan syariah Islam. Terdapat banyak ayat al-Quran maupun al-Hadis yang mengatur urusan-urusan umat manusia ini. Kewajiban berhukum pada syariah Islam secara totalitas tentu termasuk dalam perkara politik yang mengatur urusan umat manusia ini.
Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, menyebut dua perkara yang menjadi tanggung jawab kepala negara atau Khalifah, yakni menjaga agama (hirâsah ad-dîn) dan mengatur urusan-urusan dunia (siyâsah ad-dunyâ’). Dua-duanya tentu harus diatur berdasarkan syariah Islam.
Hal yang sama dinyatakan oleh Imam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Nizhâm al-Islâm, “Islam adalah agama dan termasuk di dalamnya adalah ajaran bernegara.”
Rasulullah saw., yang wajib menjadi qudwah dalam segala perkara, telah menunjukkan kepada kita bagaimana Islam sebagai agama yang sempurna itu dipraktikkan. Beliau bukan hanya rasul, utusan Allah SWT yang menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Beliau juga adalah kepala negara, qâdhi (hakim), panglima perang, dan yang lainnya. Kita tetu diperintahkan untuk menaati Rasulullah saw. dalam segala perkara. Tentu termasuk urusan politik.
Rasulullah saw. juga memberikan banyak pedoman kepada kita terkait dengan penguasa dan kekuasaan. Ini menunjukkan Islam memang mengatur masalah kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan dari politik. “Rasulullah saw. mengajak kami untuk berbaiat. Lalu kami berbaiat kepada beliau. Baiat tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu mentaati penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau bersabda, ‘Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah.’” (HR Muslim).
Jelas hadis ini mengatur masalah politik, yaitu bagaimana sikap kita terhadap penguasa. Rasulullah saw. juga menegaskan tentang kewajiban melakukan muhâsabah lil hukkâm (mengoreksi penguasa). Beliau bahkan memuliakan aktivitas politik ini dengan sebagai jihad yang paling utama. Nabi saw. bersabda, “Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). [Suro Kunto ; (Ketua ABI)]