Siyasah Dakwah

Nusrah Fardhu Kifayah: Dosanya Tidak Akan Gugur Dari Ahlul Quwah Hingga Fardhu Itu Ditegakkan

Kelompok dan gerakan yang tengah memperjuangkan perubahan harus mengkristalkan idenya. Tidak umum atau ambigu. Metode untuk mencapai tujuannya juga harus jelas. Bahkan metode itu harus dari pemikiran yang sama, bukan dari luar, atau terpisah darinya. Artinya, harus ada hubungan dan keterkaitan antara ide dan metodenya.

Jika kita memperhatikan beberapa kelompok dan gerakan yang tengah memperjuangkan perubahan, kita mendapati beragam cara mereka untuk mencapai tujuan. Beberapa dari mereka mengambil cara damai, seperti terlibat dalam pesta demokrasi dan pemilihan di bawah sistem kapitalisme. Yang lain mengadopsi metode kekerasan, seperti kudeta bersenjata dan perang, tanpa memperhatikan sesuai tidaknya metode itu dengan akidah dan ideologinya. Padahal metodenya ini terbukti membawa berbagai bahaya, baik yang menimpa kelompok itu sendiri, yang lain, atau bahkan menimpa rakyat yang tidak berdosa.

Sayang, tidak sedikit kelompok dan gerakan Islam mengambil pendekatan yang bertentangan dengan Islam. Padahal Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan Islam dan berhukum padanya dalam semua aspek kehidupan. Semua itu hanya bisa dilakukan melalui institusi eksekutif untuk menerapkan hukum-hukum Islam kepada rakyat, juga mengembannya kepada yang lain sebagai misi yang membawa kedamaian. Institusi tersebut adalah negara (Khilafah). Penegakkan Khilafah inilah yang wajib diperjuangkan oleh kaum Muslim. Sebagaimana kaidah fikih menyatakan:

مَا لا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.

 

Dengan merujuk pada sîrah Rasulullah saw, kami menemukan bahwa beliau telah melalui tiga tahapan: mulai dari pembentukan partai dan pengkaderan anggotanya dengan Islam, kemudian interaksi partai ini dengan masyarakat melalui perang pemikiran dan perjuangan politik, serta thalabun nushrah (aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan), sampai tahapan penyerahan kekuasaan. Dari sinilah mulai penerapan Islam secara kâffah.

Ketika Rasulullah SWT berkomitmen dengan sebuah metode tertentu, dan tidak meninggalkannya, maka kami wajib berkomitmen dengan metode tersebut karena meneladani beliau dan berkomitmen dengan perintah Allah SWT agar meneladani beliau:

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah. Aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (QS Yusuf [12]: 108).

 

Ayat tersebut menegaskan kepada kita tentang ketidakbolehan menyalahi metode (tharîqah) Rasulullah saw dalam berdakwah.

Thalabun nushrah berada di akhir tahapan interaksi. Hal ini sungguh sangat jelas bagi ahlul quwwah dari suku-suku pada saat itu saat Rasulullah saw. meminta nushrah-nya. Jelas bagi mereka bahwa yang diperlukan adalah melindungi Rasulullah saw. dan mendukung beliau untuk mendirikan sebuah institusi di tengah-tengah mereka yang akan menerapkan hukum-hukum Allah. Artinya, mereka menyadari secara eksplisit dan jelas bahwa nushrah itu untuk mendirikan negara. Oleh karena itu, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, ketika Rasulullah saw. meminta nushrah-nya, mereka berkata, “Bagaimana pandanganmu jika kami membaiatmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami?” Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah. Dia akan menyerahkan kekuasaan itu sesuai kehendak-Nya.”

Al-‘Abbas berkata: Salah seorang lalu berkata kepada beliau, “Apakah kami dikorbankan oleh orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami?! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu.” Lalu mereka menolak beliau.

Artinya, mereka tahu bahwa nushrah itu untuk mendirikan negara dan mereka ingin menjadi penguasanya setelah Rasulullah saw.

Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasulullah saw. ketika beliau meminta nushrah-nya, “Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya.” Rasulullah saw bersabda, “Apakah dua bahaya itu?” Ia berkata, “Sungai Kisra dan perairan Arab. Sungguh kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Saya melihat perkara yang engkau minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah saw pun bersabda, “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Sungguh agama Allah itu tidak akan ditolong kecuali oleh orang yang melingkupinya dari segala sisinya.”

Jadi mereka memahami bahwa memberikan nushrah itu berarti ikut dalam pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non-Arab. Dalam hal ini, mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.

Semua ini jelas bahwa thalabun nushrah itu ada sebelum tahapan ketiga, yaitu tahapan mendirikan negara. Artinya, thalabun nushrah itu ada pada tahapan interaksi.

Masalah thalabun nushrah bukanlah pilihan bagi partai, melainkan hukum syariah yang digali dari dalil-dalilnya. Karena itu jika telah ada hukum syariah, wajib bagi setiap Muslim untuk terikat dengannya, sekalipun semua orang menolaknya, dan haram baginya pindah ke hukum lain (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36).

Bahkan Allah SWT memperingatkan dengan keras mereka yang melanggar perintah-Nya:

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ  ٦٣

Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (QS an-Nur [24] : 63).

 

Dengan ayat ini, hendaklah kita sadar bahwa mengikuti metode Rasulullah saw. dalam menegakkan Khilafah merupakan perkara taklifi (pembebanan) dan hukum syariah. Karena itu beliau wajib diikuti. Sebab beliau itu teladan dan perbuatannya bagian dari hukum Islam. Kaum Muslim tidak boleh menyimpang dari metode Rasulullah saw. dengan dalih tidak masuk akal. Ingat, akal harus tunduk pada hukum syariah. Jika tidak maka akan banyak metode kaum Muslim akibat perbedaan akal dan nafsunya. Bahkan metode akan selalu berubah-ubah dipengaruhi oleh zaman, pandangan dan tradisi hingga berujung pada kesesatan dan kecelakaan.

Allah SWT memerintahkan kita agar mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7). Tentu ermasuk cara mendirikan kembali negara Islam yang telah diruntuhkan kaum kafir tahun (1924 M./1342 H.).

Oleh karena itu, kita wajib mengambil metode yang telah diputuskan Rasulullah saw ketika beliau mendirikan Negara Islam di Madinah. Saat itu beliau menjadikan kekuasaan negaranya adalah kekuasaan sendiri yang didasarkan pada kekuatan kaum Muslim dari dua suku, yaitu Aus dan Khazraj. Saat itu kedua suku ini yang mengendalikan urusan Madinah sebagai pusat negaranya. Beliau pun menjadikan keamanan negaranya dengan keamanan kaum Muslim sendiri. Dengan itu kekuatan militer kaum Muslim saja sudah dapat melindungi negara dan bangsa dari para agresor. Beliau pun langsung menerapkan Islam dalam negaranya yang baru berdiri dengan sempurna dan segera sejak saat beliau masuk Madinah al-Munawwarah.

Perjuangan untuk mengembalikan sistem pemerintahan yang Allah SWT turunkan merupakan bagian dari mengagungkan agama Allah. Itulah yang telah kita lihat dari ahlun nushrah pada Baiat Aqabah al-Kubra. Kaab bin Malik ra. berkata setelah Abbas bin Abdul Muththalib—yang ketika itu ia masih belum masuk Islam—berbicara, “Kami mendengar apa yang telah engkau katakan.” Lalu mereka berpaling kepada Rasul saw., “Bicaralah, wahai Rasul. Lalu ambillah apa yang engkau sukai untuk dirimu dan Tuhanmu.” Setelah membaca al-Quran dan mengharapkan mereka masuk ke dalam Islam, Rasul saw. menjawab, “Aku membaiat kalian agar kalian melindungiku seperti kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.”

Dari sikap tersebut, kami dapati bahwa ahlul quwwah wa man’ah (pemilik kekuatan dan pengaruh) memberikan kepada pengemban dakwah apa yang wajib mereka berikan. Jadi, pengemban dakwah itu adalah ahli politik dalam mengurusi masyarakat, dan memimpin mereka berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun ahlun nushrah (pemilik kekuatan dan pengaruh) menjalankan perintah ahlud dakwah (pengemban dakwah). Ahlun nushrah tidak boleh menjalankan perintah sebelum mengkonfirmasi kepada ahlud dakwah. Ahlun nushrah menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk melindungi dakwah, rakyat dan negara. Ahlun nushrah juga senantiasa siap siaga berkorban dan melakukan apapun di berbagai medan yang diperintahkan oleh ahlud dakwah.

Dalam hal thalabun nushrah, maka itu hanya kepada orang-orang yang memiliki visi tinggi, keinginan besar, tidak angkuh dan tidak sombong, serta tidak mementingkan dirinya sendiri. Thalabun nushrah itu hanya kepada orang-orang yang pemberani, setia dan takwa, serta orang-orang yang yakin terhadap misi dan visi perjuangan. Mereka adalah orang-orang terkemuka, mulia dan panutan umat. Mereka bersama-sama dengan ahlud dakwah menolong agama Allah. Dengan itu terwujud sebaik-baik pengemban dakwah, sebaik-baik penyambut dakwah, dan sebaik-baik negara Islam, yang sinarnya akan menerangi dunia kembali. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّ‍ۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ ١٤

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada para pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi para penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para pengikut setianya menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.” (QS ash-Shaf [61]: 14).

 

Untuk itu, jadilah kalian para untuk menegakkan agama) Allah dan menjadi Hawâriyûn umat saat ini!

Sungguh, Khilafah telah menjadi opini umum di tengah-tengah mayoritas kaum Muslim. Yang tersisa hanyalah izin Allah melalui kaum Anshar, seperti kaum Anshar yang disebut oleh Allah SWT di dalam al-Quran, melalui para Saad dan Usaid zaman sekarang, serta para tokoh yang siap menolong agamanya; menolong para pejuang Khilafah; dan menolong Hizbut Tahrir menegakkan Khilafah Rasyidah kedua, yaitu Khilafah ‘ala minhâjin nubuwah, setelah kekuasaan diktator dan otoriter di mana kita sekarang ada, dalam rangka merealisasikan janji Allah SWT:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ ٥٥

Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, untuk memberikan kekuasaan [Khilafah] kepada mereka di muka bumi (QS an-Nur [24]: 55).

 

Juga merealisasikan kabar gembira (busyra) dari Rasulullah saw. setelah kekusaan diktator dan otoriter ini:

…ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّة

Kemudian akan ada kekuasaan yang diktator. Ia akan ada dengan kehendak Allah dan akan tetap ada. Lalu Allah mengangkat kekuasaan itu jika Dia berkehendak untuk mengangkat-nya. Selanjutnya akan muncul Khilafah di atas jalan kenabian (HR Ahmad).

 

Jadi, cepatlah, wahai ahlul quwwah, bergabunglah dengan pengemban dakwan dan memberi nushrah. Bersegeralah menegakkan Khilafah bersama Hibut Tahrir. Janganlah kalian hanya menjadi penonton saja. Ingatlah bahwa kebaikan dan pahala yang akan kalian dapatkan ketika bergabung dengan barisan pengemban dakwah dan pejuang hari ini tidak sama dengan kebaikan dan pahala ketika bergabung dengan barisan pengemban dakwah dan pejuang setelah hari ini meski semua itu adalah kebaikan (QS al-Hadid [57] : 10).

Janganlah kalian takut kecuali kepada Allah Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa. Janganlah kalian berkata: “Akan berdiri di hadapan kami Amerika dan Barat di belakangnya jika kami menolong kalian.” Ketahuilah bahwa eksistensi mereka akan runtuh. Kekuatan mereka akan hancur di hadapan orang-orang yang beriman, pemberani dan penolong (Lihat: QS ar-Rum [30]: 48).

 

[Muhammad Bajuri – Abdullah Al-Qadi, al-Waie, edisi 390-391-392, Tahun ke-33, Rajab-Sa’ban-Ramadhan, 1440 H – Maret-April-Mei 2019 M.]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − one =

Back to top button