Bagaimana Cara Mengubah Kemunkaran?
Soal:
Bagaimana hukum mengingkari kemunkaran? Bagaimana tatacara melakukannya? Apa yang dimaksud dengan mengingkari dengan tangan, lisan dan hati? Apakah ada perbedaan antara mengingkari kemunkaran yang dilakukan individu, kelompok dan negara? Bagaimana pula jika subyek kemunkaran itu adalah individu, kelompok dan negara?
Jawab:
Hukum mengingkari kemungkaran jelas wajib. Apa itu kemunkaran?
اَلْمُنْكَرُ هُوَ كُلُّ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْع وَحَرَّمَهُ, مِنْ تَرْكِ وَاجِبٍ, أَوْ فِعْلِ حَرَامٍ
Kemungkaran adalah apa saja yang dinyatakan buruk dan haram oleh syariah, seperti meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram.”1
Mengingkari kemungkaran diwajibkan oleh Allah SWT kepada seluruh kaum Muslim, baik sebagai pribadi maupun kelompok; baik dalam bentuk organisasi, umat maupun negara.
Ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Said al-Khudri yang berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ
“Siapa saja yang melihat kemungkaran, dia wajib mengubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka wajib dengan lisannya, jika tidak mampu, maka wajib dengan hatinya. Itu merupakan selemah-lemah iman.”
Selain hadis di atas, juga ada nas lain yang memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan organisasi dan kelompok agar mereka bisa melakukan amar makruf dan nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 104).
Allah SWT juga memuliakan umat ini dengan menjadikan mereka sebagai umat terbaik, yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Mereka melakukan amar makruf nahi munkar dan mengimani Allah SWT (QS Ali Imran [3]: 110).
Allah SWT menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai pembeda orang Mukmin dengan munafik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 67; QS at-Taubah [9]: 71).
Allah SWT juga mengancam mereka yang berdiam diri terhadap kemungkaran, dan tidak berjuang untuk mengubah dan menghilangkan-nya, dengan ancaman azab. Hudzaifah al-Yaman menuturkan hadis dari Nabi saw.:
وَالَّذِىْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ, أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاً مِنْه ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kalian wajib melakukan amar makruf nahi mungkar, atau Allah nyaris akan menimpakan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, Dia pun tidak akan mengabulkan doa kalian.” (HR at-Tirmidzi).
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلٍ الْخَآصَّةِ, حَتَّى يَرَوْا المُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانِيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوْهُ فَلاَ يُنْكِرُوْهُ, فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَذَّبَ الْخَآصَّة وَالْعَامَّةَ
Sungguh Allah tidak akan menyiksa manusia secara umum karena perbuatan orang tertentu, hingga mereka menyaksikan kemungkaran di belakang mereka, sementara mereka mampu untuk mengubah kemunkaran itu, namun mereka tidak melakukannya. Jika mereka melakukan itu, Dia [Allah] akan menyiksa orang tertentu [yang melakukan kemunkaran] dan manusia secara umum (HR Ahmad).
Karena itu setiap Muslim yang menyaksikan kemungkaran, apapun jenis kemungkarannya, yang terjadi di depannya, wajib untuk mengingkari kemungkaran itu, dan mengubahnya dengan salah satu dari tiga cara [uslub] sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika dia tidak melakukannya maka dia pun berdosa.
Amar makruf nahi mungkar hukumnya wajib bagi kaum Muslim, dalam segala kondisi. Baik ada maupun tidak ada Khilafah. Baik hukum yang diterapkan kepada kaum Muslim adalah hukum Islam maupun tidak. Baik penguasanya menerapkan hukum Islam dengan benar maupun tidak. Karena itulah amar makruf nahi mungkar ini sudah ada dan terus-menerus dilakukan sejak zaman Nabi saw. Sahabat dan generasi setelah mereka. Hukumnya tetap berlaku hingga Hari Kiamat. Islam juga telah menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai penjaga dan penjamin pelaksanaan sistem kehidupan Islam dengan baik dan benar.
Kemungkaran adakalanya dilakukan oleh individu, kelompok [organisasi] atau negara. Pihak yang mengingkari dan mengubah kemungkaran itu pun bisa pribadi, kelompok [organisasi] maupun negara. Dalam Negara Islam, penguasalah yang sesungguhnya bertugas untuk mengurus urusan rakyatnya dengan hukum-hukum syariah. Dialah yang secara syar’i bertanggung jawab untuk mencegah kemungkaran yang dilaukkan pribadi maupun kelompok. Itulah mengapa Nabi saw. menyatakan dengan uslub hashr:
الاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam [kepala negara/Khalifah] laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab untuk mengurusi gembalaan [rakyat]-nya (HR al-Bukhari).
Allah telah memerintahkan Imam/Khalifah untuk mendorong masyarakat, baik secara pribadi maupun berjamaah, untuk melaksanakan semua kewajiban yang telah diwajibkan kepada mereka. Jika untuk merealisasikan tugas tersebut, Imam/Khalifah harus menggunakan kekuatan fisik, dia wajib menggunakannya. Allah pun telah mewajibkan Imam/Khalifah untuk mencegah segala bentuk tindak keharaman. Jika untuk melaksanakan tugas tersebut dia harus menggunakan kekuatan fisik, maka dia juga wajib menggunakannya. Negara secara syar’i bertanggung jawab untuk menerapkan Islam dan memaksa masyarakat untuk terikat dengan hukum-hukum Islam.
Adapun individu, maka siapapun yang menyaksikan kemungkaran di depannya, misalnya dia melihat ada seseorang minum khamer, mencuri, atau diduga melakukan pembunuhan, atau berzina, maka kalau berdasarkan ghalabatu ad-dzann-nya, dia mampu untuk menghilangkan kemungkaran ini dengan tangannya, maka dia wajib mengubah dan menghilangkannya sesegera mungkin dengan menggunakan tangannya. Caranya, dia bisa menghalangi orang tersebut minum khamer, mencuri, membunuh atau berzina. Menghalangi dan menghilangkan semuanya itu adalah dengan tangannya, karena dia mampu mengubah dengan tangannya. Ini untuk merealisasikan titah Nabi saw. di atas.
Apa yang dimaksud mengubah dengan tangan? Maksudnya adalah dengan kekuatan fisik. Tujuanya supaya kemungkaran tersebut bisa diubah dan dihentikan. Mengingkari kemungkaran dengan tangan di sini kembali pada kemampuan riil, meski berdasarkan ghalabatu ad-dzan, yaitu kemampuan riil untuk mengubah dan menghilangkan kemunkaran ini dengan tangan. Jika kemampuan itu tidak ada, maka dia tidak wajib menggunakan tangannya. Sebab menggunakan tangannya pada saat itu tidak bisa merealisasikan tujuan penggunaan tangannya, yaitu mengakhiri dan menghilangkan kemunkaran.
Jadi, yang menjadi manath [fakta hukum] penggunaan tangan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits Abu Said al-Khudri di atas adalah mengubah kemungkaran secara nyata. Sebab, hadis tersebut memerintahkan, jika tidak mampu, yakni jika kemampuan fisik tidak mampu mengakhiri dan mengubah kemunkaran, maka dengan lisan.
Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan, sebenarnya tidak bisa disebut mengubah kemungkaran, tetapi hanya mengubah orang yang melakukan kemunkaran. Dengan kata lain, mengingkarinya atas tindakan mungkar yang dilakukan. Jika tidak mampu mengingkari dengan lisannya, maka dia wajib membenci kemungkaran itu dengan hatinya. Dia harus menunjukkan kebencian terhadap kemungkaran itu.
Semua ini konteksnya adalah kemungkaran yang terjadi pada individu dan kelompok [organisasi]. Namun, jika kemungkaran itu terjadi pada penguasa [negara], seperti korupsi, merampas hak, abai terhadap urusan rakyat, melalaikan salah satu kewajibannya, atau menyalahi salah satu hukum Islam, atau kemungkaran yang lain, maka kaum Muslim wajib untuk mengoreksinya. Wajib menging-kari dan berjuang untuk mengubahnya, baik sebagai umat, tentara, organisasi maupun individu. Jika tidak, maka mereka berdosa, karena berdiam diri dan meninggalkan kewajiban mengingkari dan mengubah kemungkaran.
Dalil atas kewajiban mengoreksi penguasa dengan lisan [muhasabah] ini adalah hadis penuturan Ummu Salamah, dari Rasulullah saw.:
سَتَكُوْنُ أُمَرَاء فَتَعْرِفُوْنَ وَتَنْكِرُوْنَ, فَمَنْ كَرِهَ بَرِىءَ, وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ, وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Akan ada para pemimpin yang kalian ketahui kemakrufan dan kemunkarannya. Siapa saja yang membenci [kemungkarannya] terbebas [dari dosa]. Siapa saja yang mengingkari [kemungkarannya] selamat. Namun, siapa yang rela dan mengikutinya, [maka dia akan berdosa dan binasa].” (HR Muslim).
Nabi saw. juga bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر
Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kalimat yang haq di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Adapun perintah untuk mengangkat senjata kepada penguasa yang jelas-jelas melakukan kekufuran yang nyata, maka konteks perintah ini berlaku saat Khilafah ada. Saat demikian negara telah menerapkan hukum Islam secara kâffah, kemudian penguasa/negara melakukan penyimpangan. Terjadilah kekufuran yang nyata pada pribadi penguasa tersebut atau pada negara. Ini sebagaimana revolusi kufur yang dilakukan Kamal Attaturk saat menghancurkan Khilafah, 3 Maret 1924 M.
Mengangkat senjata dalam konteks ini dilakukan sesuai dengan kemampuan, yang berdasarkan ghalabut ad-dzan, mampu mengakhiri dan mengubah kemungkaran. Misalnya, umat secara keseluruhan menyatukan kehendaknya, begitu juga dengan tentaranya, dengan seluruh kekuatannya, juga kabilah-kabilah besar yang mempunyai pengaruh dan kekuatan serta organisasi politik yang mempunyai kekuatan besar di tubuh militer, dan sebagainya. Sekali lagi, dengan ghalabatu ad-dzan, bahwa semua kekuatan fisik itu bisa menghentikan dan mengubah kemunkaran tersebut. Jika tidak maka kewajiban untuk mengakhiri dan menghentikan kemungkaran secara fisik tersebut tidak bisa dilakukan.2
Adapun jika negeri tersebut adalah negeri kufur dan hukum Islam sebelumnya tidak diterapkan di sana, maka mengakhiri dan menghentikan penguasa yang memerintah kaum Muslim di sana adalah melalui thalab an-nushrah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi saw.3
WalLâhu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, Nasyrah Inkaru al-Munkar, yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, tanggal 28 Dzulqa’dah 1409 H/1 Juli 1989.
2 Lihat, Manhaj Hizb ut-Tahrir fi Taghyir, hal. 9-10.
3 Lihat, Manhaj Hizb ut-Tahrir fi Taghyir, hal. 10.