Telaah Kitab

Hak dan Kewajiban Pria-Wanita Dihadapan Syariah

Pasal 108 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr

Negara Khilafah merupakan institusi politik yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara dan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur seluruh interaksi yang terjadi di dalamnya.  Akidah Islam adalah dasar dan pandangan hidup. Syariah adalah aturan yang digunakan untuk mengatur seluruh urusan negara, masyarakat maupun individu.  Masyarakat yang tegak di atas akidah Islam dan syariah Islam, memiliki kekhasan, ciri dan bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang tegak di atas paham sekular dan aturan buatan manusia. Termasuk bentuk relasi wanita dan pria, fungsi dan peran mereka di masyarakat; distribusi peran, hak dan kewajiban keduanya di dalam masyarakat.

Telaah Kitab kali ini membahas Pasal 114 tentang hak dan kewajiban wanita dalam masyarakat Islam.

 

Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita

Di dalam masyarakat Islam, wanita diberi kewajiban dan hak sebagaimana  laki-laki, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkan bagi masing-masing keduanya.  Seorang wanita diberi hak untuk melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, perindustrian dan lain-lain.   Wanita diberi hak menjalin kontrak, aqad, atau muamalah-muamalah. Wanita berhak memiliki dan menguasai berbagai macam jenis harta dan mengembangkannya. Wanita juga diberi hak melibatkan diri secara langsung dalam berbagai macam urusan kehidupan.

Dalil yang mendasari pasal ini adalah realitas dari taklif hukum syariah. Secara umum, syariah Islam dibebankan kepada seluruh manusia tanpa memandang pria dan wanita.  Tidak ada perbedaan antara wanita dan pria di hadapan hukum syariah.  Keduanya sama-sama mukallaf. Allah SWT berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨

Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS Saba’ [34]: 28).

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا ١٥٨

Katakanlah, “Hai manusia, sungguh Aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (QS al-A’af [7]: 158).

 

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا ٣٥

Sungguh kaum Muslim dan Muslimat, kaum Mukmin dan Mukminat, pria dan wanita yang senantiasa berlaku taat, pria dan wanita yang selalu berlaku benar, pria dan wanita yang biasa berlaku sabar, pria dan wanita yang senantiasa takut (kepada Allah), pria dan wanita  yang gemar bersedekah, pria dan wanita yang suka berpuasa,  pria dan wanita yang selalu memelihara kemaluan (kehormatan)-nya, serta pria dan wanita yang banyak menyebut asma Allah, telah Allah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar  (QS al-Ahzab [33]: 35).

 

Lihat pula beberapa ayat lain, antara lain: QS al-Ahzab (33): 36; QS an-Nahl (16): 97; QS an-Nisa’ (4): 124; QS Ali Imran (3): 195; QS an-Nisa’ (4): 7; QS an-Nisa‘ (4): 32.

Ayat-ayat di atas, dan masih banyak ayat-ayat yang lain,  datang dalam bentuk umum.  Seruan (khithâb)-nya menyasar seluruh manusia tanpa membedakan laki-laki maupun wanita.

Atas dasar itu, syariah Islam diturunkan untuk memberikan solusi  atas problem seluruh umat manusia, tercakup di dalamnya problem-problem yang terkait dengan laki-laki dan wanita.  Laki-laki dan wanita dipandang sebagai manusia. Interaksi mereka perlu diatur dengan aturan tertentu. Islam tidak pernah mempersoalkan kesetaraan atau kelebihan laki-laki atas wanita atau sebaliknya.  Keduanya dipandang sebagai manusia yang urusannya harus diatur dengan aturan tertentu. Syariah Islam tidak pernah menyoal masalah kesetaraan gender—seperti yang dilakukan orang kafir Barat—dalam mengatur urusan-urusan laki-laki dan wanita. Istilah dan wacana kesetaraan gender, tidak pernah ada di dalam Islam.  Istilah dan wacana itu hanya ada di dalam masyarakat Barat.  Sebab, syariah Islam datang untuk menyelesaikan problem yang menimpa manusia, baik pria maupun wanita.

Kesetaran gender antara pria dan wanita bukanlah persoalan yang harus didiskusikan. Bukan pula persoalan yang menjadi topik pembahasan dalam wacana sistem interaksi atau pergaulan pria dan wanita.  Topik kesetaraan gender tidak mungkin ada di tengah-tengah kehidupan Islam. Istilah semacam ini hanya muncul dan dikenal di dunia Barat. Tidak pernah dilontarkan seorang Muslim pun, kecuali yang mengekor kepada Barat. Mereka memang telah merenggut hak-hak asasi kaum wanita selaku manusia. Oleh karena itulah, wanita-wanita Barat menuntut hak-hak tersebut dikembalikan sekaligus menjadikan tuntutan tersebut sebagai wacana kesetaraan (gender) sebagai cara untuk mendapatkan  hak-hak mereka.

Berbeda dengan  Islam. Islam tidak mengenal istilah-istilah semacam itu. Islam menegakkan sistem sosialnya di atas landasan yang kuat dan sempurna. Sistem ini dapat menjamin keutuhan dan ketinggian martabat manusia yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah.  Sistem ini telah mengantarkan wanita dan laki-laki ke puncak kebahagiaan hakiki sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 70).

Islam telah menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi wanita dan laki-laki. Penetapan hak dan kewajiban ini terkait dengan kemaslahatan keduanya dalam pandangan Allah sebagai Sang Pembuat Hukum (Asy-Syâri‘).   Hukum syariah yang mengatur aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan ditetapkan berdasarkan sebuah anggapan bahwa aktivitas tersebut dilakukan oleh manusia.  Hukum syariah yang digunakan untuk memecahkan persoalan mereka ada kalanya sama jika tabiat keduanya selaku manusia mengharuskan adanya pemecahan yang sama.  Sebaliknya,  pemecahan yang diberikan kepada keduanya ada kalanya berbeda  jika karakter salah satu dari keduanya  menuntut adanya pemecahan yang berbeda.   Hanya saja, kesamaan dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara keduanya bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya kesetaraan gender.   Adanya perbedaaan dalam beberapa hak dan kewajiban di antara keduanya juga tidak dilihat dari ada atau tidak adanya unsur kesetaraan. Sebab, Islam memandang masyarakat sebagai komunitas manusia yang hidup dalam entitas tertentu, bukan dengan pandangan yang lain.  Di antara karakter komunitas masyarakat manusia adalah adanya pria dan wanita. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa kepada Tuhan Yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu, Allah lalu menciptakan istrinya. Lalu dari  keduanya, Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang amat banyak (QS an Nisa’ [4]: 1).

 

Demikianlah, taklif syariah dibebankan Allah SWT kepada manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin.  Begitu pula dalam konteks pemberian hak dan kewajiban kepada pria dan wanita.   Pemberian hak dan kewajiban tersebut pada hakekatnya merupakan pemberian hak dan kewajiban kepada manusia.  Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa hak dan kewajiban pria dan wanita di depan taklif hukum adalah sama. Tidak ada perbedaan.  Dari sini kita mendapati bahwa Islam tidak membeda-bedakan pria ataupun wanita dalam hal kewajiban menyeru manusia ke jalan keimanan.  Islam juga tidak membeda-bedakan keduanya dalam hal kewajiban mengemban dakwah Islam.  Begitu pula dalam taklif yang berurusan dengan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Pria dan wanita memiliki kewajiban yang sama.  Begitu pula dalam urusan-urusan muamalah seperti jual beli, ijarah, wakalah, kafalah dan sebagainya, Islam telah memberikan porsi kewajiban yang sama  kepada laki-laki dan perempuan. Dalam urusan sanksi atas pelanggaran, Islam juga menetapkan porsi yang sama bagi laki-laki dan wanita.  Siapa saja yang melanggar hudûd, jinâyat dan ta’zîr, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan sanksi yang sama tanpa ada diskriminasi sedikit pun. Di bidang pendidikan, Islam telah mewajibkan laki-laki dan wanita untuk thalab al-‘ilm. Tidak ada pembedaan dalam hal kewajiban menuntut ilmu, baik laki-laki maupun wanita.

Dengan demikian,  Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan perbuatan manusia—dalam kedudukannya  sebagai manusia—sebagai satu ketentuan yang sama-sama harus dilaksanakan oleh pria maupun wanita.    Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa taklif beserta hak dan kewajiban pria dan wanita adalah sama.  [Gus Syam]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =

Back to top button