Soal Jawab

Bagaimana Menjalani Puasa Di Tengah Wabah Corona?

Soal:

Ramadhan 1441 H mungkin berbeda dengan sebelumnya. Tahun ini Ramadhan dilalui di tengah Pandemi Covid-19. Bagaimana caranya kita bisa menjalankan ibadah secara maksimal di tengah Pandemi ini?

 

Jawab:

Hukum puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf, yang balig dan berakal. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan atas kalian berpuasa, sebagaimana yang telah ditetapkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

 

Menurut Imam al-Qurtubhi, dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, penggunaan lafal “kutiba” sebagaimana dalam kasus qishash dan wasiat, tak lain, karena Allah menetapkan puasa kepada mereka, memaksa mereka untuk mengerjakannya, dan mewajibkannya. Dalam hal ini, tidak ada perselisihan pendapat.

Nabi saw. juga bersabda yang artinya: Islam dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; puasa Ramadhan; dan haji (HR Muslim).

Makna, “shawm” secara harfiah adalah menahan diri. Secara syar’i, puasa didefinisikan dengan: Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, disertai dengan niat berpuasa, sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari. Kesempurnaannya adalah dengan menjauhi yang diharamkan dan tidak melakukan keharaman.1 

Pertanyaannya: Apakah adanya Pandemi Covid-19 yang menyerang tenggorokan dan pernafasan bisa dijadikan sebagai alasan untuk tidak berpuasa? Dengan kata lain, dengan alasan untuk mencegah serangan Covid-19, bibir dan tenggorokan harus selalu basah, apakah boleh tidak berpuasa?

Jawabannya: Ketentuan tentang kewajiban puasa Ramadhan dinyatakan oleh nas al-Quran dan al-Hadis di atas sebagai hukum ‘azimah (hukum asal). Adapun dalil yang menyatakan rukhshah berlaku untuk dua keadaan, yaitu sakit dan berpergian. Allah SWT berfirman (yang artinya): (Puasa Ramadhan itu) dalam beberapa hari tertentu. Siapa saja di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagi dia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Siapa saja yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik bagi dia. Berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 184).

Frasa “Al-ladzina yuthiqunahu (orang-orang yang berat), seperti orang hamil, menyusui, atau orang yang sudah tua renta. Mereka boleh tidak berpuasa dengan kompensasi membayar fidyah, yakni dengan memberi makan kepada orang miskin. Sebagian ulama menyatakan, bahwa status orang yang berat ini disamakan dengan orang yang sakit.2

Mengenai orang yang hamil dan menyusui, ada empat pendapat.

  1. Keduanya wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengganti puasanya. Ini merupakan pendapat Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas.
  2. Keduanya wajib mengganti puasanya saja, tidak wajib membayar fidyah. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.
  3. Keduanya wajib membayar fidyah dan wajib mengganti puasanya. Ini merupakan pendapat Imam Syafii.
  4. Orang hamil wajib mengganti dan tidak membayar fidyah. Adapun yang menyusui wajib mengganti dan membayar fidyah.3

 

Mengenai status orang yang khawatir terkena virus Covid-19, karena tenggorokan dan bibir kering, tidak ada satu pun bukti medis dan hasil penelitian ilmiah yang bisa digunakan untuk membuktikan, bahwa kondisi tenggorokan dan bibir kering itu bisa memicu penularan virus Covid-19. Kalau alasannya itu, maka bisa berkumur saat berwudhu, dan itu tidak membatalkan puasa. Karena itu alasan mencegah penularan ini tidak bisa dijadikan alasan rukhshah untuk tidak berpuasa karena tidak dinyatakan oleh satu dalil pun. Ini terkait dengan puasanya.

Adapun terkait dengan pelaksanaan ibadah yang lain, seperti shalat jamaah, shalat tarawih, dan iktikaf di masjid, maka semuanya ini sebenarnya masih bisa dilaksanakan. Syaratnya, negara menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik dan benar. Begitu juga umat. Pasalnya, penularan virus Covid-19 bisa terjadi di mana pun, khususnya tempat keramaian. Bisa melalui bersin, kentut maupun bekas sarana atau prasarana yang digunakan oleh penderita virus tersebut.

Karena itu, agar shalat jamaah, shalat tarawih dan iktikaf di masjid bisa dilaksanakan, negara harus memastikan:

  • Semua jamaah yang masuk ke masjid steril dari penyakit Covid-19. Caranya dengan melakukan tes secara menyeluruh terhadap rakyatnya. Dengan begitu diketahui siapa yang terkena virus Covid-19 dan siapa yang tidak. Bagi yang terkena virus tersebut, harus segera diisolasi, supaya tidak menular kepada yang lain.
  • Jika tes sudah dilaksanakan, dan dipastikan aman, maka sebelum memasuki masjid pun bisa dilakukan pemeriksaan ulang, untuk memastikan, apakah ada jamaah yang masuk ke masjid tersebut membawa virus Covid-19, atau tidak. Setelah dinyatakan negatif, maka bisa masuk.
  • Untuk memastikan keamanan masing-masing bisa mengambil wudhu di rumah, atau di tempat yang disediakan di masjid, dengan mencuci tangan menggunakan sabun, berkumur dan istintsaq.
  • Bagi jamaah yang kurang sehat, hendaknya tidak memaksakan diri datang ke masjid karena bisa berpotensi menjadi korban serangan Covid-19.
  • Ketika mengerjakan shalat di masjid hendaknya membawa alas shalat sendiri-sendiri. Jika dikhawatirkan terjangkit, boleh mengenakan masker.
  • Shalat berjamaah bisa diatur dengan shaf yang renggang. Dengan memperhitungkan jarak yang aman. Meski tidak mendapatkan afdhaliyah, dalam konteks pengaturan shaf, tetap mendapatkan fadhilah shalat jamaah, tarawih dan iktikaf di masjid.

 

Hanya saja, ketentuan di atas bisa dilaksanakan dengan baik jika negara menjalankan tugas dan kewajibannya, dan rakyat pun melakukan apa yang menjadi tugas dan kewajibanya.

Semuanya ini merupakan penyelesaian dalam pelaksanaan ibadah puasa, shalat berjamaah, tarawih dan iktikaf di masjid.

Masalahnya, ketika negara dan individu rakyatnya tidak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik dan benar, sehingga potensi penyebaran virus itu tidak terdeteksi, dan terkendali, maka cara terbaik yang bisa dilakukan adalah tetap tinggal di rumah (stay at home), dan melaksanakan ibadah, seperti shalat berjamaah, tarawih, tadarus dan sebagainya di rumah. Kecuali iktikaf. Iktikaf hanya bisa dilakukan di masjid.

Untuk iktikaf ini ada pembahasan di kalangan fuqaha’ yang agak njelimet. Setidaknya ada empat pendapat:

  • Iktikaf hanya boleh dilakukan di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Ini pendapat Hudzaifah al-Yaman dan Said bin al-Musayyab.
  • Iktikaf tidak hanya boleh dilakukan di tiga masjid, tetapi di masjid manapun. Ini pendapat Imam Hanifah, Malik, Sufyan at-Tsauri, dan asy-Syafii.
  • Iktikaf hanya boleh dilakukan di masjid, yang digunakan shalat Jumat. Ini pendapat Ibn ‘Abdul Hakam dari Malik.
  • Semua sepakat bahwa iktikaf harus dilaksanakan di masjid, kecuali Ibn Lubabah, yang menyatakan, bahwa boleh iktikaf boleh dilakukan di luar masjid.4

 

Sumber perselisihan ini adalah firman Allah:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ

Janganlah kalian menggauli mereka [isteri-isteri], sementara kalian sedang iktikaf di masjid (QS al-Baqarah [2]: 187).

 

Perlu dicatat, frasa “wa antum ‘akifuna fi al-masajid (sementara kalian sedang iktikaf di masjid) adalah hal (keadaan orang yang melakukan hubungan badan), yaitu ketika sedang iktikaf. Bisa dipahami:

  • Larangan berhubungan badan ketika iktikaf di masjid. Artinya, boleh berhubungan badan saat tidak iktikaf di masjid.
  • Boleh iktikaf di luar masjid, sebagaimana boleh melakukan hubungan badan di luar masjid, tidak sedang iktikaf. 5

 

Karena itu di kalangan mazhab Syafii ada dua pendapat. Pertama, Qawl Qadim, yang menyatakan boleh iktikaf di tempat shalat di rumah. Kedua, Qawl Jadid, yang menyatakan tidak boleh.6 Pendapat yang menyatakan tidak boleh di masjid rumahnya juga dinyatakan oleh Ibn Hazm.7

Bagi orang yang melakukan iktikaf, yang tidak wajib mengerjakan shalat jamaah, seperti orang yang sedang sakit, atau mendapat udzur, atau orang yang berada di kampung, sementara tak ada masjid lain, yang digunakan shalat, kecuali itu, maka boleh iktikaf di masjid manapun karena statusnya seperti wanita.8

Wanita juga sama. Boleh melakukan iktikaf di masjid manapun tanpa disyaratkan harus digunakan shalat jamaah atau jumatan. Karena itu Imam ats-Tsauri dan Imam Abu Hanifah membolehkan wanita iktikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dijadikan shalat. Bagi wanita iktikaf di masjid rumahnya itu lebih baik karena shalatnya di situ lebih baik.9

WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-‘Allamah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 1425 H/2004 M, Juz I/352-353.

2        Al-‘Allamah Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Dar al-Ghadd al-Jadid, Beirut, cet. I, 1433 H/2012 M, Juz II/72-73.

3        Al-‘Allamah Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Dar al-Ghadd al-Jadid, Beirut, cet. I, 1433 H/2012 M, Juz II/73.

4        Al-‘Allamah Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Dar al-Ghadd al-Jadid, Beirut, cet. I, 1433 H/2012 M, Juz II/93.

5        Al-‘Allamah Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Dar al-Ghadd al-Jadid, Beirut, cet. I, 1433 H/2012 M, Juz II/93.

6        Al-‘Allamah al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Dar al-Hadits, Qahirah, cet. I, 1431 H/2010 M, Juz VIII/9-10.

7        Al-‘Allamah Ibn Hazm al-Andalusi, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Beirut, cet. I, t.t./520.

8        Al-‘Allamah Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi, ad-Dar al-‘Alamiyyah, Beirut, cet. I, 1438 H/2016 M/162.

9        Al-‘Allamah Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi, ad-Dar al-‘Alamiyyah, Beirut, cet. I, 1438 H/2016 M/162.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − 8 =

Check Also
Close
Back to top button