Soal Jawab

Bagaimana Metode Penggalian Hukum Dalam Islam?

Soal:

Akhir-akhir ini serangan terhadap Islam begitu luar biasa. Tidak hanya menyerang masalah furû’, tetapi sampai pada persoalan ushul. Mulai dari serangan terhadap Khilafah, Jihad, Jilbab, sampai kewajiban Shalat. Bahkan sampai ada yang mengatakan, “Islam itu belum sempurna”. Mereka mengklaim karena semua itu tidak dibahas di dalam al-Quran. Padahal semuanya itu telah berjalan sebagai bagian dari sistem Islam dan sejarah peradaban Islam. Jadi, bagaimana sebenarnya metode untuk menggali dan melakukan pendalilan hukum Islam?

 

Jawab:

Islam, sebagai agama dan ideologi, telah sempurna. Seluruh persoalan yang dihadapi manusia, bisa dicarikan dan ditemukan solusinya di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian,  telah Aku cukupkan untuk  kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

 

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Dari dua nas al-Quran di atas jelas menunjukkan bahwa Islam itu sudah sempurna. Jika ada yang menyatakan, Islam belum sempurna, maka dia mengingkari ayat ini. Lalu pertanyaanya, di mana letak kesempurnaan Islam?

Sebagai agama dan ideologi, Islam telah menjelaskan semua perkara. Tidak ada satu pun masalah yang ada, yang tidak ada solusinya di dalam Islam.

Hanya saja, solusi yang diberikan oleh nash syariah, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tidak dinyatakan dengan detail, tetapi dalam bentuk garis besar (khuthûth ‘arîdhah), atau makna yang  bersifat umum (ma’ânin ‘ammah). Semua masalah, A sampai Z, telah dibahas dalam al-Quran dan as-Sunnah secara umum, global dan tidak mendetail. Adapun yang bertugas merinci, mendetailkan dan menspesifikkan adalah para mujtahid.

Karena itu metode satu-satunya dalam memecahkan masalah, dalam pandangan Islam, adalah dengan memahami fakta (fahm al-wâqi’), nas syariah (fahm an-nushûsh), lalu menerapkan fakta ke dalam nas (inthibâq an-nushûsh ‘ala al-waqi’), atau sebaliknya. Hanya saja, karena al-Quran dan as-Sunnah adalah nas syariah (qawl[un] tasyrî’i) dan berbahasa Arab (qawl[un] ‘Arabi), maka untuk bisa dipahami dibutuhkan penguasaan yang mendalam terhadap bahasa Arab dan aspek syariahnya. Menguasai bahasa Arabnya, tetapi tidak menguasai aspek syariahnya jelas tidak mungkin. Begitu juga sebaliknya.

Sebagai contoh, kewajiban wudhu. Apakah wudhu adalah kewajiban yang  berdiri sendiri, atau menjadi syarat bagi kewajiban lain? Bagaimana cara berwudhu, syarat dan rukunnya, termasuk apa saja yang membatalkan wudhu’? Semuanya tidak dijelaskan dalam satu nas, tetapi beberapa nas, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Bahkan ada yang harus dipahami melalui Mafhûm, baik Muwâfaqah maupun Mukhâlafah, tidak hanya melalui Manthûq, hingga istinbâth dari sejumlah nas syariah dan qarînah.

 

Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ ٦

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki (QS al-Maidah [5]: 6).

 

Ayat ini menjelaskan bahwa wudhu diwajibkan sebagai syarat dalam mengerjakan shalat, baik shalat wajib maupun sunah. Dengan kata lain, kewajiban wudhu tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai syarat dalam pelaksanaan shalat. Artinya, jika tidak mengerjakan shalat maka tidak wajib berwudhu. Dari mana bisa memahami seperti itu? Karena ada Jumlah Syarthiyyah, “Idzâ qumtum ilâ ash-shalâti faghsilû..”  (Jika kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah oleh kalian..). Kalimat bersyarat (Jumlah Syarthiyyah) ini mengandung Mafhûm Mukhâlafah (konotasi terbalik), “Jika kalian tidak hendak mengerjakan shalat, maka tidak perlu kalian membasuh…”

Ayat ini juga tidak menjelaskan syarat dan rukun wudhu. Rukun wudhu dijelaskan oleh nas lain. Misalnya, penggunaan airnya harus bersih (thâhir), suci lagi mensucikan (thâhir muthahhir), bukan air musta’mal (air bekas), apalagi mutanajjis (terkena najis). Ini tidak dijelaskan di dalam ayat di atas, tetapi dijelaskan di dalam nas-nas hadis. Begitu juga tatacara (kayfiyyah)-nya. Secara detail tidak dijelaskan di dalam ayat itu, tetapi dijelaskan di dalam nas-nas lain.

Begitu juga mengenai rukunnya, misalnya menurut Mazhab Syafii, ada 6.1 Niat, membasuh muka, kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, membasuh kaki hingga mata kaki dan urut (tertib). Ayat di atas hanya menjelaskan beberapa rukun, seperti membasuh muka, kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, membasuh kaki hingga mata kaki. Niat dinyatakan di dalam nas lain. Adapun urut (tartib) digali melalui istinbâth.

Begitu juga ketika membahas tentang kesunahan (masnûnât) dan perkara yang membatalkan (nawâqidh) wudhu. Semuanya tidak dinyatakan di dalam ayat di atas, tetapi dinyatakan di dalam nas-nas syariah yang lain. Nah, semuanya itu merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ini sebagai konsekuensi dari al-Quran dan as-Sunnah merupakan bahasa Arab dan Qawl[un] Tasyrî’i.

Hal yang sama terjadi pada konteks kewajiban Shalat, Jilbab, Jihad dan Khilafah. Kewajiban Shalat, Jilbab, Jihad dan Khilafah itu dinyatakan dalam al-Quran. Ada yang dinyatakan melalui Manthûq. Ada yang dinyatakan melalui Mafhûm. Keduanya sama kedudukannya di mata para ulama Ushul.

Dikecualikan dari itu jika Mafhûm yang diambil dari nas itu menyalahi Manthûq nas yang lain, maka Mafhûm tersebut harus dibatalkan. Misalnya:

وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ ٣٣

Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran jika mereka sendiri mengingini kesucian karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi (QS an-Nur [24]: 33).

 

Mafhûm Mukhâlafah (konotasi terbalik) dari, “In aradna tahashshuna” (Jika mereka menginginkan kesucian), yaitu, “Jika mereka tidak menginginkan kesucian,” berarti boleh dipaksa melacurkan diri. Mafhûm Mukhâlafah seperti ini dinyatakan batal karena menyalahi nas al-Quran, yang mengharamkan zina.

Dalam konteks kewajiban Shalat, Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا ١٠٣

Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 103).

 

Ayat ini hanya menyatakan, “kewajiban yang ditentukan waktunya”  tetapi tidak definitif. Jika ada yang mengatakan, “Shalat lima waktu itu tidak ada dalam al-Quran”, maka jelas keliru. Jawabannya, “Ada. Hanya tidak definitif.” Definitifnya dinyatakan dalam hadis Jibril as. saat Nabi saw. menuturkan:

أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عِنْدَ الْبَيْت مَرَّتَين فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّه مِثْلَه وَصَلَّى بِيَ – يَعْنِي الْمَغْرِبَ – حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْر حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّه مِثْلَهُ وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّه مِثْلَيْهِ وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاء إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ

Jibril as. telah menjadikanku imam di Baitullah dua kali. Dia shalat Zuhur denganku ketika matahari tergelincir di tengah hari, shalat Ashar denganku ketika bayangannya sepanjang dirinya, shalat Magrib denganku ketika orang berbuka puasa, shalat Isya denganku ketika mega merah menghilang dan shalat Fajar (Subuh) denganku ketika makanan dan minuman diharamkan bagi orang yang berpuasa. Keesokan harinya dia shalat Zuhur denganku ketika bayangannya sepanjang dirinya, shalat Ashar denganku ketika bayangannya dua kali lebih panjang dari dirinya, shalat Magrib denganku pada saat orang yang berpuasa berbuka, shalat Isya denganku sampai sekitar sepertiga malam telah berlalu dan shalat Fajar (Subuh) denganku ketika cahaya cukup terang (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibn Hibban dan al-Hakim).

 

Begitu juga tentang syarat kewajiban seperti Islam, balig dan berakal; jelas tidak dinyatakan dalam al-Quran, tetapi dinyatakan dalam hadis. Kemudian rukun dan sunnahnya. Semuanya ada di dalam nas syariah, baik dinyatakan langsung maupun melalui istinbaath. Misalnya, rukun shalat, menurut mazhab Syafii, ada 18.2 Niat, berdiri bagi yang mampu, takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, rukuk, tuma’ninah, I’tidal, tuma’ninah, sujud, tuma’ninah, duduk di antara dua sujud, tuma’ninah, duduk akhir, tasyahud, membaca shalawat kepada Nabi saw., salam pertama, niat keluar dari shalat, dan urut (tertib).

Begitu juga dengan hukum Jilbab, Jihad hingga Khilafah. Semuanya dinyatakan dalam al-Quran dan as-Sunnah secara global, dalam bentuk garis besar, atau makna umum, kemudian dirinci sampai detail oleh Mujtahid. Mujtahid mendetailkan hukum-hukum yang dinyatakan secara global tersebut dengan ilmu dan kaidah, bukan dengan hawa nafsunya. Misalnya, ketika menentukan batasan wajah yang harus dibasuh saat wudhu. Tidak ada batasan “wajah” di dalam nas. Karena itu batasannya bisa dikembalikan pada batasan bahasa dan ‘urf. Misalnya:

الوجه ما بين منابت شعر الرأس إلى الذقن ومنتهى اللحية طولا، ومن الأذن إلى الأذن عرضا، بالمنابت المعتادة والإعتبارات

Wajah adalah bagian antara tempat tumbuhnya rambut memanjang hingga dagu dan ujung jenggot, melebar dari telinga satu ke telinga lain. Yang dianggap sebagai tempat tumbuhnya rambut adalah yang lazim. 3

 

Karena itu, bagi orang yang kepalanya botak, hanya wajib membasuh muka, sebatas tempat tumbuhnya rambut asal, bukan batasan tumbuhnya rambut setelah mengalami kebotakan. Ini contoh bagaimana ulama merumuskan masalah dan solusinya.

Dari penjelasan di atas, kuncinya dua. Pertama, menguasai bahasa Arab dengan mendalam; mulai dari Nahwu, Sharaf, Balaghah dan sebagainya. Kedua, menguasai ilmu-ilmu syariah; seperti al-Quran, Ilmu dan Ushulnya, Hadis, Ilmu dan Ushulnya, Ushul Fiqih dan sebagainya. Selain itu harus menguasai fakta-fakta yang ada sehingga bisa mendudukannya dengan tepat. Misalnya, perbuatan dari zaman Nabi Adam hingga Hari Kiamat, dilakukan manusia tak lain, selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri. Karena itu, perbuatan manusia, sebenarnya cenderung statis. Dengan demikian sejak dulu, sampai kapan pun, hukumnya sudah ada. Hadhârah dan Tsaqâfah Islam yang ada sudah cukup serta mampu menyelesaikan semua masalah yang dibutuhkan oleh manusia.

Adapun yang berkembang adalah sarana dan prasarana atau alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau perbuatan manusia. Hukum asal alat (benda) adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan. Nah, di sinilah hukum Madaniyah dan ‘Ulûm. Jika tidak terpengaruh dengan Hadhârah non-Islam maka mubah. Jika terpengaruh, maka haram diambil.

Jadi, kalau ada yang mengatakan, Islam belum sempurna, atau Islam tidak bisa menjawab semua problem kehidupan yang berkembang di sepanjang zaman, maka sesungguhnya bukan karena kelemahan Islam, tetapi karena kebodohan dan kelemahan yang bersangkutan.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani (w. 593 H), Matan al-Ghayah wa at-Taqrib fi al-Fiqh as-Syafii, ed. Majid al-Hamawi, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan I, 1434 H/2013 M, hal. 31.

2        Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani (w. 593 H), Matan al-Ghayah wa at-Taqrib fi al-Fiqh as-Syafii, ed. Majid al-Hamawi, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan I, 1434 H/2013 M, hal. 62.

3        Syaikh ‘Ali Raghib, Ahkam as-Shalat, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Beirut, Cetakan I, 1413 H/1991 M, hal. 11.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 16 =

Check Also
Close
Back to top button