Soal Jawab

Bolehkah Negara Mengadopsi Hukum Ibadah?

Soal:

Bolehkan negara mengadopsi hukum ibadah, seperti penentuan awal dan akhir Ramadhan, atau waktu wukuf di Arafah, dan sebagainya?

 

Jawab:

Masalah ini telah dibahas sejak lama oleh Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dalam kitabnya, Muqaddimah ad-Dustur. Pada Pasal 3, dinyatakan: “Kepala Negara hendaknya tidak mengadopsi hukum syariah apapun dalam masalah ibadah, selain zakat dan jihad. Begitu juga tidak mengadopsi pemikiran apapun yang terkait dengan akidah Islam.”

Dalam konteks ini, status hukum mengadopsi hukum bagi kepala negara itu mubah, bukan wajib. Artinya, dia boleh mengadopsi hukum tertentu, juga boleh tidak mengadopsi hukum tertentu.

Karena itu, di pasal tersebut, beliau menggunakan redaksi, “La Yatabanna” (hendaknya tidak mengadopsi), bukan “La Yajuzu an Yatabanna” (Tidak boleh mengadopsi). Maka dari itu, tidak mengadopsi dalam masalah akidah dan ibadah tidak berarti haram bagi kepala negara untuk mengadopsinya, tetapi maksudnya kepala negara boleh memilih untuk mengadopsi atau tidak. Nah, dalam hal ini lebih baik tidak mengadopsi, ketimbang mengadopsinya1.

Mengapa sebaiknya kepala negara tidak mengadopsi dalam masalah akidah dan hukum? Ada dua alasan. Pertama, karena pemaksaan dalam masalah akidah atau ibadah tertentu bisa menyebabkan keberatan (haraj). Kedua, karena mengadopsi pemikiran itu untuk mengurus urusan kaum Muslim dengan pandangan yang sama, serta menjaga persatuan dan kesatuan negara. Karena itu yang diadopsi oleh kepala negara adalah masalah yang terkait dengan hubungan antar individu dan apa saja yang terkait dengan urusan umum. Bukan dalam urusan private dengan tuhannya.

Dalil alasan yang pertama adalah larangan Allah memaksa kaum kafir untuk meninggalkan agamanya, dan memeluk akidah Islam, serta tidak boleh memaksa mereka untuk meninggalkan ibadah mereka. Ini sebagaimana firman Allah:

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ ٢٥٦

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256).

وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ ٧٨

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78)

 

Jika melarang orang kafir untuk meninggalkan akidahnya dan memeluk akidah Islam saja tidak boleh, maka tentu lebih tidak boleh lagi memaksa orang Islam untuk meninggalkan hukum-hukum yang terkait dengan akidah­nya, selama akidah yang dia peluk adalah akidah Islam. Begitu juga tidak boleh memaksa dia meninggalkan hukum yang terkait dengan ibadah, selama hukum tersebut merupakan hukum syariah. Selain itu, memaksa mereka untuk meninggalkan pemikiran akidah Islam tertentu bisa menyebabkan kesulitan (haraj). Inilah yang terjadi pada masa Abbasiyah. Saat itu fitnah Khalq al-Qur’an telah memakan korban. Di antaranya Imam Ahmad yang mengalami penyiksaan di dalam penjara karena mempertahankan pendiriannya bahwa al-Quran bukan makhluk2.

Dengan demikian berdasarkan dua alasan di atas—terjadi haraj (kesulitan) dan bertentangan dengan fakta tabanni—maka kepala negara sebaiknya tidak mengadopsi masalah yang terkait dengan akidah, maupun ibadah. Namun, ini tidak bersifat mutlak. Dalam kondisi tertentu, ketika ada larangan yang jelas dan tegas dalam al-Quran maupun as-Sunnah dalam masalah akidah, maka saat itu kepala negara justru harus mengadopsinya, meski menimbulkan haraj (kesulitan). Ini seperti larangan mengambil akidah dari dzann, sebagaimana firman Allah:

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيْئًا ٢٨

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan saja. Padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran (QS an-Najm [53]: 28).

 

Karena itu, ketika negara tidak mengadopsi akidah harus dibangun dengan dalil qath’i, justru menyebabkan perselisihan di tengah kaum Muslim dalam masalah akidah. Demikian sebagaimana yang terjadi saat ini, antara penganut Salafi dan Asy’ari, maupun yang lain. Perselisihan ini bisa berujung pada saling mengkafirkan di antara sesama kaum Muslim karena perselisihan ini dalam masalah akidah. Untuk mencegah terjadinya tindakan takfir di antara sesama kaum Muslim, negara harus mengadopsi dalil akidah harus qath’i. Meski menimbulkan kesulitan, kesulitan ini dalam rangka mencegah konflik yang lebih besar dan perpecahan di antara sesama kaum Muslim.

Begitu juga, ketika mengurusi urusan kaum Muslim meniscayakan kepala negara harus menyatukan mereka dengan satu hukum demi menjaga persatuan dan kesatuan negara, maka hukum ini harus diadopsi. Misalnya, penyatuan waktu haji, kapan 1 Dzulhijjah, kapan waktu wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), Idul Adhha (10 Dzulhijjah), mabit di Muzdalifah dan Mina (10-13 Dzulhijjah). Kapan puasa 1 Ramadhan, dan kapan 1 Syawal. Semuanya ini meniscayakan negara harus mengadopsi hukum tertentu.

Hal yang sama juga terkait dengan zakat dan jihad. Pasalnya, hukum ini tidak hanya terkait dengan hubungan manusia dengan Allah, tetapi hubungan manusia dengan sesama manusia, seperti Hari Raya, Haji, Zakat dan Jihad. Terkait dengan akidah, dalam konteks tabanni dalil qath’i tersebut, maka ini tidak termasuk memaksa kaum Muslim untuk meninggalkan akidah Islam, tetapi memaksa mereka untuk terikat dengan apa yang harusnya diyakini, yaitu nash yang qath’i tsubût dan dalâlah3.

Begitu juga dalam konteks ibadah, ini bukan masalah memaksa mereka untuk terikat dengan ibadah, yang terkait dengan hubungan manusia dengan Allah semata, seperti shalat, tetapi ini juga masalah yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia (Hari Raya, Haji, Zakat dan Jihad). Karena itu ketika negara memaksa kaum Muslim dalam dua masalah ini, yaitu akidah dan ibadah, maka hukumnya boleh.

Dengan demikian boleh dan tidaknya kepala negara mengadopsi masalah akidah dan ibadah bisa disimpulkan sebagai berikut:

Negara tidak semestinya mengadopsi pemikiran akidah Islam tertentu, seperti Muktazilah, Jabariyah, Salafiyah, atau yang lain. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya kesulitan (haraj), bahkan bisa menyebabkan terjadinya perpecahan, juga bisa menyebabkan terjadinya pemaksaan kaum Muslim untuk meninggalkan pemikiran akidahnya.

Negara boleh mengadopsi dalil akidah, bahwa dalil aqidah harus qath’i tsubût dan dalâlah. Negara juga boleh memaksa kaum Muslim untuk terikat dengan dalil tersebut, meski menyebabkan kesulitan (haraj), tetapi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perpecahan di tubuh kaum Muslim.

Dalam masalah ibadah, negara tidak semestinya mengadopsi hukum syariah tertentu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah semata, seperti shalat dan puasa, misalnya.

Namun, dalam masalah ibadah yang tidak hanya melibatkan hubungan manusia dengan Allah semata, seperti Hari Raya, Zakat, Haji dan Jihad, misalnya, maka negara boleh. Seperti penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9, 10 Dzhulhijjah, dan lain-lain.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  • Al-Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur Aw al-Asbab al-Mujibah Lahu, p. 1382 H/1963 M, hal. 14-19.
  • Fitnah Khalq al-Qur’an ini diceritakan panjang lebar oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya, Siyar al-A’lam an-Nubala’. Lihat, Syamsu ad-Din adz-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubala’, Dar al-Fikr, Beirut, cet I, 1417 H/1997 M, Juz IX, hal. 434-547.
  • Penjelasan lebih detail mengenai penggunaan dalil akidah harus qath’i, telah diuraikan oleh Syaikh Fathi Salim, dalam kitabnya, al-Istidlal bi ad-Dzanni fî al-‘Aqidah. Lihat, Syaikh Fathi Salim, al-Istidlal bi ad-Dzanni fî al-‘Aqidah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet I, 1401 H/1981 M, hal. 99-127.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − two =

Back to top button