Tafsir

Dahsyatnya Azab Neraka

(Tafsir QS ‘al-Mursalat [77]: 29-34)

ٱنطَلِقُوٓاْ إِلَىٰ مَا كُنتُم بِهِۦ تُكَذِّبُونَ * ٱنطَلِقُوٓاْ إِلَىٰ ظِلّٖ ذِي ثَلَٰثِ شُعَبٖ *  لَّا ظَلِيلٖ وَلَا يُغۡنِي مِنَ ٱللَّهَبِ * إِنَّهَا تَرۡمِي بِشَرَرٖ كَٱلۡقَصۡرِ *  كَأَنَّهُۥ جِمَٰلَتٞ صُفۡرٞ *  وَيۡلٞ يَوۡمَئِذٖ لِّلۡمُكَذِّبِينَ *

(Dikatakan kepada mereka pada Hari Kiamat), “Pergilah kalian menuju azab yang dulu kalian dustakan. Pergilah kalian menuju naungan yang mempunyai tiga cabang, yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka.” Sungguh neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.  Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan (QS al-Mursalat [77]: 29-34).

 

Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah SWT mengingatkan sejumlah kenikmatan yang Dia berikan kepada manusia. Kenikmatan yang disebutkan adalah bumi yang dijadikan sebagai tempat berkumpul dan berhimpun bagi manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Di bumi itu juga dijadikan gunung yang kokoh dan tinggi menjulang. Mereka pun diberi minuman air tawar yang menyegarkan. Demikian besar nikmat tersebut hingga orang-orang yang mendustakan semua nikmat itu patut mendapatkan hukuman yang berat.

Kemudian dalam ayat-ayat ini digambarkan azab yang akan diterima oleh orang-orang yang mendustakan nikmat-Nya.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Inthalaqû ilâ mâ kuntum bihi tukadzdzibûn (Dikatakan kepada mereka pada Hari Kiamat), “Pergilah kalian menuju azab yang dulu kalian dustakan).”

Ayat ini memberitakan peristiwa yang akan dialami oleh orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Inilah yang akan dikatakan kepada orang-orang kafir tersebut.1 Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah SWT berfirman kepada orang-orang yang mendustakan nikmat-nikmat-Nya sekaligus menjadi hujjah Allah SWT atas mereka pada Hari Kiamat.”2

Ketika itu mereka diperintahkan untuk berjalan menuju tempat yang dulu merela dustakan. Sesuatu yang mereka dustakan ketika mereka masih hidup di dunia itu adalah azab.3 Imam al-Qurthubi berkata, “Berjalanlah kalian menuju azab, yakni neraka yang dulu kalian dustakan. Sungguh kalian telah melihat dengan mata kepala.”4

Menurut Asy-Syaukani dan al-Alusi, perkataan ini merupakan tawbîkh[an] wa taqrî’[an] (celaan dan kecaman) terhadap mereka.5

Kemudian dilanjutkan: Inthalaqû ilâ zhill[in] dzî tsalâtsi syu’ab (Pergilah kalian menuju naungan yang mempunyai tiga cabang).

Perintah kepada mereka agar berjalan menuju azab kembali diulang dalam ayat ini. Penyebutan kata: inthaliqû (pergilah, berjalanlah) dalam dua tempat dengan bentuk kalimat perintah (al-amr) menunjukkan adanya at-ta‘kìd (penegasan).6 Namun demikian, menurut Syihabuddin al-Alusi, itu bukan tikrâr (pengulangan), tetapi khushûsh[an] (khususnya).7

Kemudian digambarkan azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir itu. Azab itu berupa azh-zhill (naungan) yang memiliki tiga cabang. Dalam ayat ini disebutkan: zhill[in] dzî tsalâtsi syu’ab

Secara bahasa, kata azh-zhill, yang bentuk jamaknya adalah azh-zhilâl, adalah sesuatu yang menaungi Anda, seperti awan dan semacamnya. Zhill al-layl  (naungan malam) adalah hitamnya. Itu merupakan bentuk majaz isti’ârah karena azh-zhill pada hakikatnya adalah terangnya sinar matahari yang berada di bawah sinarnya. Jika tidak ada terang maka itu adalah gelap, bukan terang.8

Dalam konteks ayat ini, kata azh-zhill bermakna ad-dukhân (asap). Tepatnya,  dukhân Jahannam (asap Neraka Jahanam).9

Menurut Imam al-Qurthubi, kata zhill (naungan) yang sesungguhnya adalah ad-dukhân (asap) itu membumbung tinggi, kemudian dia bercabang. Begitulah keadaan asap yang besar apabila naik lalu bercabang.10

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Hal itu disebabkan karena asap yang disebutkan itu naik dari baranya. Ketika telah meninggi, ia terpencar menjadi tiga bagian.”11

Menurut asy-Syaukani, naungan itu merupakan asap Neraka Jahanam yang muncul, kemudian terpencar menjadi tiga bagian. Mereka terus berada di sana hingga selesai hisab atau perhitungan. Asap tersebut sangat besar sehingga ketika naik akan berpencaran menjadi beberapa bagian.12

Menurut az-Zuhaili, mereka berpindah dari satu azab ke azab yang lain. Azab itu mengepung mereka pada semua sisi (Lihat: QS al-Kahfi [19]: 29).

Surâdiq an-nâr (gejolak api neraka) adalah ad-dukhân (asap). Dengan demikian penamaan neraka dengan azh-zhill merupakan majaz dari aspek mengepung mereka dari semua arah, sebagaimana dalam (QS al-Zumar [39]: 16).13

Penggunaan kata azh-zhillu dengan makna ad-dukhân sekaligus merupakan uslûb at-tahâkum (gaya bahasa mengejek atau mengolok-olok). Menyebut azab dengan azh-zhill (naungan) merupakan tahâkum wa sukhriyyah (ejekan dan sindiran) kepada mereka.14

Kemudian dilanjutkan: Lâ zhalîl[in] wa lâ yughnî min al-lahab (yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka).    Ini adalah gambaran lain tentang azh-zhill atau naungan bagi orang-orang kafir itu. Azh-Zhill (naungan) dalam ayat ini bukanlah bermakna hakiki, seperti naungan pohon atau tembok yang menaungi.15 Naungan bagi mereka itu lâ zhalîla (tidak menaungi). Menurut al-Alusi, makna lâ zhalîl adalah lâ muzhallil (tidak memberikan naungan).16

Penjelasan senada juga dikemukakan Imam al-Qurthubi yang berkata, “Tidak seperti naungan yang melindungi dari terik matahari.”17

Ibnu Jarir berkata, “Naungan itu tidak melindungi mereka dari panasnya api neraka.”18

Di dalam naungan itu tidak ada kenyamanan dan tidak ada ketenangan.19

Selain itu juga: wa lâ yughnî min al-lahab (tidak pula menolak nyala api neraka). Hal itu karena naungan untuk mereka itu sesungguhnya adalah asap yang tidak bisa menghalangi manusia dari al-lahab (kobaran api). Menurut az-Zuhaili, al-lahab adalah syu’lah an-nâr (lidah api).20

Imam al-Qurthubi berkata, “Al-Lahab adalah bagian atas api ketika api itu berkobar, berwarna merah, kuning dan hijau).21

Menjelaskan ayat ini, asy-Syaukani berkata, “Tidak melindungi dari panas dan tidak menahan dari kobaran api.”

Al-Kalbi berkata, “Tidak dapat menahan panasnya api neraka dari kalian.”22

Dengan demikian azh-zhill (naungan) tersebut sama sekali tidak melindungi mereka dari kobaran api neraka. Sebaliknya, kobaran itu mengepung dari sisi kiri dan sisi kanan mereka, bahkan dari seluruh penjuru, sebagaimana diberitakan dalam QS az-Zumar [39]: 16.23

Dengan demikian ungkapan ini sesungguhnya merupakan tahakkum (ejekan) dan ta’rîdh (sindiran) kepada mereka. Pasalnya, naungan mereka berbeda dengan dengan naungan orang-orang Mukmin.24 Naungan mereka itu sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya:

فِي سَمُومٖ وَحَمِيمٖ *  وَظِلّٖ مِّن يَحۡمُومٖ * لَّا بَارِدٖ وَلَا كَرِيمٍ *

Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih serta dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan (QS al-Waqiah [56]: 42-44).

Kemudian digambarkan: Innahâ tarmî bi syarar[in] ka al-qashr (Sungguh neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana).

Frasa innahâ adalah neraka.25 Ayat ini memberitakan bahwa neraka yang menjadi tempat azab bagi orang-orang kafir itu melontarkan asy-syarar. Kata syarar merupakan bentuk jamak dari kata syarah (bunga api). Menurut asy-Syaukani, kata asy-syarar berarti api yang beterbangan dan berpencaran.26

Az-Zuhaili berkata, “Api yang beterbangan di segala penjuru.”27

Kemudian diterangkan bahwa  syarar yang dilontarkan oleh neraka itu seperti al-qashr. Secara bahasa, al-qashr adalah bangunan yang tinggi28 atau bangunan yang besar.29 Dengan demikian ayat ini menyerupakan antara asy-syarar kobaran api neraka dengan al-qashr (istana). Tidak disebutkan wajh asy-syibh (aspek keserupaannya). Namun, dari konteksnya dapat dipahami bahwa ada dua aspek keserupaan pada keduanya, yakni: besar dan tinggi.30

Dengan demikian ayat ini menggambarkan bahwa api yang dilontarkan dari Neraka Jahanam sangat besar.31

Kemudian Allah SWT berfirman: Ka annahu jimâlat[un] shufr[un] (Seolah-olah ia iringan unta kuning)

Ini merupakan gambaran lainnya dari kobaran api yang dilontarkan oleh neraka itu. Bentuknya seperti jimâlatu ash-shufr  (iringan unta kuning).

Kata jimâlatu  merupakan bentuk jamak dari kata jamâl yang berarti al-ibil (unta).32 Adapun ash-shufrah adalah salah satu jenis warna antara hitam dengan putih, namun lebih dekat ke warna hitam. Karena itu kadang-kadang kata tersebut digunakan untuk menyebut warna hitam.33

Pengertian tersebut juga diambil oleh sebagian mufassir. Menurut mereka, kata ash-shufr di sini bermakna as-sûd (hitam).34

Al-Wahidi berkata, ash-shufr maknanya adalah as-sûd (warna hitam) menurut para mufassir.”

Al-Farra‘ juga berkata, “Ash-Shufr adalah sawâ al-ibil (hitamnya unta). Tidak tampak warna hitam pada unta kecuali kemasukan warna kuning. Oleh karena itu, orang Arab menyebut hitamnya unta sebagai shufr[an] (kuning).”35

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pendapat yang benar adalah yang menyebutkan bahwa maksud frasa jimâlatu ash-shufr bermakna al-ibil as-sûd (unta berwarna hitam). Itulah makna yang populer dalam percakapan orang Arab. Al-Jimâlât merupakan bentuk jamak dari kata jimâl seperti rijâl rijâlât (laki-laki), dan buyút wa buyûtât (rumah).36

Menurut ar-Razi, ini merupakan pendapat mayoritas mufassir. Menurut mereka, yang dimaksud dengan shufr (warna kuning) di sini adalah sûd (warna hitam) yang mengenai warna kuning.37

Itu menunjukkan bahwa neraka itu gelap, baik kobaran bara dan lidah apinya. Neraka itu adalah hitam, buruk dilihat dan sangat panas.38

Dengan demikian kobaran api itu dalam besarnya diserupakan dengan al-qashr (bangunan besar dan tinggi, istana). Adapun dalam hal warna, banyak, iringan dan kecepatan gerakannya diserupakan dengan unta-unta yang berbaris-baris.39

Kemudian Allah SWT berfirman: Wayl[un] yawma’idz[in] li al-mukadzdzibîn (Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan). Menjelaskan ayat ini, Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kecelakaan pada Hari Kiamat bagi orang-orang yang mendustakan ancaman yang dijanjikan Allah SWT ini kepada hamba-hamba-Nya yang mendustakannya.”40

Wahbah az-Zuhaili berkata, “Azab dan kehinaan pada Hari Kiamat yang menegangkan untuk orang-orang yang mendustakan para utusan Allah SWT dan ayat-ayat-Nya. Tidak ada tempat lari bagi mereka dari azab-azab itu.”41

Demikianlah. Orang-orang kafir itu akan mendapatkan kecelakaan besar pada Hari Kiamat. Mereka dimasukkan ke dalam neraka dengan hina-dina. Mereka benar-benar akan merasakan neraka dan azab Allah SWT. Inilah yang mereka dustakan ketika mereka masih hidup di dunia. Semoga kita dijauhkan dari azab-Nya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 162

2        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 136

3        Al-Khazin, Lubûb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 384; al-Jazairi, Aysr al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 495; al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 194

4        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162

5        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 433; al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 194

6        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 433

7        Al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 194

8        Abu Bakar al-Razi, Mukhtûr al-Shihhah (Beirut:  al0-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 196

9        Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 680; al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 774;  al-Khazin, Lubûb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 384

10      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 680; al-Khazin, Lubûb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 384

11      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 136

12      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 433. Bahwa mereka terus berada dalam naungan tersebut hingga selesai hisab juga dijelaskan al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 194

13      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 326

14      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 324

15      Al-Jazairi, Aysr al-Tafâsîr, vol. 5, 495

16      Al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 194

17      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162

18      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 136

19      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 904

20      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 325

21      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162-163

22      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 433

23      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 904

24      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 774; al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 194; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 326

25      Al-Jazairi, Aysr al-Tafâsîr, vol. 5, 495; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 325

26      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 433

27      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 327

28      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 162

29      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 434

30      Al-Jazairi, Aysr al-Tafâsîr, vol. 5, 495. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 324; al-Baidhawi, Anwûr al-Tanzîl Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 276

31      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 774-775

32      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 434

33      Asy-Asfahani, al-Mufradât fì Gharìb al-Qur‘an, 487

34      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 434

35      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 434

36      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 141

37      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 775. Lihat juga al-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 904

38      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 904

39      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 775. Lihat juga Lihat juga al-Baidhawi, Anwûr al-Tanzîl Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 276; al-Alusi, h al-Ma’ûnî, vol. 15, 195; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 326-327

40      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 141

41      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 327

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 + 15 =

Back to top button